Featured Video

Minggu, 08 Juli 2012

PERTAHANAN TERAKHIR ADAT MINANGKABAU

GALANGGANG ANAK NAGARI
Ditulis oleh Teguh

Dalam tradisi kultural Minangkabau, kehadiran galanggang merupakan sesuatu keniscayaan di setiap nagari-nagari. Galanggang merupakan ruang artikulasi dan ekspresi anak nagari. Juga ruang mengasah mental dan karakter. Galanggang adalah pertahanan terakhir adat dan budaya Minang.

Para tuo silek juga mengata­kan jiko mamancak di galang­gang, kalau basilek di muko musuah. Ada juga disebut, baga­lang­gang di mato rang banyak.
Galanggang memang memiliki peran penting dalam perjalanan kebudayaan Minangkabau. Anak nagari ditempa di galanggang. Galanggang bukan semata ruang berkumpul, tapi juga untuk belajar dan menuntut ilmu adat dan agama, mengasah kepekaan, dan melanjutkan kebudayaan itu sendiri.
Di galanggang anak-anak nagari berkumpul sembari belajar adat, seni tradisi, dan agama. Sumarak nagari karena ada galanggang itu. Ada juga disebut medan nan bapaneh.
Galanggang menemukan pe­ran dan fungsinya saat kehidu­pan bernagari di Sumatera Barat berjalan sangat seimbang. Na­mun, setelah ada UU agar nagari ditukar dengan desa yang berla­ku seluruh Indonesia sejak tahun 1975, maka peran nagari hilang seketika. Nagari tak lagi hidup seperti ia milik masyarakat. Galanggang-galanggang  yang ada di nagari-nagari pun lenyap perlahan. Dan akhirnya tinggal kenangan.
Tahun 2000, Sumatera Barat menyatakan kembali ke nagari. Desa pun ditinggal. Lalu, hidup­kan galanggang itu kembali? Ternyata tidak. Kembali ke nagari itu tak disertai dengan menghi­dupkan lagi galanggang dan tempat bermain anak nagari. Sudah 12 tahun kita kembali ke nagari. Kehidupan nagari tak beda dengan desa dulunya.
Sasaran Silek yang Kesepian
Ismael akrab dipanggil Bu­yuang Nuruik (55) alias Buyuang Pandeka, adalah salah seorang pelestari silat/silek di Nagari Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Hingga kini di rumahnya di Pantiang Jua, Kampung Tebing Tinggi, kegiatan latihan silek masih berlangsung dengan rutin. Murid yang berlatih di sasaran atau gelanggangnya itu berasal dari berbagai kecamatan di Pesisir Selatan.
Ismael juga membuka sasaran di tempat lain. Bahkan awal bulan Juli 2012 mendatang ia juga akan membuka sasaran silek di kampung Koto Kandis. Nagari Kambang Timur. Sasaran silek atau galanggang yang dibukanya selama ini mengalami pasang surut seiring perubahan masa. Kadang ramai dikunjungi murid, kadang kala sasaran hanya dihadiri beberapa murid saja. Yang lebih mencemaskan ada sasaran bak kerakap tumbuh di batu. Namun tidak jarang pula sasaran silek pada akhirnya ditinggalkan murid dan mati.
Jatuh bangun sasaran atau galanggang silek rupanya sudah menjadi hal lumrah bagi Ismael, soalnya kondisi dunia persilan memang seperti semenjak dahu­lunya. Namun demikian tidak menyurutkan niatnya untuk terus mempertahankan ilmu beladiri yang diwariskan nenek moyang itu. Ismael konsisten memperta­hankan silek tuo atau silek harimau, meski ia juga mengua­sai silek luncu.
Ia menyebutkan, untuk mem­buka sasaran atau gelanggang silat, diperlukan semacam ritual, misalnya melimaui sasaran. Kemudian juga ada tradisi potong ayam dan mendarahi lapangan. Dulu menurut Ismael, bila ritual itu tidak dilaksanakan akan muncul berbagai kendala dalam operasionalnya, misal ganngguan dari mereka yang berniat jahat. Jika tidak dilaksanakan ritual itu, alamat sasaran atau galang­gang menjadi kacau.
“Tradisi malimaui dan menda­rahi sasaran denga darah ayam juga mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan mence­lakai anak silek. Bahkan dulu, disetiap sasaran berpotensi dikunjungi inyiak balang. Jadi prosesi itu untuk berjaga jaga, atau ibarat pagar bagai sasaran,” katanya menjelaskan.
Hilang timbulnya, sasaran juga berkaitan dengan memu­darnya semangat anak muda mendalami ilmu beladiri silek. Ada kalanya semangat itu meng­ge­bu gebu. Bila menggebu gebu maka sasaran akan menjadi ramai. Namun sebaliknya, maka sasaran akan sepi, hanya satu dua yang bertahan hingga tuntas.
Nurlison Walinagari Kambang menyebutkan, nagari mendukung setiap upaya masyarakat yang ingin mempertahankan budaya lokal, misalnya silek. Pada tahun 2009 lalu di Kambang pernah didirikan sasaran silek dan randai. Peminatnya cukup banyak dan terdiri dari anak anak dan remaja. Namun perlahan sasaran itu mati.
“Pemerintah nagari akan memfasilitasi setiap kegiatan yang bertujuan untuk memper­tahankan tradisi minang,” kata Nurlison menjelaskan.
Terkait dengan sasaran atau gelanggang yang hilang timbul di Pessel, Kepala Dinas Pari­wisata, Pemuda dan Olah Raga Pesisir Selatan Rama Dipayana menyebutkan, pemerintah pada beberapa sasaran atau gelanggang terus memberikan pembinaan.
“Pembinaan itu bisa berupa pembekalan bagi pengurus ge­lang­gang atau grup seni, bisa juga memberikan bantuan berupa peralatan kesenian misalnya pakaian silek, pakaian randai, alat musik,” katanya.
Lewat pembinaan dan ban­tuan yang berkesinambungan memang ada kelompok atau sanggar seni daerah yang mam­pu bertahan. Disetiap kecamatan saat ini masih ada gelanggang yang eksis, namun memang banyak pula yang telah mati dan sebagian mati suri. Berdasarkan pemantauan Dinas Pariwisata, terjadinya hilang timbul sasaran silek salah satunya juga tidak terlepas dari biaya operasional sasaran. Untuk ukuran kampung biaya operasinola untuk meng­aktifkan sasaran terasa berat.
“Bagi kelompok yang berhasil mempertahankan sasarannya, mereka memiliki kesempatan untuk tampil pada vent iven besar, misalnya pada saat dige­larnya Festival Langkisau atau menyam­but tamu tamu kenega­raan. Itu semua tidak terlepas dari hidupnya gelanggang,” kata­nya.
Ketua DPRD Pessel Mardinas N Syair menyebutkan, Pesisir Selatan telah punya gelanggang seni yang disebut Gelanggang Seni Mandeh Rubiah. Gelanggang seni itu merupakan wujud kese­riusan pemerintah termasuk DPRD dalam menjaga dan mem­per­tahankan gelanggang,” katanya.
Tapi disebutkannya, peme­rintah dalam hal ini Dinas Pariwisata, Pemuda dan Oleh Raga perlu lebih intensif melaku­kan pembinaan. Dinas bersang­kutan bisa memberikan pengua­tan penguatan kapasitas kepada pengelola kelompok seni yang memiliki sasaran atau gelanggang.
Pasaman Melangkah
Dari Pasaman dilaporkan, Pemerintah Kabupaten Pasaman sebenarnya jauh-jauh hari telah berkomitmen menghidupkan galanggang-galanggang di nagari yang pernah tumbuh berkembang di era 70 hingga 90-an, namun seiring dengan adanya desentras­lisasi, galanggang yang ada seolah-olah lenyap ditelan bumi. Galanggang nagari pun mati suri.
Heri Supriyadi, anggota DPRD Pasaman dari Fraksi Peduli Keadilan mengemukakan, pihak­nya memang telah berupaya mengorbitkan  semangat kembali ke nagari yang telah dicanangkan Pemkab Pasaman sejak tahun 2000 silam.
“Tentunya kita telah mengi­ngat­kan, agar pemerintah betul-betul memberikan perhatian lebih. Memang telah dilakukan setidak­nya dalam pengganggaran yang dulunya dana alokasi umum nagari, kini telah ditambah untuk infrastruktur dan peningkatan perekonomian, akan tetapi jum­lahnya sangat minim dan terba­tas,” terang Heri Supriyadi kepada Haluan, Jumat (29/6).
Namun demikian, mengem­balikan kehidupan galanggang itu bukan semata adanya alokasi anggaran, tetapi perlu kiranya memotivasi anak nagari agar mau menyemarakkan galanggang itu.
“Semua pihak harus menaruh perhatian serius,” katanya. Seperti diketahui, galanggang itu sendiri merupakan pusat permai­nan dan aktraksi anak nagari untuk mengekspresikan dirinya.
Anwar Salam, Kadis Pemuda Olahraga Pariwisata dan Budaya Pasaman mengatakan,  meng­aktifkan kembali galanggang sebagai tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Pasaman.
“Semuanya karena pengaruh era teknologi, masyarakat merasa terbius dengan musik-mu­sik modern sekarang, apalagi menjamurnya organ tunggal, pemuda lebih tertarik memakai panggung (pentas) untuk meng­gelar seni daripada galanggang,” terang Anwir Salam.
Menurut Kepala Bagian Ad­mi­nistrasi dan Pemerintahan Nagari Setda Pasaman Djoko Rifanto mengemukakan, sebe­narnya persoalan galanggang yang kini terlupakan sudah pernah dibi­carakan oleh berbagai kala­ngan, tapi belum terealisasi maksimal.
Camat Rao  Hermansyah mengakui, keberedaan galanggang di wilayahnya memang kurang dimanfaatkan untuk pelestarian budaya Minangkabau, Cuma dimanfaatkan jika ada tamu kehormatan yang melakukan kunjungan kerja dan lawatan ke Rao, pihaknya menyuguhkan tarian pasambahan, silek tuo  yang dipusatkan di medan bapaneh.
“Pemerintah kecamatan beser­ta muspika sebenarnya telah mendukung masyarakat untuk kembali mengaktifkan kembali medan nan bapaneh, akan tetapi kurang termotivasi sehingga keberadaannya terabaikan,”  keluh Hermansyah.
Hermansyah juga tidak me­nam­pik pagelaran seni musik kasidah dan lomba mewarnai anak TK-PAUD, seringkali meman­faatkan medan nan bapaneh, termasuk musik tradisional Gondang Sambilan, karena Pasaman juga multietnis. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar