Featured Video

Selasa, 16 September 2014

Senja di Kelok Sembilan


Senja telah datang, tapi lembah itu seperti sengaja mengurung sinar matahari, untuk membanggakan keelokannya pada kami yang baru “pertama kali” datang ke sana, Sabtu (13/9). Inilah Kelok Sembilan, jalan yang tak ada tandingannya di Indonesia. LAN
Tukang jagung itu berseri mukanya ketika kami berhenti di kelok terakhir. “Jagung enam,” kata Bayu, wartawan Singgalang Payakumbuh. Anto namanya, segera mengipas-ngipas jagung thailand tersebut. Asapnya meliuk disapu angin, lalu hilang.

Logat Minang Anto terbata-bata. Dengan ramah ia melayani setiap pertanyaan dari pembelinya yang kerap agak nyinyir. “Saya aslinyo Solo,” ujarnya.
Ayah dua anak ini mengaku baru beberapa bulan berjualan jagung bakar di pinggir Kelok Sembilan. Langganan
nya adalah para pengendara yang sering berhenti di sana untuk melepas penat ataupun sekadar berfoto-foto.
Dalam sehari warga Hulu Air, Limapuluh Kota ini mendapatkan penghasilan Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. “Kalau hari biasa ya segitu, tetapi jika agak ramai seperti akhir pekan bisa lebih,” tuturnya.
Anto mengaku terpaksa memilih hidup berjualan di sisi kiri kelok terakhir Kelok Sembilan dari arah Kota Payakumbuh itu. “Sudah banyak pekerjaan yang saya coba, tetapi ini yang agak lumayan untuk membiayai sekolah anak-anak,” tutur pria bertubuh sedang ini.
Anto tidak sendiri. Ada puluhan pedagang lain yang memenuhi pinggir jalan yang diresmikan penggunaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu itu.
Mereka berjejer di sisi jalan yang agak curam tersebut, meski sewaktu-waktu bisa saja ada kendaraan yang menyambar lokasi mereka berdagang, baik karena pengemudinya kehilangan kendali, kerusakan mesin ataupun sebab lain.
“Sejak saya di sini sampai sekarang, belum ada kecelakaan di sini, apalagi sampai menubruk tempat berjualan,” lanjut Anto meski ia mengakui sewaktu-waktu bisa saja itu terjadi, termasuk longsornya tebing curam di sekitar jalan itu.
Apalagi kalau malam hari, tidak ada penerangan di sana, meski dipenuhi lampu jalan. “Dulu waktu peresmian oleh Presiden lampunya nyala. Sekarang tidak lagi, dan itu sudah berlangsung lama,” lanjut Anto.
Untuk penerangan, malamnya para pedagang di sana memanfaatkan alat penerangan seadanya seperti lilin, lampu tradisional, dan ada juga beberapa pedagang yang membawa genset.
Ia mengaku belum ada pihak-pihak yang melarang berdagang di sana selama ini. “Ya, dibolehkan begitu aja,” ungkapnya, tetapi ia enggan menyebut berapa iuran untuk berjualan di sana dan kepada siapa dibayarkan.
Sepintas berjualan di pinggir jalan seperti itu bermanfaat bagi para pengendara untuk melepas istrahat sejenak di sana, apalagi pemandangan Kelok Sembilan yang cukup indah. Tetapi keberadaan mereka di sana juga bisa membahayakan pengguna jalan, karena sudah mulai terlihat memakai badan jalan.
Sebaliknya, pedagang juga berisiko dihondoh kendaraan yang di luar kendali pengemudi. Selain itu, keberadaan mereka juga merusak keindahan kelok Sembilan.
Jika dibiarkan, mereka akan tumbuh bertambah banyak, dan tak kan mudah menertibkannya seperti di lokasi lain. Solusinya tata sejak awal lokasi berjualan yang aman bagi pedagang dan tidak merusak keindahan Kelok Sembilan yang dibangga-banggakan sebagai mahakarya anak bangsa itu.
Wisata
Sementara itu, kami terpesona oleh konstruksi Kelok Sembilan modern ini. Mobil yang doeloe beringsut, sekarang melaju kencang di sana. Jauh di bawah, di dasar lembah, Kelok Sembilan tua, kini tigal tujuh keloknya, yang dua harus dihabisi untuk adiknya yang serba beton yang baru datang.
Pada 20 November 2003, ada feature, tentang impian jalan layang Kelok Sembilan. Sembilan tahun kemudian, kami berfoto-foto di sana. Kelok Sembilan modern diresmikan Presiden SBY, Kamis 31 Otober 2013. Jalan ini pertama kali dibangun Belanda pada 1908. Atau 1932, tak jelas benar.
Jalan itu bukan sekadar berkelok-kelok, tapi menjadi obyek wisata. Sesenja itu, ramai orang di sana, menikmati jagung bakar di bahu jalan di atas jembatan. Ini berbahaya, tapi dibiarkan saja. Lampu jalan yang tegak gagah, ternyata tak menyala. Dinding bukit yang nyaris tegak lurus, sudah ditembak dengan semen, sehingga kokoh.
Anton terus mengipas api. Ia ingin segera jagung itu masak untuk pelanggannya. Lelaki yang beristri di Hulu Air, di puncak Kelok Sembilan itu, berasal dari Karang Anyer, Solo. Ia berdagang sejak pukul 2 siang dan pulang pukul 9.00 malam. Anto menghabiskan 10 Kg jagung sehari.
Lelaki bertopi merek Lee bersandel jepit berbaju kotak-kotak halus itu, tak menghiraukan kendaraan yang lalu lalang. Ia asyik dengan bara tempurungnya. Kami memandang ke kanan, tiang kokoh sangatlah besarnya berdiri angkuh, menupang lengkungan setengah lingkaran yang menahan jalan di atasnya. Para insinyur pasti tahu kenapa ada lengkungan semacam itu pada tiap jembatan besar. Yang jelas bagian atasnya ditopang 30 pilar setinggi 10 -16 meter. Pada beberapa titik, terlihat jelas lambang PT Waskita Karya Hutama Karya dan PU.
Jembatan Kelok Sembilan panjangnya 943 meter dengan jalan penghubung 2.098 meter. Atau totalnya 3 Km lebih dengan sembilan kelok pula. Berdiri di atas lahan sekitar 7 hektare dari 12 hektare yang diperuntukan. Biayanya Rp586 miliar. Di sini bisa berlalu lalang mobil apa saja, dengan kapasitas 14 ribu kendaraan berat sehari.
Dimulai 2003 dan selesai 2011. Awal mula, dikerjakan jembatan No. 3 sepanjang 65 meter, jembatan No. 4 sepanjang 453 meter, jembatan No. 5 sepanjang 31 meter dan jembatan No. 6 sepanjang 150 meter dengan total panjang 699 meter.
Lantas kemudian tahap II tahun 2012 – 2013 dikerjakan jembatan No. 1 sepanjang 20 meter dan jembatan No. 2 sepanjang 224 meter dengan panjang 244 meter.
Presiden SBY dalam pidato terakhirnya di DPR-RI menyebut kelok Sembilan sebagai sebuah proyek yang membanggakan.
Kelok sembilan terletak pada 148 km dari Padang arah ke Pekanbaru atau sekitar 20 Km dari Payakumbuh. Di sini setiap hari lewat kendaraan sebanyak 6.800 unit/hari dan 11.350/hari saat libur. Di kelok sembilan terbuhul dua masalah penting, yaitu jalan sempit dan terjal sehingga biaya angkutan darat menjadi sangat tinggi. Kedua, rawan kemacetan lalu lintas dan mengganggu arus wisatawan.
Pada tahun 2000, menurut catatan (waktu itu) Kepala Dinas Prasarana Jalan Sumbar Hediyanto, di ruas jalan Padang-Pekanbaru yang panjangnya 350 Km, Kelok Sembilan merupakan ruas yang paling berat untuk dilewati. Ruas jalan itu justru sangat penting, karena eratnya kaitan antara Riau dan Sumbar. Penduduk Riau sebagian besar berasal dari Sumbar. Hubungan ke dua daerah telah terjalin lama. Kedua daerah saling berutang sejarah.
Tapi Riau berkelabat maju. Industri tumbuh pesat. Ini ditandai dengan pemakaian tenaga listrik yang besar. Riau sendiri memacu pembangunan ekonominya di bidang perdagangan, industri, dan jasa. Sementara Sumbar konsentrasi pada pertanian dan pariwisata. Maka tak heran setiap akhir pekan, Bukittinggi penuh oleh warga Pekanbaru.
Ruas jalan Sumbar-Riau, senantiasa ramai, apalagi pada saat padat yaitu hari Jumat sampai Senin, dengan arus lalu lintas delapan ribu sampai 11 ribu kendaraan. Kelok Sembilan, menurut Bupati 50 Kota, Alis Maradjo, merupakan ruas jalan sejarah.
Setidaknya sejak tiga abad silam, perdagangan dari pedalaman Minangkabau ke Sumatera Timur telah melalui jalur ini. Kelok Sembilan sendiri dibangun oleh Belanda tahun 1932, sebuah pembangunan jalan yang banyak memakan korban. Kelok sembilan sama beratnya dengan Kelok 44 di Manijau, kelok di pendakian Sitinjau Laut antara Padang dan Solok serta pendakian di Silaiang Kariang, Padang Panjang. Sumbar memang kaya dengan jalan berkelok-kelok.
Karena posisi Kelok Sembilan yang berfungsi sebagai faktor penentu mulusnya hubungan lalulintas darat Padang-Pekanbaru, maka Pemprov Sumbar memandang perlu untuk membuat sebuah jembatan layang di situ. Ke sanalah saya pergi pada Sabtu dan menemukan impian 10 tahun silam itu menjadi kenyataan. Saya bersama rekan wartawan Singgalang, Widya Navies, Aci Indrawadi, Mhd Bayu vesky dan Jeffrie Ricardo Magno/Bule, serta Rahmat Zikri.
Sebelum sebagian jalan sempit berkelok menuju Pekanbaru sudah diluruskan dengan memakan biaya Rp15,2 miliar. Dengan demikian jarak tempuh Padang-Pekanbaru menjadi semakin singkat.
Pada 2003, saya menulis, “Kelak, di tengah rimba belantara Padang-Pekanbaru membentang jembatan layang rancak, di bawahnya tetap terlihat jalan Kelok Sembilan tua membentang, seperti mengukir sejarah kedua daerah.”
Kini jembatan layang itu selesai sudah. Napas Padang-Pekanbaru yang tersumbat selama beratus tahun, akan lepas. Lega.
Di Sumbar jalan bisa membuat orang menjadi sentimentil. Jalan-jalan didendangkan. Seniman Padang, Yusaf Rahman, berpuluh tahun silam membuat sebuah lagu berjudul Kelok Sambilan:
Mandaki jalan ka Payokumbuah
Baranti tantang Kelok Sambilan
Ondeh baranti tantang Kelok Sambilan
Dimalah hati indah karusua
Sadang basayang adiak bajalan
Ondeh sadang basayang adiak bajalan….
Dan senja telah benar-benar jatuh, kami melakitkan berfoto sejenak, sekali lagi. Sehabis itu, mobil meluncur ke arah Payakumbuh di bawah guyuran hujan.
“Kita ke Bintang Timur,” kata Bule wartawan Singgalang di Payakumbuh. Yang ia maksud adalah sebuah kafe kopi nan nikmat di jantung Payakumbuh, kota yang kini tak lagi bersepeda. (khairul jasmi & aci indrawadi)s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar