Featured Video

Kamis, 13 Maret 2014

Siapa Penulis Pidato Bahasa Inggris Pertama Bung Karno?

Australian War Memorial/PO3531.001Foto karya wartawan IPPHOS yang kini menjadi koleksi Australian War Memorial. Keterangan pada foto menyebutkan,


Ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta, Soekarno tinggal di Istana Kepresidenan. Warga kota menyebut rumah besar tinggalan residen Belanda itu dengan “Loji Kebon”—halamanya luas dengan pepohonan rindang. Yogyakarta menjadi ibu kota negara semenjak 4 Januari 1946 sampai 17 Agustus 1950.


Soekarno memang fasih berbahasa Inggris. Namun, untuk siaran pidato berbahasa Inggris pertamanya, dia mempercayakan teksnya kepada seorang perempuan warga negara Amerika, kelahiran Inggris Raya—berdarah Viking.

Nama perempuan itu K’tut Tantri, sebuah nama yang diberikan Raja Bali kepadanya. Nama sejatinya adalah Muriel Stuart Walker. Setelah turut bergerilya bersama Bung Tomo dan pejuang Republik di Jawa Timur, Tantri pindah ke Yogyakarta. Selama di kota itu Tantri ditempatkan di Hotel Merdeka—kini Hotel Garuda—di Jalan Malioboro, bersama para negarawan Republik.

Ali Sastroamidjojo menugaskan kepada Tantri untuk membuat pidato berbahasa Inggris. Awalnya, dia menolak lantaran tak punya pengalaman tulis-menulis soal pidato politik, apalagi setingkat kepala negara.

Soekarno sebenarnya lancar berbahasa Inggris, demikian menurut Tantri. "Tetapi itu pidato radionya yang pertama dalam bahasa itu."

Mungkin Sang Presiden berpikiran apabila ada seorang dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asalnya, tentu akan lebih baik dalam membimbingnya.

“Aku lantas memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat tulisan dan ucapan tokoh-tokoh demokrasi Amerika,” ungkap Tantri. Dia berhasil merumuskan ide-ide dari pemikiran Thomas Paine, Jefferson, Abraham Lincoln, dan sederet negarawan Amerika Serikat lainnya. 

Soekarno dengan mantap membaca pidato berbahasa Inggris karya Tantri lewat corong Radio Republik Indonesia. Gaya Soekarno dalam membaca itu tampaknya telah memberikan makna yang lebih dalam bagi siapa saja yang mendengarnya, demikian pendapat Tantri.

“Pidato radio itu sukses besar,” ungkapnya. “Aku sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan membaca naskahku.”

Hari itu pun Soekarno memanggil Tantri untuk datang ke Istana. Perempuan itu datang  dengan busana kebaya dengan lengan berbalut merah-putih. Dia tercengang menyaksikan Soekarno yang tidak berbusana seragam khaki atau setelan serba putih, melainkan bersarung dengan jas pendek dan mengenakan kopiah sebagai tutup kepalanya. “Kurasa selama ini belum ada orang kulit putih yang pernah melihatnya memakai sarung,” ungkap Tantri. “Kelihatannya tampan sekali!”

Soekarno memuji Tantri yang tampak luwes berbusana Jawa karena tubuhnya yang kecil, demikian menurut pengakuan Tantri. “Aku lantas teringat bahwa ia terkenal pandai mengambil hati kaum wanita [...],” ungkapnya. “Kini aku percaya pada kabar itu.”

Kisah sejarah kecil tersebut diungkapkan oleh K’tut Tantri dalam otobiografinya,  Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damaipada 1982 dan 2006.

Tantri tinggal di Indonesia selama 15 tahun, 1932-1947. Awalnya tinggal di Bali, kemudian turut bergerilya bersama Bung Tomo dan pejuang lainnya. Dia menjadi seorang penyiar dalam siaran radio republik, Voice of Free Indonesia. Barangkali jiwa petualangan Tantri diturunkan oleh leluhurnya yang berasal dari Viking yang dikenal pemberani—dan nekat.

“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia—yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri,” tulisnya dalam buku itu. “Saya juga ingin menandaskan pada Belanda—dan sedikit banyak kepada Inggris—mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.”

Tantri mengutip sebuah surat kabar yang sohor di pesisir timur Amerika Serikat yang menulis tentang dirinya. “Sulit sekali membayangkan K’tut Tantri yang dilahirkan di Skotlandia meninggalkan negeri dengan tingkat kehidupan tertinggi di dunia dan menjadi orang Indonesia dalam wujud internasional.”

Selanjutnya sang wartawan Amerika itu menulis, “Sulit rasanya membayangkan hal itu—tetapi mungkin saja ia sudah jauh lebih maju dari kita semua dalam menerapkan makna kata internasional.”
s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar