Featured Video

Minggu, 28 Agustus 2011

13 RUMAH RUSAK PARAH-Padang


PASIE NAN TIGO DIHANTAM GELOMBANG
Abrasi membawa duka mendalam bagi warga di kawasan Pasie Nan Tigo jelang Lebaran ini. Hantaman gelombang laut mengakibatkan 13 rumah rusak parah.  Mereka terpaksa tidur di tenda pengungsian. Sementara bantuan baru datang dari Pemko Padang dan Partai Golkar Padang.

PADANG, HALUAN — Tiga belas rumah di RT 1 RW 9 Kelurahan Pasie Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah Padang, mengalami kerusakan akibat hantaman gelombang laut dan abrasi pantai, Sabtu (27/8). Mereka terpaksa berlebaran di tenda pengungsian.
Pengikisan atau abrasi itu sendiri mulai ter­jadi pada Sabtu dinihari, yang dimulai se­kitar pukul 03.30 WIB hingga pukul 05.00 WIB. Sejumlah petugas Tim SAR dari Tagana dan BPBD juga telah berjaga-jaga di sekitar lokasi, untuk memberikan pertolongan kepada warga, jika gelombang pasang kembali menghantam permu­kiman warga.
Sepanjang pantai barat di kawasan Pasie Nan Tigo itu hampir tiap tahun mengalami abrasi. Pada November 2010, abrasi merusakkan 32 bangunan, 30 di antaranya adalah gudang ikan. Hingga kini, gudang-gudang itu tak lagi diper­gunakan warga.
Pada abrasi 2011, meski keru­sakan yang terdata pada Sabtu (27/8) pukul 15.00 WIB baru 13 KK, namun kemungkinan besar bisa bertambah, sebab gelombang air masih tinggi. Untuk menahan gelom­bang besar, warga dan pemerintah mengantisipasi dengan penahan arus yang diakali dari goni berisi pasir.
Menurut Lurah Pasie Nan Tigo Usman Syamra, karung goni berisi pasir itu telah mulai dipasang sejak Rabu (24/8) sejumlah 800 buah. Karung goni itu bantuan dari PU Provinsi 300 buah dan BPBD 500 buah. Pada Sabtu ditambah 3 ribu karung goni lagi oleh Pemerintah Kota (Pemko) Padang.
Wakil Walikota Padang Mahyeldi Ansyarullah yang turun langsung ke lokasi menyebutkan, penahan ombak dari karung goni berisi pasir itu hanya dalam jangka pendek. “Ia hanya berguna agar jangkauan abrasi tidak melebar,” tuturnya.
Dalam jangka panjang, Mahyeldi memerintahkan PU Kota Padang meneliti daerah tersebut dan mema­sang krib hingga ke Muaro Anai di Kabupaten Padang Pariaman.
Gelombang Setinggi 4 Meter
Tingginya gelombang telah mulai dilihat warga pada Rabu (24/8). Menurut Ketua RW 09 Zal Zalis Are, warga telah menduga tinggi gelombang akan terus bertambah kian hari. Maka, pada hari itu juga, sejumlah warga telah mulai meng­angsur menyelamatkan barang-barangnya.
“Saat itu tinggi gelombang masih 2 meter,” katanya mengingat. Namun, pada Sabtu sekitar pukul 04.00 WIB, gelombang terlihat lebih tinggi. Zal menduga tingginya sampai 4 meter. Gelombang di subuh itu yang membuat rumah-rumah warga meng­alami kerusakan. Masni (47), salah seorang dari korban yang rumahnya hancur berantakan pada bagian belakang. Ruangan yang hancur tersebut terdiri  dari dapur, kamar mandi, dan kamar tidur. Pantauan Haluan, kondisi rumah yang sedang dibangun itu, selain retak, pada pondasinya terlihat retak-retak.
Rumah Masni memang  berada paling dekat dengan pantai. Ia hanya berjarak beberapa meter saja. Saat gelombang datang, kata Masni, ia baru siap sahur dan cepat berlari keluar. “Untunglah barang-barang sudah diselamatkan ke rumah keluarga yang lain,” katanya.
Mahyedi Ansyarullah menye­butkan, pantai di sepanjang Pasie Gurun tersebut terlihat bebas. Akibatnya, ketika gelombang besar datang, tak ada yang menghalangi untuk merusak rumah warga.
Abrasi yang terjadi di daerah tetangga Pasie Gurun pada Novem­ber 2010 lalu, setelah dipasang batu krib, setidaknya telah sedikit aman dari amukan abrasi. “Ini akan menjadi contoh untuk menye­lamatkan warga disepanjang pantai,” katanya.
Namun, menurut Mahyeldi, untuk tanggap darurat, langkah yang dilakukan pemerintah dengan melin­dungi masyarakat, membuat dapur umum, dan menurunkan bantuan.
Terlalu Dekat ke Pantai
Kisah berkepanjangan abrasi di Pasie Nan Tigo sebenarnya telah lama menjadi pemikiran, baik oleh tokoh masyarakat atau pemerintah. Ketua RT 09 Zal Zalis Are misalnya, yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Padang dan mengakhiri masa jabatannya pada 2004 menye­butkan, aturan tentang rumah di tepi pantai awalnya diatur oleh Kepres (sekarang Perpres—red) no. 55 tahun 1993.
Menurut mantan Wakil Ketua Anggaran Pembangunan DPRD Kota Padang ini, salah satu poinnya adalah jarak rumah dari tepi pantai yang diperbolehkan 50 meter. Maka, pada tahun 2001, tidak boleh lagi ada yang membuat rumah di tepi pantai, kecuali jaraknya seperti yang dite­tapkan.
“Tapi, masyarakat tidak mene­rimanya. DPRD Kota Padang didemo ketika mencoba menerapkan aturan tersebut,” katanya. Menurut Zal, tujuan Kepres itu jelas untuk menye­lamatkan warga 10 tahun yang akan datang. “Dan terbukti hari ini,” sambungnya.
Camat Koto Tengah Amasrul SH yang hadir juga dilokasi menye­butkan, selain Kepres, juga diper­kuat dengan Perda Izin Mendirikan Bangunan (IMB) No. 6 tahun 1990. Poinnya juga sama dengan Kepres.
Amasrul menyebutkan, sejak tahun 2001 itu, tidak diberikan lagi IMB kepada warga yang membangun rumah di tepi pantai dengan jarak yang dekat. Ironinya, kebanyakan warga di pantai tidak ada yang mengurus IMB. Persoalannya, minimnya pengetahuan juga kebu­tuhan hidup yang pelit.
Masni misalnya menyebutkan, ia sadar akan bahaya berumah di tepi pantai. Tapi, itu baginya satu-satunya cara agar bisa memperoleh rumah, tidak lagi mengontrak. Rumah yang ia buat sekarang, katanya, dibayar dengan uang yang dikumpul puluhan tahun lamanya.
Kebetulan, saat membangun rumah, tanahnya diberikan oleh keluarganya. “Jika membeli tanah pula, tak sanggup saya bayar rumah,” tuturnya.
Dari catatan lurah Pasie Nan Tigo, masyarakat yang berdiam di kawasan itu, terdiri dari 10 KK, rata-rata jumlah warga 150 orang per KK, separuh di antaranya berada di tepi pantai. Menurut Mahyeldi, seluruhnya tidak ada yang memiliki IMB.
Namun, Mahyeldi menyebutkan, pemerintah akan berusaha mem­berikan pengetahuan kepada masya­rakat tentang bahaya berumah di tepi pantai, sembari mencoba meng­usa­hakan mencari dana untuk mem­bangun batu krib, yang dipre­dik­sinya mesti dibangun 10 buah lagi.
Bantuan
Hingga Sabtu sore kemarin, belum banyak bantuan yang mengalir ke korban. Yang baru diterima oleh para korban adalah bantuan Pemko Padang yang diserahkan Wakil Walikota Padang Mahyeldi Ansha­rullah, serta bantuan dari DPD Partai Golkar, yang diserahkan secara langsung oleh Ketua DPD Partai Golkar Padang Wahyu Iramana Putra.
Mahyeldi mengatakan, untuk saat ini Pemko Padang telah menyalurkan bantuan berupa satu ton beras bulog dan beberapa perlengkapan dapur, serta terval dan tiga ribu karung goni untuk diisi pasir yang bisa diper­gunakan untuk menghambat gelom­bang pasang.
“Untuk kebutuhan konsumsi korban, Pemko Padang dibantu beberapa Tim SAR telah mendirikan dapur umum yang bisa dimanfaatkan seluruh korban secara gratis. Selain itu, masing-masing korban juga disediakan tenda tempat tidur,” ujar Mahyeldi.
Berbeda dengan bantuan Pemko Padang, DPD Partai Golkar Kota Padang memberikan bantuan uang tunai dan paket lebaran. Bantuan ini diharapkan bisa memberikan senyuman bagi para korban, meski jumlah bantuan tidak sebanding dengan jumlah kerugian.
Wahyu Iramana Putra menga­takan, bantuan tersebut merupakan rasa berbagi saat Idul Fitri, yang mana warga kurang mampu atau korban musibah atau bencana juga bisa tersenyum dan berbahagia saat lebaran nanti. “Mudah-mudahan bantuan ini bisa dimanfaatkan para korban. Bisa saja ini merupakan bantuan awal, karena tak tertutup kemungkinan akan ada lagi bantuan yang diserahkan Partai Golkar kepada korban abrasi ini,” ujar Wahyu.
Dengan kejadian ini ia berharap kepada pemerintah untuk mem­berikan solusi konkret, sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi. Jika memang harus dipindahkan, maka pemerintah juga harus mencari solusi pindah tersebut. (h/adk/wan/ang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar