Featured Video

Senin, 30 Juni 2014

BALIMAU, NIKMAT MEMBAWA SENGSARA

Balimau adalah salah satu tradisi yang terus bertahan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Minangkabau. Tradisi balimau menurut sejumlah sumber sudah ada sejak abad 19. Balimau yang dilang­sungkan satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Balimau adalah berkeramas menggunakan limau atau jeruk dan kadang juga ditambahkan dengan bunga rampai. Balimau dilaksanakan di tempat-tempat pemandian umum, seperti kolam renang, telaga, air terjun, sungai, danau dan lainnya.

Secara jasmaniah atau lahiriah, balimau adalah sebagai kegiatan bersih-bersih seluruh badan, sebelum memasuki Bulan Suci Ramadan. Sehingga tubuh benar-benar bersih, suci dan wangi. Sedangkan dari tinjauan rohaniah atau batiniah, balimau adalah upaya untuk mensucikan diri se­seorang baik lahir maupun batin, sehingga benar-benar ikhlas dan siap untuk menjalan ibadah puasa Ramadan satu bulan penuh.
Namun tampaknya, dari waktu ke waktu, pemahaman terhadap makna mendalam dari tradisi balimau tersebut makin jauh melenceng dari semangat serta esensi yang sesungguhnya. Baik makna lahiriahnya maupun makna rohaniahnya. Sejak puluhan tahun belakangan, sebagian besar masyarakat Minangkabau atau Sumatera Barat pada umumnya, menja­dikan tradisi balimau sebagai ajang untuk bersenang-senang, berfoya-foya dan lebih mengarah kepada hal-hal yang negatif ketimbang hal yang positif.
Bagi kalangan remaja, hari balimau dijadikan kesempatan untuk bepergian ke lokasi-lokasi wisata yang ada airnya, seperti kolam renang, sungai, danau, telaga, air terjun dan lain sebagainya. Para remaja pergi balimau dengan pasangan yang bukan mukhrimnya atau lebih jelasnya dengan pacarnya. Mereka mandi berbarengan di satu lokasi yang sama. Tradisi itu pun juga diikuti oleh anak-anak di bawah umur.
Kalangan remaja Minangkabau secara turun-temurun memiliki pemahaman yang keliru dalam mengartikulasikan tradisi balimau. Dulu, masyarakat Minangkabau mandi ramai-ramai ke sumur atau sungai di daerah tepian (termasuk saat balimau), karena masyarakat saat itu mayoritas belum punya sumur sendiri  di rumah mereka. Lokasi pemandian itu pun dulu di pisah antara pria dan wanita.
Artinya, karena saat ini masing-masing rumah telah memiliki sumur sendiri, cukuplah balimau atau mandi bersuci sebelum memasuki Bulan Ramadan di kamar mandi rumah masing-masing saja. Tak perlu lagi berpergian ke lokasi-lokasi wisata sebagaimana yang dimuat di atas. Saat melangsungkan tradisi balimau, banyak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti kecelakaan lalulintas (kendaraan bermotor jatuh dan tabrakan) sehingga menyebabkan luka-luka bahkan ada yang tewas. Karena saking senangnya kalangan remaja dalam hari balimau, mereka di bawah alam sadar nekad memacu ken­daraan bermotor mereka di luar kenormalan.
Setiap melangsungkan kegiatan bali­mau ada-ada saja korban  yang tewas di lokasi pemandian balimau. Kasus tradisi balimau makan korban yang terbaru terjadi pada Sabtu (28/6) di Kabupaten Limapuluh Ko­ta, tepatnya di Bendungan Batang Air Lu­rah Sago, Jorong Tanjuang Ateh, Nagari Ta­ram, Kecamatan Harau, Sabtu (28/7) sekitar pukul 16.30 WIB.
Dua anak bawah umur masing-masing Viola (8) dan Salsa (9) tewas tenggelam di Bendungan Batang Air Lurah Sago, Jorong Tanjuang Ateh tersebut saat mereka mandi balimau bersama di bendungan tersebut.  Pada hari balimau Ramadan 1434 H/2013 M  tahun lalu, yang tewas tenggelam adalah kakak beradik Elsa Eria dan Elika. Keduanya tenggelam saat mandi balimau di peman­dian Lembah Segar di Nagari Lubuk Basung Kecamatan Lubuk Basung Kabu­paten Agam.
Mudah-mudahan ke depan, para guru, kalangan ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah memiliki upaya untuk melu­ruskan kembali makna dari balimau itu yang sesungguhnya. Sehingga tak terjadi lagi kasus nikmat membawa sengsara di hari balimau. **H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar