Featured Video

Sabtu, 28 Desember 2013

Cabai: Dari Spanyol Turun ke Minahasa



Oleh BE Julianery dan Budi Suwarna

BERKAT Christopher Columbus, cabai menyebar dari habitat aslinya di Benua Amerika ke seluruh dunia. Lewat petualang Eropa, cabai sampai juga ke Sulawesi Utara. Kini, sengatan pedas cabai mengunci lidah banyak orang Minahasa.


Siang yang basah di kaki Gunung Soputan, Minahasa, Sulawesi Utara, akhir November lalu. Fandy Pai (34) dan istrinya, Telma (32), memanen cabai rawit atau rica di ladangnya di Desa Touure, Kecamatan Tompaso. Itu adalah petikan ketiga di musim panen yang kedua. Cabai yang dipetik hari itu tinggal sisanya saja. Dia perlu menunggu dua bulan lagi untuk panen berikutnya. Setiap panen, Fandy mendapatkan hasil 35 kilogram cabai rawit merah dari 2.000 batang pohon.

Kebun cabai rawit milik petani di Touure memang tidak seberapa luas. Petani hanya menguasai kurang dari 1 hektar kebun cabai. ”Dulu, so banyak itu petani buka kobong rica (cabai rawit). Sekarang berkurang soalnya banyak yang so rugi,” kata Fandy. Ia dan beberapa petani mempertahankan ladang cabai meski serangan hama dan fluktuasi harga cabai sewaktu- waktu bisa merontokkan kerja Fandy. Ia bilang, luas kebun cabai yang ada saat ini di Touure mungkin tidak sampai setengahnya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kebun-kebun tersebut tampak seperti karpet hijau yang membentang di lembah-lembah subur di kaki Gunung Soputan. Inilah salah satu titik dari sekian banyak titik di Bumi yang menjadi habitat baru tanaman perdu yang menyebar dari Amerika ke seluruh dunia sejak 500-an tahun yang lalu.

Penyebaran cabai

Sejumlah literatur menyebutkan, cabai (Capsicum spp) digunakan sebagai bumbu masak sejak 6.000 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan bukti arkeologis di Ekuador Barat Daya, dekat perbatasan Peru. Arkeolog melihat jejak butir cabai yang menempel pada peralatan masak penduduk Indian kuno.

Penemuan itu diklaim bisa membuktikan bahwa penduduk asli di Ekuador Barat Daya adalah komunitas pertama yang menggunakan cabai dalam masakannya, bukan masyarakat yang hidup di pegunungan Peru atau Meksiko sebagaimana selama ini diyakini. Kurang lebih 5.000-7.000 tahun lalu, orang Indian membudidayakan tanaman cabai dengan cara mencangkok atau menyetek. Dari budidaya ini, cabai menyebar ke Amerika. Sampai di sini, penyebaran cabai terkunci di Amerika hingga Columbus sampai ke Benua Amerika tahun 1490. Di Dunia Baru itu Columbus menemukan tanaman pedas. Ia menjulukinya paprika merah.

Sejak kedatangan orang-orang Eropa, tanaman itu makin menyebar ke Mesoamerica (Meksiko, Nikaragua, Guatemala, Honduras, Elsavador, dan Belize) serta Karibia. Cabai (Capsicum annuum) yang dibudidayakan di Mesoamerica diduga merupakan nenek moyang dari cabai yang umum kita konsumsi sekarang. Varietas keduanya adalah cabai rawit (Capsicum frutescens). Tanaman pedas itu kemudian dibawa dan diperkenalkan ke Spanyol pada tahun 1493 (Nathan Nunn, dan Nancy Qian, The Columbian Exchange: A History of Disease, Food, and Ideas).

Dari sinilah dunia cabai terkuak ke masyarakat luas. Dalam waktu singkat wilayah Eropa Tenggara yang membentang dari Spanyol sampai Portugis akrab dengan sengatan pedas cabai (Paul Bosland, History of Chile Pepper). Kedua negara itu lantas menyebarluaskan cabai ke sejumlah koloni dan daerah yang pernah disinggahinya ketika berdagang rempah, seperti India, China, Korea, Jepang, Filipina, Malaka, dan Nusantara.

Kapan cabai masuk ke Nusantara? Ada dugaan Nusantara mengenal cabai pada abad ke-16 seturut kedatangan Portugis ke Asia Tenggara ketika mencari sumber rempah terutama lada, pala, dan cengkeh. Tahun 1522, Portugis memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Portugis membawa barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Kemungkinan, di antara barang- barang itu ada bibit cabai. Dari situ, cabai meluas ke wilayah timur Nusantara.


KOMPAS/IWAN SETIYAWANPasar Tomohon.
Sejarawan Minahasa, Fendy E W Parengkuan, menuturkan, Portugis mulai masuk ke Minahasa yang dulu berada di bawah hegemoni Ternate-Tidore pada tahun 1563, diikuti Spanyol pada tahun 1580. Spanyol menjadikan Pulau Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau itu, Spanyol masuk lebih dalam ke wilayah Amurang, Manado, dan Kema. Untuk memberi makan para budak dan pelautnya, Spanyol menanam palawija di Minahasa, salah satunya tanaman cabai (Paul Bosland). Dari situlah, orang Minahasa mulai berkenalan dengan cabai.

Pertukaran ”columbian”

Periode itu oleh para sarjana Barat sering disebut sebagai masa Columbian Exchange (Pertukaran Columbia), yakni terjadi pertukaran bahan makanan antara Dunia Lama (Eropa, Asia, Afrika) dan Dunia Baru (Amerika). Dunia Lama mendapatkan aneka bahan makanan antara lain cabai, tomat, ubi, singkong, dan jagung. Sebaliknya, Dunia Lama ”menyumbang” kopi, jeruk, pisang, dan kedelai. Berkat pertukaran itu, aneka bahan makanan itu menyebar secara global dan menjadi jawaban pada persoalan dunia yang saat itu kekurangan makanan.

Pertukaran Columbia mendorong evolusi cita rasa masakan dunia. Cabai, misalnya, memberikan rasa pedas pada kari india, kimchi korea, dan masakan Indonesia. Tomat menjadi benang merah pada setiap masakan Italia. Lada, pala, kayu manis, dan cengkeh memberikan rasa dan aroma khas pada masakan Eropa yang hambar.

Fendy mengatakan, sebelum mengenal cabai, masakan minahasa menggunakan jahe sebagai sumber rasa pedas. Kini, sumber rasa pedas diambil alih cabai rawit atau rica. Sengatan rica pun membuat masakan minahasa so pedas! 
s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar