Featured Video

Rabu, 21 Mei 2014

KEMANA UDA-UNI?

Ranah Minangkabau, salah satu kekayaan nusantara yang sa­ngat dibanggakan. Tak hanya keberadaannya, tapi juga ternyata berdasarkan cerita rakyat atau tambo yang berisikan adat budaya, alamlah yang menjadi cikal bakal kebesaran masyarakat Minang­kabau. “Alam Takambang Jadi Guru”, demikian kita menyebut dan mengenalnya.
Ini pula yang membuat ranah Minangkabau dikenal dengan produk-produk sumber daya manusia yang punya andil besar dalam kemerdekaan. Sebut saja Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Yamin, Ahmad Yani, Adam Malik, dan lainnya. Juga Tan Malaka yang belakangan sejarah hidupnya mulai terkuak dan ternyata diakui Soekarno sebagai Bapak Republik, karena dari karyanyalah presiden pertama Indonesia itu belajar.


Namun, bagaimana dengan sekarang? Jika hanya merujuk pada nama-nama tokoh besar yang menasional, kita bisa menemukan nama Gamawan Fauzi, dan Musliar Kasim di Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, atau Indra Sjafri yang mampu membawa Tim Nasio­nal Sepak Bola Indonesia U-19 menjadi jawara Piala AFF 2013 silam. Namun, cukupkah dengan membanggakan nama-nama itu? Adakah jaminan untuk regenerasi produk kekayaan ranah Minangkabau tersebut?
Belum lama ini, Indonesia digemparkan dengan kabar dari ranah Minang, yakni arisan seks di kalangan pelajar sekolah menengah pertama di Kabupa­ten Limapuluh Kota, daerah yang menjadi salah satu dari tiga ranah asal masyarakat Minangkabau
Budaya Minangkabau yang terkenal dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basan­di Kitabullah tercoreng. Masya­rakat Minang yang secara nasional dikenal sebagai masyarakat Sumatera Barat ikut menanggung malu. Kam­pung halaman mulai mengikuti gaya hidup global yang tak tentu arah.
Kasus tersebut sebenarnya bagaikan fenomena gunung es. Masyarakat Minangkabau, terutama para pemuda telah lama teracuni gaya hidup kebarat-baratan yang tak paham norma. Kota Padang, telah lama disibukkan dengan fenomena keberadaan ‘tenda ceper’ yang meresahkan karena menjadi sarana seks bebas sejumlah oknum masyarakat, bahkan bagi para muda-mudi. Belum lagi diskotik dan tempat hiburan malam yang kebe­radaannya sudah jadi rahasia umum.
Gaya hidup hedon dan liberal masyarakat dan pemuda Minangkabau ini pun jadi rahasia umum. Jika siswa SMP saja telah mampu mela­kukan arisan seks, entah bagaimana nasib siswa SMA dan sederajatnya, bahkan para pelajar pendidikan tinggi. Pergaulan bebas, minuman keras, perjudian, semakin lama dianggap lumrah di masya­rakat, yang hanya mampu jadi bahan tertawaan dan cemoo­han, tanpa upaya perbaikan.
Ini merupakan degradasi moral dan akan berpengaruh pada kualitas mental generasi penerus. Tapi bukan hal ini yang kita inginkan. Bukan hedonisme dan liberalisme yang mendarah daging seperti itu yang dicita-citakan para leluhur yang telah bersusah payah mendirikan bangsa ini berkat ajaran agama dan adat budaya.
Perilaku jahiliyah yang merajalela di ranah Minang­kabau ini akan merusak kemaslahatan masyarakat di masa depan. Keluarga sakinah mawaddah warahmah yang jadi harapan setiap pernikahan umat, jadi sirna jika seks bebas jadi hal lumrah di tengah-tengah masyarakat.
Jangankan itu, pornografi saja punya dampak yang besar. Anggota Komisi X DPR RI Herlini Amran mengatakan, kecanduan pornografi pada remaja, akan menimbulkan efek kerusakan otak secara perma­nen. Remaja akan cenderung sulit mengontrol diri, mengam­bil keputusan, mengatur emosi, perencanaan dan mengor­ganisasikan diri. Bisa saja ini menyebabkan kerusuhan rema­ja dan pelajar di mana-mana. Belum lagi masalah perjudian, minuman keras dan kri­minalitas lainnya.
Pertanyaannya, apakah ranah Minangkabau masih akan memproduksi generasi yang berkualitas, akan mem­peroleh  jawaban yang penuh kesangsian. Meskipun masih ada nama-nama besar putra-putri Minangkabau yang berkumandang di media massa nasional, ini tak akan menjadi jaminan bahwa kampung halaman mereka tetap menjaga norma agama dan adat budaya. Toh, mereka yang hebat-hebat telah  meninggalkan kampung. Mereka cenderung memikirkan pekerjaan pribadi dari pada kelangsungan hidup ma­sya­rakat di kampungnya.
Dan, melihat fenomena pegaulan masyarakat di Indo­nesia, putra-putri Minangkabau yang barada di luar ranah Minangkabau pun  meski untuk tujuan pendidikan, tak dapat dijamin prilakunya terjaga. Jauh dari orang tua terkadang memberi kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dilarang.
Kurangnya pendidikan agama Islam dan kebudayaan adat istiadat Minangkabau bisa menjadi penyebab hal-hal tersebut terjadi dengan mudah dan makin menjadi-jadi. Bayangkan saja di bangku sekolah dan perkuliahan, porsi pendidikan agama tak sampai 10 persen atau mungkin hanya 5 persen. Itu pun ditangkap dengan ogah-ogahan.
Belum lagi pendidikan kebudayaan yang semakin lama semakin sirna di ruang pendidikan ranah Minang­kabau. Mata pelajaran “Budaya Alam Minangkabau” yang dulu masih ada hingga masa pendidikan SMP, sekarang entah kemana fisik dan maknanya. Sebuah mata pelajaran vital yang sekarat. Ini menyebabkan pemuda Minangkabau tak kenal lagi adat budaya.
Pemuda yang hidup di desa saja mulai tak mengenal bagaimana adat budaya Mi­nangkabau yang mengajarkan kesantunan dalam hidup, apa lagi pemuda yang hidup di perkotaan. Lucunya, budaya luhur tersebut dianggap lucu dan asing ketika dibicarakan dan dibahas di kalangan muda-mudi tersebut.
Di Minangkabau, terdapat ajaran seperti muluik manih kuncindan murah yang menga­jarkan keindahan tutur kata, atau raso dibaok naiak, pareso dibaok turun yang menga­jarkan kebijaksanaan dalam berhubungan dengan orang lain. Hal-hal seperti itulah yang menjadi keindahan makna budaya untuk kehi­dupan. Namun. ketidaktahuan, keti­dakpahaman, bahkan keti­dakpekaan atas budaya hidup dan bermasyarakat membuat semuanya semakin terkikis bahkan habis.
Bahkan untuk berbahasa pun, pemuda Minangkabau semakin enggan bergaul dengan bahasa Minangkabau, yang berakibat semakin hari bahasa tersebut menjadi terkesan kasar. Namun, mereka lebih menyukai bahasa gaul yang sesukanya, atau bahkan bahasa Inggris. Padahal, bahasa adalah semudah-mudahnya budaya yang mampu dipelajari dan dapat menunjukkan identitas.
Ada lagi yang lebih mudah dibanding bahasa, yaitu penggu­naan kata sapa. Panggilan “Uda” kepada pria lebih tua, dan “Uni” untuk wanita lebih tua yang sejatinya mudah di­pra­k­tikkan, kini jadi barang langka Beberapa dari mereka menilai kolot, dan menggan­tinya dengan panggilan “Abang” dan “Kakak”, layaknya orang berbudaya Batak. Di sinilah muncul pertanyaan “Kemana Uda-Uni?”.
Munculnya hal-hal tersebut tak lepas dari kurangnya andil para pendahulu yang kini telah sukses dan memilih mening­galkan ranah Minangkabau. Atau, mereka yang dulu meme­gang erat budaya Mi­nangkabau, namun karena sukses dan memiliki berbagai kesibukan, merasa sulit untuk membenahi segala degradasi yang terjadi. Di sinilah muncul lagi perta­nyaan “Kemana Uda-Uni?”.
Semua masalah tersebut tentu telah ditelaah dan ada upaya perbaikannya oleh pihak berwenang di Sumatera Barat.  Namun upaya yang dilakukan seakan tak berdampak apa-apa. Bahkan terkesan menjadi suatu pembiaran sehingga gaya hidup buruk yang terjadi semakin merebak.
Upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat adalah kembali menerapkan adat budaya Minangkabau sebagai tatanan kehidupan berma­syarakat. Perubahan besar harus terjadi, bahkan dimulai dari pemerintahan sendiri. Bayangkan, saat ini di daerah perkotaan tidak diketahui lagi siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan, agama, dan budaya, yang secara adat Minangkabau dikenal sebagai Tigo Tungku Sajarangan: Cadiak Pandai, Alim Ulama dan Pangulu.
Persoalan besar harus dita­ngani dengan solusi besar. Masalah pergaulan masyarakat akibat minimnya penanaman nilai-nilai budaya, harus dita­ngani dengan mem­bang­kitkan adat budaya itu sendiri. Peme­rintah pun jangan tang­gung-tanggung, atau seperti se­lama ini yang hanya mampu ‘ber­seru’ dan berharap dalam pi­dato. Pemerintah harus mela­kukan perubahan, kembali mene­rapkan nilai-nilai agama dan adat budaya dalam sistem­nya.
Dengan demikian, ma­syarakat akan senantiasa terbawa pada penerapan dan dampak positifnya. Di sanalah kita akan kembali melihat Uda-Uni yang kita harapkan membawa perubahan besar bagi dunia. Terkesan muluk-muluk, tapi ini realistis, jika kita semua mau dan sepakat. []


AFIF PERMANA AZTAMURRI
(Alumnus Jurnalistik Fikom Unpad)H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar