Featured Video

Selasa, 18 Desember 2012

Demi Anak dan Suami, Jualan Keliling




Pengantar: Memaknai HUT Singgalang ke-44 dan Hari Ibu, Dompet Dhuafa Singgalang berusaha menghimpun modal usaha untuk ibu-ibu tangguh yang berjuang sendiri menjadi tulang punggung keluarga dan menanggung biaya hidup lebih dari 3 anak. Mulai hari ini profil mereka diturunkan satu persatu. Jika Anda terketuk untuk turut membantu, dapat menyalurkannya ke Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang, Jl.Juanda No.31 C Pasar Pagi, Padang atau melalui rekening a/n Dompet Dhuafa Singgalang : BNI Syariah : 234.66666.6. (Red)


“Lontong…. gulai paku, cubadak….” Kali lain ia berteriak, “Somai, somai….” Sering kali, tiap ia melangkah, bayangan anaknya sedang sekolah datang menghampiri.Bagi Anik Sofia hidup sungguh tidaklah mudah. Gerobak dorong yang ia sewa Rp50 ribu per bulan menjadi saksi bisu perjuangan berat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Saban pagi, dengan gerobak itu, ia menjual makanan berkeliling komplek dari tempat tinggalnya di Padang Sarai, Padang. Ada lontong, somai dan berbagai makanan kecil lainnya. Subuh buta, Anik sudah memasak makanan untuk dijual berkeliling. Ia baru akan pulang saat matahari sudah hampir tegak lurus.
Semua ia laloni demi anak-anak dan suami tercinta yang sedang sakit. Istri kokoh bagai baja ini, mencabik pagi menapaki jalan-jalan kecil.
“Anak-anakku harus sekolah,” bisiknya sendiri. Ia ingin anaknya sukses, melompat jauh ke depan, seperti anak-anak orang lain.
Beban Anik sungguhlah berat. Sembako yang terus melambung bukan satu-satunya faktor yang membuat perempuan ini harus bisa menjadi sosok kokoh. Suaminya yang menderita penyakit jantunglah yang menempa Anik menjadi lebih kuat. Dulu dengan suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan itu ia masih bisa berbagi beban. Tapi sekarang beban tertumpu hanya pada dirinya seorang. Biaya berobat suaminya ditambah biaya untuk kebutuhan sehari-hari bersama ketiga anaknya, menuntut wanita ini tak kenal berleha-leha, apalagi larut dalam kesedihan.
“Ndak guno sadiah Diak. Usaho kareh se. Keadaan lah bantuak iko ka baa juo lai, (Tak berguna sedih Dik. Usaha keras saja. Keadaan sudah seperti ini, mau bagaiama lagi),” kata Anik, Senin (17/12).
Usaha keras, begitulah adanya Anik menjali hidup. Saban hari, seusai menjual lontong, ia mulai menyiapkan dan memasak bahan untuk bakso dan miso yang ia jual pada sore hingga malam hari. Rumahnya yang berdinding kayu itu ia jadikan tempat berjualan.
Begitulah sehari-hari ia menjalani hidupnya. Tanpa libur. Anik tidak pernah mengeluh dan berhenti.
Dulu waktu baru akan memulai usaha berjualan lontong keliling ia sempat bingung. Bagaimana bisa menjual lontong keliling jika gerobak saja tak punya. Ingin membeli, tak terpikir dari mana uangnya. Untung ada tetangga yang menyewakan gerobak semen. Walaupun harus membayar Rp50 ribu per bulan, Anik merasa bersyukur sudah punya kendaraan pembawa lontong.
Tapi, uang yang didapat walau sudah dihemat-hemat, seringkali tak cukup. Satu bulannya penghasilannya tak cukup Rp500 ribu. Itu pun jika dagangannya laku. Jika sedang tidak beruntung, seharian mendorong gerobak, lelah tak menghasilkan apa-apa.
“Untuk makan sehari-hari saja kalau sudah ada sudah senang. Soalnya utamanya untuk beli obat,” kata Anik dengan mata berkaca.
Biaya untuk obat suami Anik memang tidaklah murah. Belum lagi penyakit jantung kadang tak terduga kapan kumatnya. Jika tiba-tiba parah, ia harus berhutang kanan kiri menutupi biaya berobat. Ia harus mau menutupi rasa segan dan malu karena acap kali meminjam.
Ketiga anaknya yang masih bersekolah pun tak bisa dikesampingkan begitu saja. Sekarang anak-anaknya sudah duduk di kelas 3 STM, 3 SMP dan 4 SD. Bagi Anik yang hanya tamatan SD, anak-anaknya dalam keadaan sesulit apapun tak boleh putus sekolah. Namun, sekarang wanita tabah ini bingung, tahun depan anak tertuanya sudah lulus STM, ia berkeinginan besar si anak bisa kuliah. Anik harus memutar otak dan berusaha lebih keras.
“Anak-anak harus sekolah, biar tak melarat sepeti orangtuanya,” kata Anik bersedih hati.
Sudah menjadi tekad Anik, impiannya agar anak-anaknya itu tetap bersekolah harus terwujud. Tapi ia sadar, untuk biaya pendidikan tidaklah murah. Sedangkan untuk menabung tak pernah bisa ia lakukan karena sang suami harus dipenuhi kebutuhan berobatnya. Anik harus berusaha lebih keras. Biar lelah kaki dan tangannya mendorong gerobak semen, ia tak pernah berpikir untuk menyerah dan berhenti.
“Andai saja ada gerobak untuk jualan dan ada modal,” kata Anik berandai. Jika gerobak semen itu berganti dengan gerobak besar layaknya gerobak untuk berjualan tentulah bisa berkeliling lebih jauh menjajakan makanan yang ia masak sendiri di dapurnya yang hanya berapikan tungku.
Andai ada modal tambahan agar ia bisa lebih bisa memasak banyak untuk dijual, mungkin Anik bisa mulai menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Mungkin juga Anik tak perlu berhutang untuk suami yang sakit. 


s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar