Featured Video

Senin, 30 April 2012

MAKSIAT DI RANAH MINANG


Kita cenderung melihat ke belakang sebagai sesuatu yang indah, sementara apa yang kita lihat dan rasakan sekarang ini penuh belepotan dengan ber­macam kelemahan dan ke­kurangan.
Walau semua ini tidak seluruhnya salah sebagaimana juga tidak seluruhnya benar, rentangan peristiwa ke masa lalu itu memang mem­per­lihatkan, makin ke belakang makin menukilkan kedamaian dan keteraturan, sementara makin kemari makin gemuruh.

Yang jelas, dengan kasus masyarakat kita, Minang­kabau, Sumatera Barat, se­bagai­mana di yang lain-lainn­ya, dahulu budaya dan sistem nilai yang berlaku dan mem­bentuk masyarakat kita masih terbatas kepada nilai-nilai kebudayaan tradisional yang dipusakai secara turun-te­murun dari nenek moyang. Lalu masuk Islam. Masuk kebudayaan penjajahan Barat. Sempat pula 3 setengah tahun di bawah penjajahan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Lalu merdeka dan masuklah budaya sinkreik Jawa yang dominan. Dan sekarang di­serbu habis-habisan oleh budaya global yang datang dari mana-mana, melalui berbagai cara. Dan semua itu ber­campur-baur tanpa pola yang jelas. Grotesque, kata orang sana.
Budaya lama yang tadinya mendominasi pola tingkah laku masyarakat Minang­kabau sekarang sudah makin terpojok. Banyak yang sudah tinggal di ucapan tapi tidak lagi dipraktekkan. Banyak yang sifatnya hanya se­re­monial. Keluar dalam ber­bagai bentuk upacara tapi itu hanya klise untuk di­bangga-banggakan. Dalam kenyataan sesungguhnya, sudah bertukar angguk dengan ilalah. Nilai-nilai dan budaya-budaya yang kita terapkan sudah bukan yang asli lagi. Yang asli itu sudah  kita simpan dalam peti. Dia menjadi kebanggaan tapi sudah tidak berguna lagi.
Sekarang kalau kita tanya, mana dia yang ABS-SBK itu. Yang Tungku nan Tigo Sa­jarangan, Tali nan Tigo Sapilin itu. Yang ajaran segala Empat itu. Yang niniak mamak, imam-katik, manti, dubalang, di samping bundo kanduang, pemuda, dsb itu. Gampang menyebutkan, tapi tak bersua dalam praktek. Yang nama­nya Nagari saja, hanya tinggal di nama tapi tidak dalam struktur dan dalam sistem, apalagi dalam nilai yang dianjung tinggi diamba gadang seperti di masa lalu itu.
Masyarakat Minangkabau sekarang ini dalam proses transisi, dari budaya lama, lokal, ke budaya nasional, regional, ke budaya global. Yang semua serba kacau, serba tak menentu. Tak jelas ujung-pangkalnya. Makanya apa-apa yang dahulu kita tidak mengenalnya, sekarang serba dikenal, serba ada, serba terbuka, serba diker­jakan. Sebutlah bermacam maksiat yang dahulunya ti­dak dikenal, sekarang jadi pakaian dan malah bangga pula kita bisa melakukannya.
Di Minang sekarang apa yang tidak ada. Semua ada. Ada strip-tease, yang dikelola oleh restoran dan hotel milik non-pri. Katanya untuk turis, tapi siapapun bisa melihatnya. Ada jajan sex di hotel-hotel dan di taman-taman dengan taksi siap membawanya. Ada warung kelambu dan remang-remang berindehoi di tepi pantai. Ada kecanduan me­ngisap ganja, sabu-sabu, narkoba, narkotika, minuman keras di antara anak-anak muda dan orang dewasa. Pokoknya, apa yang tidak. Semua ada. Dan tidak hanya di kota, tapi juga sampai ke desa sekalipun, di Indonesia dan di Sumbar juga. Apalagi kalau merekapun bahagian dari itu. Dan periuk nasinya pun tersangkut di situ.
Yang risau kita, kok di kita begitu. Di orang lain tidak. Menyeberanglah sedikit ke seberang Selat Melaka. Ke Malaysia. Atau ke Brunai, ke Sabah, ke Serawak. Di sana, negaranya saja Negara Islam. Syariat berjalan dan di­tegak­kan. Di sana dikenal hukum cambuk, hukum rejam, hukum gantung, bagi siapapun yang melakukan praktek maksiat, sesuai dengan hukum Islam. Makanya negerinya aman. Dan mereka sibuk dengan membangun negerinya. Ribuan anak-anak mereka di­sekolah­kan ke luar negeri. Pulang-pulang lalu membangun kam­pung, membangun negeri.
Di kita, di negeri yang penuh maksiat ini, sepertinya tidak ada yang perduli. Tidak pemerintah, tidak pejabat dan tidak para pemimpin dari berbagai lapisan itu. Kita malah suka bertanya, mana dia yang ninik-mamak, yang alim-ulama dan cerdik pandai itu. Kok tidak ada yang tampil ke depan. Semua seperti cuek saja. Semua dibiarkan saja berlalu. Yang para pejabat sendiri, yang katanya sibuk dengan tugas masing-masing, tapi korupsi, kolusi dan ne­potisme merajalela. Rasanya untuk sekarang ini sudah sukar untuk mencari para pejabat yang tidak ikut-ikut dalam turut melakukan KKN itu, karena juga dilakukan secara berjamaah. Apalagi karena korupsi dengan KKN­nya itu masuk dalam sistem, dan dipraktekkan dari atas sampai ke bawah secara menyeluruh.  Sementara dua per tiga dari biaya anggaran negara diperuntukkan untuk para pegawai negeri. Tapi caranya dan sistem yang dipakai bergelimang KKN dan korupsi. Indonesia oleh dunia telah dicap sebagai negara termasuk terkorup di dunia. Sementara di Asia Tenggara adalah negara yang rakyatnya termiskin.
Memang, Sumbar dengan Minangkabaunya tidak sen­diri. Semua begitu, dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya. Negara ini jadinya negara yang sedang sakit dan terkutuk serta dikutuki Tuhan. Jalan keluarnya tidak lain: kembali ke pangkal jalan. Kita bisa belajar banyak dari negara-negara yang berhasil membersihkan dirinya dari bermacam praktek maksiat dan korupsi itu. Tidak hanya Malaysia, tapi juga Singa­pura, Cina, Korea, Jepang, bahkan Australia dan bagian besar negara-negara Barat di Eropah dan Amerika.
Sebagai daerah yang ham­pir semua penduduknya be­ragama Islam, jalan keluarnya tidak lain dari menerapkan syariat Islam di bumi bertuah ini seperti yang dilakukan di Aceh dan di beberapa kabu­paten di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Yang diperlukan di Sumbar ini adalah azam, tekad bulat, dan kesepakatan bersama untuk melaksanakan syariat Islam itu secara ber­masyarakat, berdaerah dan berorang-per-orang.
UUD 1945 memberi pe­luang untuk menerapkan itu. Apalagi Sila Pertama Pan­casila sendiri adalah: Ke­tuhanan Yang Maha Esa, yang juga dikuatkan lagi dengan bunyi Pasal 29 ayat (1) dan (2) dalam beragama, di mana Negara sendiri ber­dasar atas Ketuhanan YME, dan Negara menjamin kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Tidak cukup itu, malah keseluruhan pasal-pasal (pasal 28 A sampai D) tentang Hak Asasi Manusia (Bab XA) menjamin semuanya itu: bahwa orang Minang dilin­dungi oleh Negara untuk menerapkan agamanya ber­laku di daerah teritorial adatnya sendiri.
Herannya, orang Minang selama ini takut-takut melak­sanakan syariat Islam di daerahnya, karena takut dicap sebagai menentang Negara, akibat trauma PRRI masa lalu. Sayang, orang Minang pengecut. Takut di nan benar. Bukan takut di nan salah.
Mari, sanak semua di ranah Minang ini, ikuti lang­kah Aceh dan Bugis-Makasar serta Gorontalo, untuk me­nerap­kan syariat Islam secara bernegara, berdaerah dan berorang-per-orang dalam memberantas maksiat ber­macam rupa yang sedang mencengkam kehidupan kita di negeri kita sendiri.
Mari, sanak semua, kita selamatkan Ranah Minang yang kita cintai ini dengan bersama menegakkan syariah Islam yang secara implisit maupun eksplisit malah disuruh oleh Negara.


MOCHTAR NAIM
(Sosiolog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar