Featured Video

Minggu, 02 Desember 2012

Untuk Siapa Pertikaian Sepak Bola Itu?


Kompas/Wawan H Prabowo
Pemain Timnas Indonesia Andik Vermansyah menutup wajahnya sesaat setelah wasit meniup peluit akhir pertandingan melawan Timnas Malaysia dalam laga penyisihan Piala AFF 2012 di Stadion Nasional Bukit Jalil, Malaysia (1/12/2012). Indonesia gagal melaju ke babak semifinal setelah dikalahkan Malaysia dengan skor 2-0.


Belum juga ada cerita indah sepak bola Indonesia. Untuk kesekian kalinya, tim "Garuda" gagal di Piala AFF. Pada laga terakhir dan menentukan lawan Malaysia, Sabtu (1/12/2012), Indonesia dipukul musuh bebuyutannya, Malaysia, dengan skor 0-2. Hasil yang memulangkan Indonesia.

Harapan ratusan juta rakyat agar timnas Indonesia bisa berprestasi di ajang AFF 2012, kembali lenyap, seolah ikut ditelan air hujan yang mengguyur Stadion Bukit Jalil, Malaysia. Timnas yang hanya butuh hasil imbang untuk memastikan tiket semifinal, justru kalah.

Mahali Jasuli menjadi aktor utama kemenangan Malaysia. Bek yang baru berusia 23 tahun itu melepaskan crossing terukur kepada Azamuddin Akil di kotak penalti yang kemudian disambar tembakan voli mendatar yang gagal ditepis kiper Wahyu Tri Nugroho. Berselang empat menit kemudian, Mahali berhasil menaklukkan Wahyu lewat sepakan keras dari sudut sempit.

Irfan Bachdim dan kawan-kawan berusaha bangkit tetapi akhirnya gagal. Lagi-lagi, Malaysia yang mengubur impian kita sebagaimana yang terjadi di final Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011.

Meski begitu, tidak elok jika para pemain, pelatih, dan stafnya dipersalahkan karena kegagalan ini. Justru sebaliknya, mereka pantas diacungi jempol karena sudah menunjukkan permainan terbaik dan usaha maksimal.
Apalagi, ini pertama kalinya timnas Indonesia tampil di ajang internasional dengan kondisi penuh masalah. Herannya, yang bermasalah justru para pengurus yang terlibat dalam perselisihan antara  Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Imbas konflik dua lembaga yang sama-sama mengaku berhak mengurus sepak bola itu, jelas ke mana-mana. Dari menurunnya dukungan publik, hingga persiapan tim yang terkesan berantakan karena dibangun di atas "konflik".

Masih lekat di ingatan, pelatih Nilmaizar dipusingkan memanggil pemain terbaik yang ada di Tanah Air ini karena larangan mayoritas klub Indonesia Super League (ISL) melepas pemainnya. Belum lagi,  beberapa pemain memutuskan meninggalkan pelatnas di tengah-tengah pelatnas serta kacau-balaunya PSSI dalam membentuk jadwal uji coba.

Nilmaizar pun sadar betul bahwa proses juara untuk sebuah tim dibutuhkan suasana kondusif. "Proses untuk juara adalah kondisi tim harus bagus, cara melatih harus bagus, penjagaan kondisi pemain harus bagus, istirahat, gizi, dan sebagainya itu harus bagus. Jadi hasilnya baru akan bagus. Tapi, saat ini kita bermimpi juara, tetapi latihan saja pemain tidak pernah lengkap, lalu kondisi tim tidak kondusif (karena konflik)," beber Nilmaizar dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Nilmaizar tak menyerah. Mantan pelatih Semen Padang tersebut itu tetap berusaha keras sekuat tenaga membentuk timnas yang tangguh, sekalipun diisi pemain-pemain yang minim jam terbang internasional. Para pemain berusaha tetap profesional dan tak terpengaruh oleh konflik dan intrik di tingkat kepengurusan.

Timnas dengan semangat juang tinggi berusaha tampil maksimal dalam setiap pertandingan. Sejarah pun sempat dibukukan takkala menaklukkan Singapura 1-0 yang menjadi kemenangan perdana  Indonesia atas Singapura dalam 14 tahun terakhir. Ya, itu menjadi kemenangan terakhir karena timnas akhirnya takluk dari Malaysia pada partai penentuan.
Tak bisa dipungkiri, penampilan Indonesia jauh dari kata memuaskan. Tapi, sikap ksatria Nilmaizar menyikapi kegagalan ini patut dicontoh oleh pihak yang bertikai.
"Inilah sepak bola. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa tentang kekalahan ini. Saya yang akan tanggung jawab. Yang terpenting saya selama delapan bulan cukup bagus bisa melatih tim ini. Buat saya, anak-anak sudah tampil maksimal dengan potensinya masing-masing. Sudah berjuang sampai menit-menit terakhir. Tapi, itulah sepak bola. Mudah-mudahan dengan potensi yang ada sekarang, ke depannya bisa segera baik," kata Nilmaizar.
Hasil ini seharusnya menjadi momentum bagi pihak yang bertikai berdamai untuk meletakkan segala kepentingan kelompok atau politis, demi sepak bola nasional. Sudah  saatnya bersatu untuk fokus membentuk pembinaan usia muda dan menciptakan kompetisi yang bersih karena sejatinya mustahil prestasi diciptakan dengan cara instan.

Wejangan dari Pelatih Real Madrid, Jose Mourinho, mungkin perlu direnungkan oleh kedua belah pihak yang bertikai. "Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam sepak bola."
Sebenarnya teorinya sederhana. Mempertahankan pertikaian jelas akan menghancurkan sepak bola. Lalu, kenapa masih terus bertikai? Untuk siapa pertikaian itu? Untuk sepak bolakah?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar