Featured Video

Sabtu, 21 Juli 2012

Berkebun 'Emas' di Ladang Terlarang


Jakarta Bukan satu-dua kali saja di Aceh ditemukan ladang ganja dengan luas hingga puluhan hektar. Desember 2011, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polda Aceh menemukan ladang seluas 157 hektare di wilayah Lamteuba, Aceh Besar. Kemudian pekan ini, dua instansi tersebut kembali menemukan ladang cannabis sativa seluas 25 hektare juga di tiga wilayah Aceh Besar, yaitu di Lamteuba, Indrapuri, dan Lampanah.

Anggota DPD dari Aceh yang turut dalam peninjauan temuan ladang ganja, Rabu (18/7/2012), Ahmad Farhan Hamid mengatakan bila wilayah Aceh memang dari dulu terkenal dengan tanaman ganja. Ini disebabkan iklim tropis dan kontur wilayah Aceh yang memiliki banyak pegunungan.

Ganja dari Aceh, menurut Farhan, sangat dikenal di duni. Konon, ganja dari wilayah ini mengandung tetrahidrokanabinol (THC) yang tinggi, yaitu 2 persen kandungan. Kandungan tersebut disebut-sebut tertinggi kadarnya ketimbang ganja yang ditanam di wilayah lain. Kandungan tersebut lah yang dapat membuat euforia berkepanjangan bagi siapapun yang menggunakannya.

"Ganja Aceh terkenal di dunia dan sangat dicari turis-turis asing yang ada di Indonesia. Bahkan di Eropa harganya tertinggi dibading ganja kualitas negara lain, sekilonya mencapai belasan juta," kata Farhan saat berbincang dengan detikcom di tengah ladang ganja di Desa Meureu, Indrapuri Aceh Besar, Rabu (18/7/2012).

Padahal, kata Ahmad, bila dari peladang Ganja di Aceh harga yang dilempar ke tengkulak hanya berkisar di Rp 1,8 juta. Harga inilah, terang Farhan, yang membuat warga di Aceh nekat mengambil jalan pintas untuk menyangga ekonominya meski pemerintah dengan tegas telah melarang penanaman ganja, karena masuk kategori narkotika golongan 1, setara sabu dan heroin.

Farhan tidak menampik bila ganja secara kultur di masyarakat Aceh dijadikan sebagai bumbu untuk keperluan memasak agar masakan menjadi gurih. "Dulu memang sebagai bumbu masak," terangnya.

Wilayah Indrapuri ataupun Lamteuba, jelas Farhan merupakan daerah yang dulu dikenal sebagai kawasan basis dari kelompok bersenjata era konflik. Wilayah Indrapuri misalnya, sangat jarang dimasuki orang luar selain warga karena tingkat kerawanannya yang tinggi. Begitu juga dengan Lamteuba yang memiliki kontur pegunungan yang mengelilingnya.

Direktur Tindak Pidana Narkotika Polda Aceh, Kombes Dedy Setyo Yudho menilai ada perubahan modus operandi yang dilakukan peladang ganja. Mereka membaca gerak anggota kepolisian yang biasa berpatroli di pegunungan dalam memberantas ladang ganja. Namun, saat ini peladang berpindah ke tengah perkampungan warga untuk mengecoh aparat.

Misalnya saja temuan ladang di Desa Meureu yang hanya berjarak 200 meter dari perkampungan warga sekitar. Meski tidak terlalu jauh, ladang cukup rapi 'sembunyi' di balik tingginya pohon dan curamnya tebing.

"Mereka belajar pola penyelidikan aparat, bila selama ini aparat fokus di pegunungan, nyatanya saat ini cukup dua menit saja dari jalan raya sudah ditemukan ladang," jelas Dedy.

Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan mengungkapkan, dari sekian banyak pengungkapan kasus ladang ganja yang ada di Provinsi Aceh mayoritas penduduk hanya dijadikan alat bagi para pemilik modal, khususnya bandar ganja, untuk mengurusi ladang. Sementara para tengkulak ataupun pemilik modal dari daun tersebut disinyalir berasal dari provinsi tetangga, Medan.

"Orang Aceh hanya sebagai penanam, pengepak, pengantar saja. Sementara pemodal adalah dari Medan. Dan itu tidak pernah tertangkap," kata Iskandar.

Saat ini pihaknya berupaya keras untuk merubah mindset Aceh sebagai wilayah pemasok ganja dengan program alternatif yang ditawarkan kepada warga. Dia mencontohkan penanaman buah naga di beberapa titik yang disinyalir menjadi titik penanaman ganja.

"Kalau ada orang yang baru dari Aceh selalu ditanya, apa bawa ganja, maka kita ingin merubahnya apakah bawa buah naga?" celoteh mantan Kadiv Humas Polri ini.




detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar