Featured Video

Kamis, 29 Maret 2012


Oleh : Mohammad Ichlas El Qudsi
Anggota DPR RI Fraksi PAN

Mohammad Ichlas El Qudsi
Tidak ada sosok manusia yang sempurna di dunia ini selain wanita. Sosok manusia yang penuh hasrat, estetis, dipuja, dan tak jarang banyak dijadikan sumber inspirasi bagi manusia lainnya terutama laki-laki. Banyak pula istilah-istilah yang dilontarkan pada diri manusia yang berjenis wanita ini, sebuah penggambaran guna merefleksikan betapa wanita adalah sosok manusia yang patut diperhitungkan. Sebut saja istilah ”wanita adalah tiang negara” dan ”wanita adalah perhiasan dunia”, sedikit dari sekian banyak istilah yang ditujukan pada wanita. Tidak sekadar istilah, dalam banyak kasus wanita pun sering menjadi penentu. Bagaimana Kekaisaran Romawi dengan kehadiran Cleopatra, dan Rasulullah dengan kehadiran para istrinya.


Evolusi kesetaraan gender antara pria dan wanita bukanlah berlangsung tanpa hambatan. Sejarah dunia menyebutkan bahwa dahulu posisi, serta kedudukan wanita tidak pernah dihargai dan sangat marginal sekali. Wanita tidak lebih dihargai sebagai pelengkap kehidupan kaum pria.
Lebih jauh Abu Bakar Aljazairi dalam bukunya yang berjudul Minhajul Muslimin mengungkapkan terdapat tiga periode kehidupan wanita, dengan tiga tingkatan filsafat dan pikiran yang berbeda pula.

Pertama, fase menghinakan, di mana wanita tak lebih dari sebuah komoditi yang bisa diperjualbelikan, makhluk yang menjijikkan dan hanya berfungsi sebagai ”pelayan laki-laki” tanpa memiliki hak kemanusiaan. Kedua, fase mendewakan, di mana pada saat itu wanita dipandang sangat tinggi, dipuja-puja, didewakan, dihormati, tak lebih dari penghormatan semu atas kepuasan hasrat laki-laki. Ketiga, fase menyamaratakan, di mana terdapat suatu zaman yang disebut zaman kemajuan dan pembangunan. Di zaman inilah adanya tuntutan keadilan dan kesetaraan gender tersebut berlangsung. Berdasarkan kondisi tersebut, pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana pandangan masyarakat modern terhadap tuntutan kebebasan wanita sebagai respons dari ketidakadilan sosial atas kehidupan kaum wanita, dan bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena kebebasan tersebut?

Dalam pandangan masyarakat modern, wanita pun memiliki hak yang sama (hak atas diri dan kehidupan mereka), derajat yang sama, bebas melakukan apa saja sebagaimana yang dilakukan oleh kaum pria. Singkatnya, tidak ada lagi batasan yang membatasi antara pria dan wanita. Bagi kaum wanita, kebebasan yang didapat merupakan cerminan dari pergolakan atas ketidakadilan sosial yang selama ini mereka alami.

Secara kultural, hampir sebagian besar kehidupan masyarakat dibentuk berdasarkan sistem yang sangat patriarkal. Negatifnya lagi, sistem ini tidak hanya berlaku dalam proses struktural masyarakat, akan tetapi menjadi bagian dalam konstruksi sosial masyarakat itu sendiri. Sehingga pada akhirnya timbullah suatu bentuk dominasi gender. Contoh kasus, misalnya adanya penempatan pengertian yang salah atas ”kodrat wanita”. Mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan rumah serta keindahan rumah tangga atau urusan domestik lainnya adalah suatu kodrat. Padahal, secara teknis semua aktivitas tersebut juga bisa dilakukan laki-laki (Mansour Fakih,1996).

Dalam masyarakat kita pun, paham double moral masih sangat kuat. Adanya pendapat umum yang memberi ukuran yang berbeda bagi perbuatan yang sama, bila dilakukan seorang wanita dan seorang pria. Misalnya, bila seorang perempuan melakukan perbuatan tercela, dia akan mendapat sorotan tajam dari masyarakat dan akan dikucilkan. Tetapi, bila seorang pria yang melakukannya, maka dianggap biasa-biasa saja. Lain lagi, misalnya bila terjadi perceraian, maka kesalahan umumnya dicari dari pihak istri. Banyak alasan yang dikemukan, misalnya tidak mempunyai anak atau karena ia selalu tinggal di rumah dan kurang representatif (bila mengenai wanita yang rajin mengurus rumah tangga dan anak saja) (Yunahar Ilyas, 1997).

Berbeda dengan laki-laki yang dominan banyak terlibat pada sektor publik, maka bagi kaum wanita, akses pada sektor publik sangatlah memiliki keterbatasan. Mengapa laki-laki lebih dominan dalam peran-peran publik, sementara wanita lebih banyak memainkan peran domestik rumah tangga? Apakah sudah menjadi fitrahnya atau karena ketidakmampuan wanita berkompetisi secara objektif dengan laki-laki? Atau, domestikasi wanita itu memang berangkat dari asumsi teologis bahwa wanita memang lebih rendah dari laki-laki sehingga sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan mereka.

Pada dasarnya, inti setiap ajaran agama khususnya Islam, menganjurkan dan menegakkan keadilan. Al Quran sebagai prinsip-prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan, termasuk keadilan gender dalam perbagai pandangan mengenai gender ini, Al Quran tetaplah mendukung tidak adanya subordinasi atas kaum perempuan terhadap laki-laki. Al Quran merupakan pedoman hidup masyarakat Islam dan satu-satunya kitab suci yang secara tegas mengakui bahwa kedudukan antara laki-laki dan wanita adalah sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan (Mansour Fakih, ibid).

Allah SWT berfirman: ”Wanita mempunyai hak yang sama seperti halnya pria dengan cara yang baik, dan kaum pria mempunyai satu derajat kekuasaan terhadap kaum wanita” (Al Baqarah :228). Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman bahwasanya barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (An Nisa: 124). Masih banyak lagi ketetapan Allah yang senada dengan itu semua. Intinya, Islam tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan dan sangat mendukung genderisasi.

Islam mengangkat wanita dalam kedudukannya yang sangat terhormat, seperti sabda Rasulullah, ”Syurga itu berada di bawah telapak kaki ibu” (hadist riwayat Anas), mengisyaratkan betapa derajat wanita memiliki kehormatan yang tinggi di mata Islam. Lantas dari manakah asal datangnya pemikiran yang telah menjadi tradisi dan tafsir keagamaan yang meletakkan posisi wanita subordinasi dengan kaum pria. Menurut Ashgar, pemikiran tersebut tak lepas dari buah tafsiran kaum agamawan Islam terdahulu yang sarat nilai patriarkis. Penafsiran-penafsiran inilah yang pada akhirnya dianggap nilai resmi Islam hingga sekarang.

Islam sangat mensupport adanya modernisasi di segala bidang, dan mendukung kebebasan yang menjadi bagiannya, dengan tetap mensyaratkan batas-batas yang telah ditetapkan. Modernisasi, menurut penulis, masih merupakan wilayah abu-abu, artinya tidak menampakkan batasan yang jelas terhadap kebebasan wanita, sehingga kebebasan yang semestinya cenderung diabaikan. Fenomena inilah yang terjadi sekarang di mana nilai-nilai Islam dan etika-etika Islam terhadap kebebasan wanita yang justru menjaga kehormatan wanita itu sendiri termarginalkan. Yang terdapat justru nilai moral sekuler yang menawarkan kebebasan sebebas-bebasnya. Oleh karena itu, semua ini perlu diwaspadai, terutama kaum wanita muslim secara seksama agar kembali tidak menghilangkan jati dirinya sebagai muslimah warrahmah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar