Featured Video

Kamis, 03 Juli 2014

Prediksi Perempat Final Piala Dunia: Juara Tak Terkalahkan


ADRIAN DENNIS / AFP
Suporter tim nasional Brasil membawa replika trofi Piala Dunia saat menyaksikan pertandingan Grup A antara timnya dan Kamerun, di Estadio Nacional, Brasilia, 23 Juni 2014.


Sebanyak 56 laga Piala Dunia 2014 sudah berlalu. Hanya tinggal delapan tim tersisa dan juga delapan laga, yaitu tujuh laga penentuan juara dan satu laga perebutan tempat ketiga.

Hasil babak 16 besar membuktikan bahwa walaupun level individu setiap tim masih berbeda dengan menonjolnya ball possession sebuah laga, kualitas kebersamaan sebagai sebuah tim sangatlah tinggi. Tidak ada laga yang mudah. Dari delapan laga perdelapan final, tiga di antaranya diselesaikan lewat perpanjangan waktu dan dua di antaranya lewat adu penalti.  Praktis, hanya Kolombia dengan pemain yang menurut saya terbaik sejauh ini di Piala Dunia 2014—James Rodriguez—yang melenggang relatif mudah ke perempat final.
Yang jelas, siapa pun juara pada pengujung turnamen tanggal 13 Juli mendatang, tim tersebut akan punya tag tidak terkalahkan. Dengan delapan juara grup mengisi lakon delapan besar, sematan tidak terkalahkan itu akan jadi jaminan karena delapan perempat finalis memang belum terkalahkan, dengan Kolombia, Belanda, dan Argentina menempati urutan paling atas karena belum pernah gagal menang.
Lalu, apakah semifinal ideal dua kubu kekuatan sepak bola dunia akan terjadi? Apakah Jerman akan melawan Brasil di Estadio Mineirao pada 8 Juli dan laga Argentina melawan Belanda di Arena Corinthians, Sao Paulo, sehari kemudian yang akan terjadi ? Untuk tontonan, layaknya memang dua duel klasik itu yang menjadi kenyataan. Namun, saya agak meragukan dua kekuatan utama Conmebol itu untuk bisa melangkah ke babak empat besar.
Duel klasik di Maracana
Laga perdana perempat final pada Jumat (4/7/2014) nanti adalah gambaran duel klasik antara dua tim raksasa Eropa yang terakhir bertemu di dua piala era 80-an. Siapa yang tidak ingat insiden penjaga gawang Tony "Harald" Schumacher yang mencederai gelandang Perancis, Patrick Batiston, di semifinal Piala Dunia 1982 yang berakhir dengan adu penalti untuk kemenangan Jerman Barat. Cerita berlanjut empat tahun kemudian dalam laga semifinal di Guadalajara, di mana gol-gol Andreas Brehme dan Rudi Voeller menghentikan perlawanan favorit Perancis.
Dendam? Mungkin ini hanya "emposan" media untuk menggambarkan  serunya duel klasik di Rio de Janeiro ini nanti. Didier Deschamps tetap dengan tag tidak terkalahkannya sebagai pemain maupun pelatih di Piala Dunia seusai Les Blues mengempaskan Nigeria minggu lalu di perdelapan final. Keseluruhan pemain bermain sebagai sebuah tim, mulai dari Paul Pogba, Mathieu Valbuena, yang memberikan dua assist untuk sukses di perdelapan final, Olivier Giroud, Karim Benzema, hingga Antoine Grizmann yang masuk sebagai pemain pengganti.
Sebaliknya, Jerman, walaupun harus bekerja keras menghadapi Aljazair, membuktikan diri bahwa mereka adalah tim yang memiliki tingkat daya tahan pemain yang tinggi. Ada satu kelemahan mencolok Jerman saat melawan The Dessert Foxes, yaitu kenyataan minimnya pilihan di barisan belakang. Tanpa Mat Hummels, duet Per Mertesacker dan Jerome Boateng mudah diterobos.  Juga dengan Benedict Howedes yang selalu jadi titik lemah di posisi bek kiri.
Jika Hummels tetap tidak bisa dimainkan, dan Shkodran Mustafi cedera, praktis Phillip Lahm akan kembali ke posisi bek kanan dan Sami Khedira akan menempati posisi jangkar. Formasi yang justru jadi kebangkitan Die National Manschaaft saat perpanjangan waktu melawan Aljazair. Perancis 45-55 Jerman (lewat perpanjangan waktu).
Duel Copa America
Laga kedua perempat final yang dimainkan di Estadio Castelao, Fortaleza, sebenarnya bukanlah big match untuk ukuran Piala Dunia maupun Copa America. Tuan rumah Brasil secara head to head unggul atas Kolombia.
Delapan laga terakhir Selecao versus Los Cofiteros berakhir dengan tiga kemenangan untuk Brasil dan lima kali hasil imbang. Namun, yang harus diingat adalah empat laga terakhir hasilnya adalah imbang.
Menilik empat laga yang dimainkan kedua negara, secara permainan, tim Kolombia lebih memiliki pola ketimbang penguasa sepak bola Amerika Latin ini.
Selecao asuhan Luis Felipe Scolari ini praktis hanya memiliki kemampuan merebut bola seperti seniornya di Piala Dunia 2002, tetapi minim kreativitas di lapangan tengah dan benar-benar "Neymar sentris".  Laga melawan Cile adalah gambaran bagimana tidak jalannya lapangan tengah Samba yang selama ini selalu memesona dengan flicktrick, danflair mereka mengelabui lawan.
Satu momen melawan Cile pada pertengahan babak kedua membuktikan bahwa Brasil bahkan bermain dengan bola panjang dari Thiago Silva dan David Luiz menuju ke Neymar di depan yang memudahkan barisan belakang Cile untuk mengantisipasinya.
Sebaliknya, anak asuhan Jose Pekerman sangatlah luar biasa. Inti sepak bola Kolombia bukan saja James Rodriguez, sang top scorer sementara dengan 5 gol dan dua assist-nya, melainkan juga Juan Cuadrado di kanan dan Pablo Armero di kiri. Gol kedua yang bersarang di gawang Fernando Muslera Sabtu lalu adalah kerja sama keduanya yang tidak tersentuh oleh para pemain Uruguay.
Kolombia tanpa titik lemah? Ada Mario Yepes yang dalam usia seniornya seharusnya bisa dimanfaatkan oleh kecepatan Neymar dan Oscar.
Brasil 55-45 (lewati perpanjangan waktu).
Tango melawan generasi emas
Hasil laga perdelapan final melawan Swiss membuktikan bahwa Argentina bukan saja bergantung pada Lionel Messi. Mereka juga memiliki "malaikat" dalam diri Angel Di Maria yang menciptakan gol tunggal menjelang akhir perpanjangan waktu yang menyelamatkan Argentina dari kemungkinan adu penalti.
Sejauh ini, Messi telah menciptakan empat gol. Jadi, "hantu" bahwa Messi tidak bisa mencetak gol di Piala Dunia lagi sudah sirna dari kubu Tango. Namun, "Messi sentris" pun kerap masih terjadi, seperti hampir dalam 120 menit melawan Swiss.
Adalah gerakan Messi dan penyelesaian Di Maria yang mengantar Argentina ke perempat final untuk ketiga kalinya berturut-turut. Namun, yang menghadang mereka kali ini bukan sekadar Bosnia, Iran, Nigeria, dan Swiss, melainkan talenta generasi emas Belgia asuhan Marc Wilmots.
Selalu memenangkan empat laga sampai perdelapan final adalah gambaran hebatnya The Rode Duivels saat harus memaksakan 16 penyelamatan Tim Howard dalam 120 menit melawan Amerika Serikat. 

Inilah yang harus dipatahkan oleh barisan tengah dan belakang Argentina. Kemampuan daya jelajah Kevin Mirallas, Kevin de Bruyne, Marouanne Chamakh, dan juga penyelesaian Romelu Lukaku, yang akhirnya sudah menciptakan gol Piala Dunia perdananya, akan jadi ujian bagi Argentina. Itu adalah gambaran bagaimana akan terbukanya laga ketiga perempat final di Estadio Nacional Brasilia Sabtu (5/7/2014) nanti, mengingat kedua pelatih punya filosofi positif tentang sepak bola menyerang yang indah.
Argentina 50-50 Belgia (adu penalti)
"Handicap" panas
Mungkin laga perempat final yang terlihat paling mudah adalah usaha Belanda untuk lolos ke semifinal Piala Dunia mereka yang ketiga atau kedua kalinya berturut-turut melawan tim yang sangat mengejutkan di Brasil 2014, Kosta Rika.
Berada di grup maut bersama Italia, Uruguay, dan Inggris, tidak ada yang menyangka bahwa Bryan Ruiz dkk bisa lolos, apalagi jadi juara grup. Makanya, saat hanya berhadapan dengan Yunani di babak perdelapan final, justru mereka yang jadi favorit untuk lolos ke babak delapan besar.
Kini halangan bagi anak asuhan pelatih asal Kosta Rika, Jorge Luis Pinto, untuk rekor lolos ke empat besar adalah Belanda, yang lolos dari lubang jarum saat coming from behindpada empat menit terakhir plus injury time melawan Meksiko. Apa kendala pasukan Oranje?
Cuaca panas yang keterlaluan selalu jadi permasalahan tim-tim Eropa, terutama Belanda. Tidak heran cooling break pada masing-masing babak melawan Meksiko dianggap sebagai solusi bagi Robin van Persie dkk yang harus bermain di suhu 32 derajat dan kelembaban 86 derajat saat itu di Fortaleza.
Beruntung bagi Oranje, laga perempat final terakhir yang dimainkan di Arena Fonte Nova pada Sabtu (5/7/2014) nanti berlangsung pada pukul 17.00 waktu setempat, di mana suhu sudah mulai turun mencapai 25 derajat celsius. Namun, faktor kelembaban udara yang tetap di posisi 86 derajat merupakan sebuah hal yang lebih menguntungkan Kosta Rika ketimbang Belanda. Belanda 55-45 Kosta Rika.k

Tidak ada komentar:

Posting Komentar