KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRISalah satu sudut pantai Pulau Asuh, Nias Barat, Sumatera Utara, akhir Mei 2012.
Bentangan pasir putih yang kontras dengan warna air laut yang hijau-biru menyambut kami di Pulau Asuh. Letih dalam perjalanan langsung lenyap begitu kaki menapak pulau yang dihuni 23 keluarga di sebelah barat Pulau Nias, Sumatera Utara ini. Bersentuhan dengan Samudra Hindia yang
bergelombang ekstrem, pulau ini bisa jadi surga bagi peselancar.
Cuaca memang sering tak bisa diprediksi, namun toh tak menyurutkan langkah orang untuk datang ke Pulau Asuh, pulau di sebelah barat pantai Sirombu, Nias Barat, Sumatera Utara.
Segelintir orang datang untuk liburan, keluar dari rutinitas kota: surfing, diving, snorkeling, dan mancing. Para penghuni pulau menerima dengan sangat ramah.
Pulau Asuh terletak di Samudra Hindia di sisi barat Pulau Nias. Panjangnya 2 kilometer dengan lebar sekitar 800 meter. Pulau yang sebagian warganya adalah petani kelapa itu adalah satu dari delapan pulau di Kepulauan Hinako, Nias Barat.
Orang lebih mengenalnya sebagai Pulau Asu, tanpa huruf ”H” di belakang. Huruf itu hilang karena bahasa Nias tidak mengenal huruf mati sehingga kata Asuh jika diucapkan orang Nias terdengar seperti Asu. Maka pulau yang sangat dikenal para pencinta selancar (surfing) dunia karena ombaknya yang besar itu pun dikenal dengan Pulau Asu.
Earl Sullivan (35) bersama istrinya, Samantha, misalnya, tiap liburan sejak tahun 2007 selalu singgah ke Pulau Asuh. Pasangan asal California, Amerika Serikat, itu bisa berbulan-bulan menghabiskan waktu di pulau yang dipenuhi pohon kelapa dengan pasir putih di sepanjang pantai itu.
”Di sini tenang, tak banyak orang,” kata Earl. Rasanya memang seperti memiliki pulau sendiri.
Hal serupa dilakukan oleh Andrew Walker, pria asal Australia bersama istrinya, Neli Siti Asiah, yang berasal dari Betawi. ”Kami tiga minggu di sini,” tutur Neli yang lebih dulu singgah di Bali sebelum ke Pulau Asuh.
Andy, panggilan Andrew, sudah 12 tahun mengenal Pulau Asuh. Ia bahkan punya kapal boat di pulau itu untuk berkeliling Pulau Asuh dan pulau-pulau sekitarnya. Karena pahamnya Pulau Asuh, Andy tahu pasti di mana tempat bagus untuk selancar, juga diving, atau sekadar snorkling. Ia membawa seluruh peralatan kegiatan laut itu dari Australia.
Andy, Earl, dan Samantha, adalah para penggila selancar. Sesekali Andy juga snorkeling dan diving di seputar Kepulauan Hinako.
Jika lelah atau cuaca buruk, mereka memilih tinggal di cottage membaca buku, berselancar di internet, atau sekadar tiduran di hammock. Duduk-duduk di pasir putih pantai juga sudah menyegarkan.
Neli bahkan sampai gosong kulitnya karena saban hari menikmati pantai dan berenang di laut. ”Gak apa-apa, yang penting asyik, he-he,” tutur Neli.
Internet tersedia di pulau mungil itu. Asuh Camp, tempat Earl menginap, menyediakan wifi. Namun, Andy memilih membawa modem sendiri karena bungalow Mama Silvi tidak menyediakan internet. Kebanyakan para pengelola bungalow sangat hangat menerima tamu dan memperlakukan tamu sebagai bagian dari keluarga.
Favorit peselancar
Sebelum tsunami, Pulau Asuh adalah pulau favorit para peselancar. Ombaknya tinggi dan panjangnya bisa ratusan meter. Saat gempa dan tsunami menerjang Nias tahun 2004-2005, Pulau Asuh terangkat sekitar tiga meter. Akibatnya, ombak memendek menjadi sekitar 70 persennya saja meskipun tingginya masih 8 hingga 10 meter. Banyak peselancar yang tidak lagi datang ke Pulau Asuh.
Namun bagi Earl, kondisi ini lebih menyenangkan karena lebih aman. Risiko cedera pun lebih sedikit. Selain itu Pulau Asuh menjadi lebih tenang.
”Bagi peselancar AS, mimpi kami adalah berselancar di pantai-pantai Indonesia,” kata Earl. Ia telah keliling di banyak tempat selancar termasuk ke Mentawai, dan pilihannya jatuh ke Pulau Asuh.
Kalau angin di Pulau Asuh sedang tidak bagus, para peselancar akan pindah ke Pulau Bawah, tak jauh dari Pulau Asuh.
Edison Marunduri (48), pemilik penginapan Mama Silvi–satu-satunya penduduk asli yang memiliki penginapan–bercerita, Pulau Asuh mulai jadi kawasan wisata sejak tahun 1980-an saat peselancar asal Belgia bernama Patric dan Nicholas menemukan ombak besar di Pulau Asuh. Dua orang itu kemudian bekerja sama dengan penduduk lokal mendirikan penginapan dan mempromosikan Pulau Asuh.
Setelah itu, muncul orang Australia yang juga bermitradengan penduduk lokal membangun penginapan. ”Saya baru tahun 1997 membangun,” tutur Edison.
Para pengelola mematok harga antara Rp 200.000 hingga Rp 400.000 per hari untuk satu bungalow bagi wisatawan asing. ”Untuk wisatawan lokal ada diskon separuh,” tutur Manati Gulo, pengelola Asu Camp yang memasang tarif Rp 400.000 untuk wisatawan asing termasuk makan tiga kali.
Meskipun wisatawan asing turun 50 persen, namun ada peminat baru yang datang ke Pulau Asuh beberapa tahun terakhir, yakni pencinta kegiatan memancing. Mereka datang dari Medan, Singapura, dan Jakarta.
Berombongan para pencinta kegiatan memancing itu menginap antara lima hari hingga seminggu. Mereka pun membawa peralatan sendiri, bahkan kapal sendiri, meskipun bisa juga menyewa dari nelayan setempat.
Ikan di seputar Pulau Asuh masih sangat banyak dari tongkol, layar, tenggiri, berbagai jenis kakap, hingga ikan yang disebut penduduk ikan nanas merah, ikan jarang gigi. Para pencinta memancing hanya menangkap untuk berfoto kemudian ikan akan dilepaskannya lagi.
Tak heran kalau Edison dan para nelayan di Kepulauan Hinako dan Sirombu geram saat banyak kapal pukat harimau beroperasi di perairan Kepulauan Hinako. Ia khawatir rumput terancam habis, keindahan laut hilang dan ikan pun hilang.
Rasa geram itu kiranya menjadi komitmen semua pihak untuk peduli akan kelestarian ekologi pulau ini....
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar