Featured Video

Sabtu, 17 Mei 2014

Gagasan Bung Hatta Bisa Jadi Landasan Restrukturisasi Sistem Pemilu

Penetapan Kursi Legislatif Kameramen mengambil gambar dengan latar belakang layar perhitungan pada rapat pleno terbuka penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPR dan DPD Pemilu tahun 2014 di Gedung KPU, Jakpus, Rabu (14/5).
Penetapan Kursi Legislatif Kameramen mengambil gambar dengan latar belakang layar perhitungan pada rapat pleno terbuka penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPR dan DPD Pemilu tahun 2014 di Gedung KPU, Jakpus, Rabu (14/5).

 Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menilai gagasan Mohammad Hatta (Bung Hatta) bisa dijadikan landasan untuk merestrukturisasi sistem pemilihan umum yang ada saat.


"Berkaca dari realitas sosial yang ada ketika pemilihan legislatif lalu uang menjadi nilai dalam menerapkan demokrasi, maka pemilu perlu direstrukturisasi," katanya di Jakarta, Sabtu (17/5).

Landasan dalam gagasan Bung Hatta yang dimaksud adalah anggota DPRD kabupaten/kota merupakan hasil utusan dari wakil-wakil kecamatan. Selanjutnya, dewan provinsi merupakan perwakilan/anggota dewan dari kabupaten/kota, dan Dewan Perwakilan Rakyat (pusat) merupakan representasi dari perwakilan anggota DPR propinsi.

"Saya kira, gagasan tersebut sangat relevan untuk diterapkan," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu. Dengan penerapan gagasan itu, kata dia, konsekuensinya massa mengambang di perdesaan akan sangat minim, kesadaran politik masyarakat akan tumbuh, karena pemilihan langsung terjadi pada level perdesaan untuk memilih wakil-wakil mereka di dewan desa.

"Jika berkaca dari sejarah, kata dia, hampir setiap desa mempunyai dewan desa/marga," kata anggota Kelompok Peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurut dia, Indonesia butuh merestrukturisasi sistem pemilihan umum yang ada saat ini, khususnya memaknai sila keempat Pancasila, yani kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan. Apalagi, selain uang yang menjadi landasan nilai ketika memilih wakil rakyat, begitu pun nilai yang dianut oleh para calon legislator sendiri, yakni mengakumulasi modal ketika nanti terpilih menjadi legislator.

"Realitasnya, para calon legislator umumnya bersifat antisosial, sehingga masyarakat luas tidak mengenal mereka, lalu biaya yang dikeluarkan negara juga tidak sedikit dalam menyelenggarakan Pileg ini," katanya. Dengan adanya beberapa realitas seperti ini, katanya, harus dipikirkan ulang atau dalam perspektif sosiologi, merestrukturisasi sistem pemilihan yang ada.r

Tidak ada komentar:

Posting Komentar