Featured Video

Jumat, 18 Mei 2012

BENCANA MORAL PICU BENCANA ALAM


Menarik mendiskusikan tulisan Bapak Irwan Prayitno yang berjudul “Kewaspadaan Bencana” pada kolom refleksi Haluan, Selasa (8/5) lalu. Meskipun di akhir tulisan itu pembaca diajak untuk ber­tawakkal kepada Allah, akan tetapi pesan yang disam­paikan lebih mengedepankan pendekatan ilmiah dan em­pi­ris untuk mewaspadai da­tangnya gempa dan tsunami.

Itu pula yang dilakukan oleh Mendagri dengan men­gi­rimkan surat peringatan ke daerah-daerah/provinsi rawan be­ncana, termasuk ke 7 wali­kota/bupati di Sumbar. Tu­juannya agar pemerintah setempat bersama masyarakat mengevalusi lagi hal apa saja yang perlu dibenahi dalam rangka mengantisipasi jika terjadi gempa dan tsunami. Atau fasilitas apa yang perlu diadakan untuk meng­antsipasi bencana. Lagi-lagi, pendekatan yang dilakukan bersifat em­piris dibungkus perspektif ilmiah.

Irwan Prayitno juga me­nga­takan, sudah lama pro­sedur, protap dan metode itu disosialisasikan ke ma­sya­rakat. Mungkin belum ba­nyak yang terlibat atau peduli. Karena itu, menurutnya, cara-cara itu perlu disosialisasi ulang lagi.
Bencana Moral Picu Bencana Alam
Hemat penulis, yang lebih dilupakan adalah perilaku-perilaku manusia yang me­ngundang bencana alam itu sendiri. Masyarakat Sumatera Barat yang mengaku mayo­ritas muslim, berfalsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Ba­sandi Kitabullah (ABS-SBK), sangat paham tentang hubu­ngan antara perilaku manusia dengan alam. Bencana moral bisa mengundang bencana alam.
Dalam Alquran dan Hadis terdapat isyarat-isyarat yang menegaskan bencana alam terjadi akibat keingkaran manusia terhadap perintah-perintah Tuhan. Bencana itu bisa berupa gempa (al-A’raf/7: 78, 91, 155, dan al-Ankabut/29: 37); banjir bandang (al-Ankabut/29: 14; dan Saba’/34: 16); hujan batu (al-A’raf/7: 84; an-Naml/27: 58); angin ken­ cang lagi dingin (al-Haaqqah/69:6); kemarau pandang dan kekurangan buah-buahan (Qs. al-A’raf/7: 130), dan masih banyak lainnya.
Begitu juga dalam hadis Nabi SAW, penyimpangan moral dapat mendatangkan adzab Allah. Apabila zina dan riba telah nampak di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
“Wahai manusia! Se­sung­guhnya yang menyebabkan kebinasaan bagi umat-umat sebelum kamu adalah apabila mereka mendapati orang mulia mencuri, mereka mem­biar­kannya. Tetapi jika yang didapati mencuri adalah orang lemah maka mereka men­jatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fa­timah binti Muhammad SAW mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya. (HR. Bukhari).
Jika disimpulkan, bencana alam turut dipicu oleh aqidah umat yang telah menyimpang dan bencana moral yang ber­hubungan dengan orang lain. Allah dipersekutukan, atau tak lagi dirasakan kehadiran dan pertolongan-Nya. Larangan-larangan Allah yang bersifat sosial gemar dilakukan, seperti zina, riba, korupsi, dan bera­gam bentuk penindasah dan pengrusakan lainnya.
Kini, apa yang terjadi di negeri ini, khususnya di Sumatera Barat?
Aqidah kita dipertanyakan, ayat-ayat Alquran jarang dikumandangkan, masjid sepi dari jamaah, dan pendidikan pun kering dari pendidikan aqidah. Sekolah lebih banyak mengajarkan tahu tentang aqidah, bukan mendidik agar mereka beraqidah. Pesan-pesan dakwah hanya sekedar seruan tetapi miskin dari keteladanan. Umat guncang, seperti kehilangan panduan, tak tahu arah, hanya me­rindukan panutan.
Apalagi fenomena bencana moral?
Lihatlah dengan mata kepala, pantai Padang. R­atusan payung-payung rendah terpasang. Anak manusia berpasang-pasangan mem­permainkan syahwatnya. Siapa yang berani mencegah dan menghentikannya? Bukan­kah perilaku ini mengundang tsunami?
Jangankan tumpukan be­ba­tuan, benteng puluhan me­ter pun tak kan mampu men­cegah azab Tuhan selagi perilaku yang mengundang kutukan itu tak dihentikan!
Lain lagi dengan dosa korupsi, sogok menyogok, mafia hukum, praktik riba yang kian berbunga-bunga, hingga pertikaian, perselisihan dan perpecahan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Semua itu jelas mengundang kutukan Tuhan!
Mungkin ada yang ber­tanya, negeri lain juga banyak yang bermaksiat, kenapa azab tak ditimpakan pada mereka? Kenapa harus Sumatera Barat?
Persoalannya, kita telah me­ngaku sebagai hamba Al­lah. Kita telah mem­prok­lamirkan diri sebagai masya­rakat yang berfalsafah ABS-SBK. Allah tidak akan mem­biarkan pengakuan lisan tanpa bukti perbuatan. Allah akan selalu menguji komi­t­men dari pernyataan dan pengakuan kita.
Apakah manusia itu me­ngira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman/kami hamba Allah/ kami berfalsafah ABS-SBK”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. al-Ankabut/29: 2).
Lalu ada lagi yang me­nyoal, bukankah masih banyak yang rajin beribadah, tidak semuanya bermaksiat?
Allah menegaskan:dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya (Qs. al-Anfal/8: 25).
Ayat ini tegas mengatakan bahwa azab Allah tidak saja ditimpakan khusus kepada orang yang berbuat zalim saja. Itu artinya, orang-orang yang berbuat baik, tetapi mem­biarkan maksiat itu mera­jalela, maka Allah akan menimpakan azab yang sifat­nya menyeluruh.
Ibarat kapal, jika beberapa orang memahat dinding dasar kapal, sementara yang lainnya membiarkan; kapal itu pasti menenggelamkan semua pe­num­pangnya.
Alquran sebagai Solusi
Solusi terhadap bencana ini sesungguhnya ada di depan mata, yaitu Alquran al-Karim. Sejatinya kita komit­men menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup, seper­ti pesan ABS-SBK.
Hemat saya, Mendagri seharusnya mengirim surat kepada kepala daerah kabu­paten/kota  yang mayoritas muslim agar meningkatkan upayanya mengatasi per­buatan maksiat dengan kem­bali pada ajaran al-Quran. Begitu pula Gubernur, tidak saja mengimbau memahami prosedur dan protap mewas­padai gempa secara fisik, tetapi juga melakukan aksi nyata untuk menghentikan maksiat di daerah keku­a­saannya.
Sebab tidak bisa ditolak, falsafah ABS-SBK hak paten milik masyarakat Sumatera Barat. Aplikasinya bukan tanggungjawab ulama dan kaum adat saja, tetapi harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan kesa­daran seluruh komponen masyarakat.
Peran pemerintah dan aparat hukum sangat dibu­tuhkan, sebelum massa yang bergerak anarkis. Begitu pula masyarakat, sejatinya ber­peran aktif mendidik anak kema­nakannya untuk menghindari perbuatan-per­buatan maksiat yang meng­akibatkan bencana moral dan mengundang bencana alam itu.
Tegasnya, pemerintah diharapkan tidak saja me­nyeru kebaikan (amar ma’ruf), tapi juga berperan besar dalam menindak kemaksiatan (nahi munkar).
Karena itu, cara yang paling efektif untuk mendidik ma­syarakat agar berpedoman ke­pa­da Alquran adalah melalui pendidikan. Pelaksanaan pen­didikan yang Qur’ani se­sungguhnya bisa “diintervensi” oleh pemerintah.
Terbukti, pemerintah Su­ma­tera Barat sesungguhnya telah melahirkan kebijakan Pendidikan Alquran sebagai Mata Pelajaran Muatan Lo­kal. Sayang, tidak semua sekolah yang warganya mayo­ritas muslim itu bersedia menerapkannya.
Pemerintah propinsi selalu ber­alasan penerapan pen­didikan Alquran sepenuhnya hak sekolah-sekolah di bawah pemerintah kabupaten/kota. Sementara pemerintah kabu­paten/kota masih ada yang tidak mau tahu. Begitu pula sekolah-sekolah selalu ber­alasan belum ada instruksi dari atasan. Atau jangan-jangan masih ada kepala daerah dan kepala sekolah yang tidak mengetahui jika ada program pendidikan Al­quran sebagai muatan lokal yang seharusnya didukung penuh olehnya?
Tentu, pendidikan Alquran bukan satu-satunya solusi. Tetapi sekolah sejatinya menjadi alat dan media untuk mendidik dan mempersiapkan peserta didik yang berkarakter Qur’ani, komitmen mene­gakkan amar ma’ruf nahi munkar. Jika itu terjadi, maka terwujudlah masyarakat yang beriman dan bertakwa, jauh dari ancaman azab dan bencana (Qs. al-A’raf/7: 96). Wallahu a’lam!

MUHAMMAD KOSIM

harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar