Featured Video

Jumat, 13 April 2012

LINDU DAN KEDEKATAN PADA SANG PENCIPTA


Gempa bumi 8,5 SR terjadi sekitar pukul 15.38 WIB yang ber­pusat di perairan Pesisir Barat  Aceh (Rabu, 14/4) terasa kuat di Sumatera Barat, disusul dengan gempa susulan 6,1 SR. Masyarakat panik tak karuan  yang ber­hamburan  keluar rumah dan mencari lokasi  pengungsian  ke tempat yang lebih tinggi. Di dalam informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menye­butkan potensi tsunami  juga terjadi di Padang atau pesisir pantai Sumatera dengan adanya bunyi sirene tsunami  untuk evakuasi dini bagi masyarakat yang berada di bibir pantai. Namun, atas izin Allah tidak menimbulkan tsunami yang besar se­bagai­mana terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh pada delapan tahun yang lalu.

Kita sebagai hamba Allah SWT tentu sadar bahwasanya musibah gempa bumi di Su­matra sangat rentan terjadi sebab kita berada di lem­pengan patahan gempa. Na­mun, musibah yang terjadi suatu peringatan Allah SWT kepada hambanya untuk selalu sadar akan apa yang diperbuatnya selama ini. Sejauhmana kita harus mela­kanakan amal ma’ruf nahi mungkar dan berlomba-lomba kepada kebaikan.
Di dalam surat az-Zal­zalah: 1-5, Allah SWT ber­firman: “Apabila  bumi di­goncangkan  dengan goncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya. Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini? Pada hari itu bumi menyam­paikan  beritanya, karena sesungguhnya tuhan-mu telah memerintahkan ( yang de­mikian itu) padanya.”
Bumi, sebagai tempat kehidupan bagi makhluk hidup termasuk manusia untuk perlu kita pahami akan makna kehidupan yang se­benar­nya. Kehidupan untuk membawa manusia  untuk selau berada di dalam ke­benaran dan selalu dijalankan dengan penuh tawadlu’. Ma­nusia, sebagai hamba Allah selalu berupaya  untuk ber­jalan di jalan yang benar. Suatu hal yang sangat riskan bagi manusia yang ingkar kepada tuhannya, ketika bencana datang mereka ke­bingungan dan ketakutan yang sangat luar biasa entah apa yang dilakukannya. Mereka mengalami ketakutan bahkan sampai jatuh mendadak mati disebabkan jantungan akan berita yang sangat mena­kut­kan dengan adanya tsunami.
Padahal, apabila kita telaah dengan baik  justru kita sudah mulai jauh kepada Allah SWT bahkan ingkar terhadap Allah SWT di­sebab­kan kita sudah  mengingkari akan nikmat-nikmat Allah SWT. Negeri yang subur dan makmur yang merupakan kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah untuk di­pergunakan sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat. Justru yang diperoleh hanya segelincir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Anak bangsa yang mulai keropas akan akhlak dan prilakunya yang saling ado jotos diantara mereka lebih mementingkan kepentingan pribadinya dari pada ke­pen­tingan umum rela berupaya menjadi orang yang selalu menganggap dirinya yang paling  benar sehingga mem­bawa dampak yang tidak baik diantara mereka sendiri.
Perbuatan yang dilakukan bukannya untuk memberikan ketentraman justru menim­bulkan berbagai masalah yang saling membenarkan antara yang satu dengan yang lain­nya. Mereka, pada lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT sehingga tuhan mem­berikan azab kepada negeri yang selalu ditimpa bencana beruntun. Belum selesai ma­salah yang satu timbul pula masalah yang baru, terus berurutan kapan mau se­lesainya.
Padahal, Allah SWT telah mengingatkan kepada ma­nusia apabila mereka sudah kufur nikmat maka  bencana akan menghampirinya. Se­bagaimana dalam firmannya yang berbunyi: “Dan Allah telah membuat  suatu perum­pamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman  lagi tentram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempa, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah  melimpahkan ke­pada mereka bencana kela­paran dan ketakutan  dise­bab­kan apa yang mereka per­buat (Q.s an-Nahl (16): 112)
Suatu kaum atau bangsa/ daerah yang sudah mulai melupakan akan nikmat Allah yang diberikan kepadanya, sehingga semakin jauh akan tuhannya secara langsung mengundang bencana. Kita, apabila sudah tidak lagi me­nsyukuri akan nikmatnya  maka memberikan harapan  hidup selalu mengalami ke­susahan dan selalu merasa tidak akan puasnya. Sebab, kepuasan yang hakiki men­jadikan diri kita men­dapat­kan ketenangan lahir dan bathin.
Dalam hal ini mengabdi kepada Allah dalam maha­bbah yang bertingkat-tingkat, Asy-syarraj sebagimana  yang dikutip oleh Harun Nasution dengan mengatakan tiga tingkatan. Pertama,  ma­habbah orang biasa, yang mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah  dan memperoleh ke­senangan dalam berdialog dengan tuhan dan senantiasa memuji Tuhan.
Kedua, mahabbah orang shiddiq, yaitu cinta orang yang kenal pada tuhan, pada ke­besarannya, kekuasaannya,  ilmunya,  dan  lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari tuhan sehingga dapat melihat rahasia-rahasia yang  ada pada tuhan.
Ia mengadakan dialog dengan  tuhan dan mem­peroleh kesenangan  dari dialog itu. Cinta tingkat  kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan pe­rasaan cinta pada tuhan dan selalu rindu padaNya.
Ketiga, cinta yang arif, yaitu cinta orang yang benar-benar mengetahui  tuhan. Cinta ini timbul karena  be­nar-benar mengetahui tuhan, yang dilihat dan dirasakan bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai dan akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk  ke dalam  diri yang dicintai (Bachrun Rifa’I, dkk, 2010: 91)
Cinta yang abadi mem­berikan andil kepada manusia untuk selalu dekat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi apapun sehingga mereka sadar apapun yang terjadi karena iradat tu­hannya. Terjadinya fenomena alam dimuka bumi ini men­jadi perenungan bagi manusia agar mau berpikir dan mau memberikan andil yang baik dalam memahami akan alam semesta ini.
Manusia di muka bumi ini harus  berupaya untuk selalu memikirkan akan kehidupan dengan selalu  mematuhi akan perintah tuhannya dan men­jauhi segala apa yang di­larangnya. Banyaknya terjadi berbagai kemungkaran dan kerusakan dimana-mana, tidak hanya lingkungan yang rusak juga pribadi yang rusak menandakan suatu zaman yang akan berakhir dengan azab tuhan yang sangat pedih pada  nantinya. Apabila ke­adaan yang sudah jauh dari harapan yang ada maka me­nimbul­kan berbagai kese­ngsaraan tidak hanya di dunia juga  di akhirat kelak.
Sebagai  renungan bagi kita firman Allah SWT dalam surat  Ibrahim (14): 44 yang berbunyi: “Dan berikanlah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari (ketika) azab datang kepada mereka, maka orang zalim berkata: “ Yaa, tuhan kami,  berilah kami ke­sem­patan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya  kami akan  mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti Rasul- Rasul (kepada mereka dikatakan). “Bukanlah  dahulu (di dunia) kamu telah ber­sumpah bahwa sekali- kali kamu tidak akan binasa?”
Ketika bumi sudah hancur total maka tidak ada lagi ampunan dari tuhannya, ma­nusia justru akan menerima balasan amal ibadahnya di dunia. Apabila  disaat di dunia banyak melakukan kebaikan maka sorga yang diterima pada nantinya, tetapi sebaliknya  banyak melakukan kejahatan akibat dari per­buatannya neraka yang di­janjikan pada nantinya.
Dengan demikian sebelum ajal  dijemput oleh Allah SWT maka kita selayatnya ber­taubat dengan taubatan na­suha dengan tidak akan mela­kukan kesalahan di mu­ka bumi. Namun, alangkah baik­nya kita sebagai hamba Allah yang nantinya akan dikem­balikan padanya mem­per­siapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak sebagai  masa yang abadi pada nan­tinya. Sehingga jangan men­jadikan diri tercebur ke dalam penyik­saan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam bisshowwab.

TASRIF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar