Featured Video

Jumat, 12 Juli 2013

Impor Lado Kutu

Mungkin banyak orang yang tak percaya, ketika Indonesia harus mengimpor lado kutu atau cabe rawit. Negeri ini kaya dan luas lahan pertanian, tapi cabe ukuran kecil itu saja masih impor.
Diwartakan Singgalang kemarin,  impor cabe rawit dikarenakan harga di dalam negeri tidak terkendali. Jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan impor.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, mengakui harga cabai rawit dan bawang merah membubung tinggi akhir-akhir ini. Selain karena pengaruh kenaikan harga BBM, Hatta mengatakan kenaikan itu dipicu juga oleh kurangnya pasok akibat anomali cuaca yang menyebabkan panen mundur.
Inilah Indonesia. Tiap persoalan, jalan keluarnya dicari cara instan. Impor merupakan langkah mudah, tinggal memberikan izin ke pengusaha. Lalu, dalam waktu singkat, kapal dari negara eksportir akan segera sampai ke Indonesia.
Selama ini, bukan cuma daging, beras dan singkong yang diimpor. Bukan rahasia lagi, hampir semua kebutuhan masyarakat didatangkan dari luar negeri. Satu hal yang patut dicatat, gara-gara impor daging terjerat persoalan hukum. Sebab, dalam impor daging sapi ternyata ada fee yang menggiurkan.
Jadi, kita patut curiga. Siapa sebetulnya yang bermain dalam kenaikan harga pangan belakangan. Kenapa mereka yang terlibat mata rantai kebutuhan hidup, begitu tega mengambil untung besar. Kenaikan harga yang tak terkendali, justru terjadi dalam Ramadhan, saat masyarakat butuh banyak pengeluaran.
Kini, saatnya pemerintah memberikan keberpihakan yang nyata pada petani. Pemerintah sebetulnya tahu persis tentang masalah dan kesulitan yang dihadapi petani. Namun, keberpihakan pada mereka selama ini terkesan basa-basi. Triliunan anggaran disebut-sebut untuk petani, namun mereka tetap saja kesulitan.
Bukti kurang jelasnya keberpihakan pada petani, terlihat pada pupuk. Tiap sebentar terdengar jeritan petani tentang pupuk langka dan petani menjerit. Nyaris tak ada upapa sporadis untuk mengatasi persoalan itu. Petani dibiarkan membeli pupuk dengan harga mahal.
Petani juga mengeluh tentang bibit yang mahal. Namun, pemerintah juga tak memberikan solusi yang nyata. Pemerintah memiliki lahan terlantar, namun tak mudah memberikannya pada petani.
Pemerintah hanya bisa mengeluarkan retorika soal keberpihakan, bukan menunjukkan keberpihakan yang nyata.
Ke depan, pembangunan pertanian jangan lagi banyak bicara. Krisis pertanian sudah dialami namun tak pernah disadari. Bukan tidak mungkin, pangan akan menjadi persoalan lebih serius di masa datang.
Sebagai sebuah bangsa yang memiliki banyak lahan, rasanya kita malu ketika kado kutu harus diimpor.(*)

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar