Featured Video

Jumat, 29 Juli 2011

Islamophobia


OKKI TRINANDA MIAZ

SESAAT setelah bom meledak di lingkungan perkantoran pemerintah, di jantung Kota Oslo, Norwegia, Jumat pekan lalu lalu, hampir semua media dunia langsung mengarahkan telunjuknya kepada kelompok Islam lewat breaking news mereka. Sebelum diketahui dengan jelas siapa pelakunya, sepertinya semua orang sudah memiliki spekulasi awal yang mengira, teror tersebut adalah kerja para jihadis Alqaeda.
Namun seiring perkembangan, dan terjadinya teror kedua, di mana terjadi penembakan terhadap anak-anak muda dari Partai Buruh yang sedang melakukan kegiatan di Pulau Utoya, informasi yang lebih terang perlahan-lahan mulai terkuak.
Teror itu ternyata bukanlah hasil perbuatan organisasi jihad internasional, namun dilakukan oleh Anders Behring Breivik, asli warga Norwegia. Breivik mengaku, tindakannya dimotivasi keinginan menentang kebijakan multikultur Eropa yang menurut pandangannya sen diri akan memuluskan gerakan islamisasi di Nor wegia.
Selama ini ada kecenderungan prasangka buruk di barat yang selalu mengaitkan antara Islam dan terorisme, terutama paska insiden teror 9 November 2011 di Amerika Serikat. Ini adalah bagian dari islamophobia yang semakin menguat.
Mudahnya media-media dunia mengambil dugaan awal teror kepada kelompok Islam merupakan salah satu indikasi. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kecepatan laju informasi melalui facebook dan twitter, tudingan terhadap Islam semakin keras dibicarakan. Setelah Breivik tertangkap, barulah semuanya terpana.
Breivik sendiri jelas punya pandangan anti Islam. Dia ingin menegakkan supremasi Kristen di Eropa. Sebelum melakukan teror ia sempat merilis secara online manifesto sepanjang 1.500 halaman yang diberi judul “2083: A European Declaration of Independence yang menjelaskan pendiriannya. Setengah bagian pertama dari manifesto tersebut adalah tulisan Breivik menyalahkan pemerintah yang ia tuding terlalu memberi kebebasan terhadap warga Islam. Dan pada setengah bagian terakhir Breivik mengaku sebagai anggota Knights Templar yang siap berjuang melawan Islam. Menariknya, didalam manifesto tersebut ia juga sempat menuliskan secara detail bagaimana ia dan rekan-rekan sesama anti-Islam mendapatkan senjata, amunisi, dan berbagai perlengkapan untuk teror. Disana juga dituliskan tujuan dari terror yang dilakukannya. Yaitu menggunakan teror sebagai metode untuk membangunkan massa agar mengetahui bahaya Islam.
Hebatnya, setelah Breivik tertangkap dan dengan lantang menyatakan motifnya, ada beberapa hal yang sepertinya ditutup-tutupi oleh media Eropa. Walaupun diberitakan Breivik menembaki anak-anak muda di pulau Utoya, namun sedikit sekali yang memberitahukan siapa sasaran dari Breivik. Padahal ini penting sekali. Sepertinya mereka enggan mengungkapkan bahwa para anak muda yang berkumpul Pulau Utoya itu sedang melakukan unjuk rasa mendukung dibentuknya negara Palestina yang berdaulat dan mengecam okupansi Israel di Gaza (D. Wahyudi, 2011). Apakah karena Islamophobia juga telah merasuki media-media besar tersebut, sehingga merasa takut detil-detil berita itu malah akan membangkitkan simpati kepada Islam. Selanjutnya jika kita perhatikan, kata-kata “serangan teroris” juga hanya digunakan sebelum Breivik berhasil diidentifikasi. Setelah semua mengetahui bahwa pelaku adalah seorang warga Norwegia, media lebih memilih menyebutnya dengan white extremist daripada terrorist. Apakah kata teroris hanya digunakan untuk pelaku teror keturunan Arab saja?
Apapun itu, Islamophobia telah nyata-nyata tumbuh di dunia. Dengan kian banyaknya imigran muslim membanjiri negeri Eropa saat ini, memang ada perasaan takut pada Islam sekarang di barat. Semoga tragedi Oslo ini mengingatkan semua pihak di Eropa maupun di luar Eropa, fundamentalisme adalah tantangan bersama. Sosok Anders Behring Breivik bisa saja muncul dalam semua agama, terutama karena adanya rasa takut dan curiga terhadap keyakinan orang lain. Itulah fundamentalisme. Fakta yang menyedihkan dari setiap tindakan terorisme domestik adalah, mayoritas korban biasanya bangsa sendiri yang ingin ‘dibela’ dari pengaruh luar. Dan dalam konteks ini, ketakutan terhadap pengaruh Islam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar