Featured Video

Sabtu, 16 Februari 2013

Cerita 'Ayam Kampus', Gundik Terdidik


Cerita 'Ayam Kampus', Gundik Terdidik  












Ilustrasi pelacuran / prostitusi. REUTERS/Edgar Su


Sebut saja Santi, 19 tahun, tidak terlalu cantik. Tetapi dengan "hot pants" hitam dipadu blazer, penampilan dara berambut panjang itu amat mengundang perhatian. Kemolekan bodinya yang sebelas dua belas dengan peragawati menjadi santapan lezat setiap mata pengunjung sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Tempomenemuinya, dua pekan lalu.


Di kampusnya, sebuah universitas swasta di Jakarta Pusat, perempuan asal Medan tersebut dikenal ramah dan bergaul. Dan hampir semua tahu, ia adalah mahasiswi "panggilan", alias ayam kampus.

Bagi Santi, mengumpulkan uang belasan juta rupiah dalam sepekan bukan perkara sulit. Komisi Rp 10 juta yang diterima Maharani Suciyono dinilainya juga standar. Di sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Pusat, ujar dia, Rp 10 juta itu baru tips. Tapi memang, ditambahkannya, ayam yang dibayar sebesar itu memiliki spesifikasi fisik dengan standar tinggi. "Ya selevel model lah," ujar Santi yang mengaku bisa melayani "short time" dan "long time".

Kasus Maharani yang digerebek KPK dalam suap kuota impor daging mengangkat kembali fenomena "ayam kampus". Dari penelusuran Tempo, keberadaannya bukan cuma di swasta saja, di kampus plat merah, bahkan di perguruan tinggi agama, juga marak. Kebanyakan ayam kampus atau disebut culai adalah peliharaan mucikari alias germo. Germo inilah yang menjembatani para ayam ke pelanggan. 

Menurut salah satu mucikari, Doni, bukan nama tulen, sebutan ayam kampus sendiri mengartikan dua sisi identititas. Di samping belajar sebagai kegiatan utama, mahasiswi penyandang status ayam juga "mengerami telur" para pria hidung belang. "Itulah mengapa disebut ayam kampus," katanya.

Dalam pandangan Doni, status sebagai mahasiswi amat bisa meningkatkan harga pasaran si ayam. Sebab itu, banyak wanita, yang sebenarnya penjaja seks, memilih kuliah. "Tetapi ada yang benar mahasiswi juga," ujar Doni. Modus untuk meningkatkan harga jual, menurutnya, sama saja dengan menjadi model sampul di sebuah majalah lelaki dewasa. 

Dari penelusuran Tempo, harga mahasiswi esek-esek ini dipatok mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 10 juta, bahkan lebih. Hitungannya juga berbeda-beda. Ada yang hitungannya sekali berhubungan intim saja, ada yang sehari, dan ada yang sampai dibawa ke luar kota atau luar negara. "Yang sampai sepekan di luar negeri tentu harganya bisa lima kali lipat," kata Doni. 

Pendapatan rata-rata para ayam ini bisa mencapai Rp 60 juta per bulan. Beda Rp 2 juta dengan gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Angka itu berdasarkan keterangan dari Doni yang memelihara 9 ayam kampus. "Mereka sudah kaya-kaya loh," ujarnya.

Nora, mucikari lain, menuturkan, jaringan ayam kampus dikelola profesional. Beberapa mucikari menurutnya selektif mencarikan pelanggan untuk ayamnya. Ia mengatakan, ayam yang murah biasanya memiliki kelainan seksual atau penyakit kelamin. "Kalau culai gue itu ada kode etik dan sehat, alias bersih penyakit," ujarnya.

Pelanggan ayam peliharaan Doni dan Nora bukan orang sembarangan. Mereka selevel menteri, pejabat teras militer, bahkan anak pejabat. Menurut Nora, tidak semua pejabat meminta ayam kampus untuk berhubungan intim. Ada istilah namanya "Three D". Yaitu, si ayam cuma menemani pejabat untuk menghisap heroin, sabu dan inex, tanpa melakukan penetrasi. 

Tempo menelusuri jejak-jejak para ayam kampus ini, mulai dari perekrutan, praktek transaksi, hingga sisi lain kehidupan para ayam. Selengkapnya, lihat Edisi Khusus Ayam Kampus.

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar