Featured Video

Senin, 13 Juni 2011

LAGU POP MINANG DIKUASAI ALIRAN LAWAK


Ditulis oleh Teguh   
Minggu, 13 Februari 2011 00:35
HAJIZAR, ETNOMUSIKOLOG
Lagu pop Minang belakangan marak dengan ganre rap. Kadang, dalam satu lagu menggunakan tiga bahasa. Syairnya sangat instan. Kekuatan teks lagu-lagu Minang berupa pesan, nilai-nilai moral dan sosial, sudah sulit ditemukan. Namun, kalangan seniman musik menilai, hal itu sebuah proses dan kreativitas. Identitas Minang masih kuat. Benarkah?
Hajizar, 56 tahun, adalah seorang etnomusikolog, pene­liti, dan komposer berbasis etnik (Minang). Sehari-hari ia adalah dosen di ISI Padang Panjang. Berikut petikan wawa­wanca Haluan seputar musik pop Minang.
Fenomena lagu-lagu Minang yang dibawakan Buset, Mak Itam, Lepoh, dan sejenis ini yang kini banyak beredar di pasaran. Bagaimana komentar Anda?
Cukup bervariasi aliran atau gaya lagu-lagu pop Minang semenjak tahun 60-an hingga sekarang. Walaupun setiap gaya lagu itu diawali oleh kreativitas komposer, ternyata selalu ada dukungan atau penikmat dari setiap gaya lagu pop Minang yang muncul tersebut.
Sebetulnya munculnya gaya humor yang dibawakan Buset, Mak Itam, atau Mak Lepoh dan artis sealiran lainnya adalah sudah ada embrionya dari komposer senior terdahulu yang lagunya memiliki unsur hu­mor; misalnya lagu “Ginyang Mak Taci” atau “Bapondoh-pondoh” karya Nuskan Syarif, lagu “Lego Pagai”, “Tasarah” atau “Boco Aluih” yang dibawakan Syamsi Hasan, atau lagu “Jawi­nar”, “Pisau Silet”, “Kiper Maju”, “Dimakan Caciang” oleh Nedi Gampo adalah disenangi oleh banyak masya­rakat Minang.
Hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat Minang memiliki jiwa humor yang cukup tinggi.  Bahkan pertun­jukan seni tradisional yang memiliki teks humor juga mendapat sambutan yang hangat dari penontonnya, bisa bertahan hidup, malahan ber­kem­bang dengan baik di te­ngah dominasi lagu-lagu popu­ler dewasa ini, misalnya teks humor yang dibawakan oleh kesenian Salawat Talam; atau teks humor lagu “Ginyang”, “Sabatang Tubuah”, “Basulo Basi” dari musik tradisional rabab pasisia sangat mem­berikan hiburan terhadap penontonnya yang terdiri dari orang muda, orang tua dan anak-anak.  Tak ketinggalan pantun-pantun humor yang tersaji dalam pertunjukan dendang saluang sarek.
Jiwa humoris masyarakat Minang ini yang ditangkap oleh Buset, Mak Lepoh, dan Mak Itam serta seniman sealiran lainnya yang direalisasikan dalam karya-karya lagu pop Minang yang berbeda gaya dan konsep pertunjukannya bila dibandingkan dengan penyanyi-penyanyi humor sebelumnya.  Bedanya, kalau seniman Nuskan Syarif, Syamsi Hasan, dan Nedy Gampo lebih meng­an­dalkan kekuatan humor pada teksnya, sementara Buset, Mak Lepoh, dan Mak Itam meng­kombinasikan teks lagu humor itu dengan kekuatan visualnya bak sebuah sajian grup lawak, sehingga unsur pertunjukannya memberikan hiburan yang tinggi.
Sudah lama sekali masya­rakat Minang merindukan lahirnya kelompok lawak di Sumatera Barat, kombinasi bahasa teks humor suatu lagu dengan pertunjukannya dalam konteks lawak cukup mengo­bati kerinduan masyarakat Minang terhadap seniman muda lawak tersebut.
Pernah ISI melakukan penelitian terkait dengan hal di atas? Kalau per­nah, bagaimana hasilnya?
Penelitian masalah perkem­bangan teks atau pantun-pantun lagu pop Minang belum pernah dilakukan oleh para dosen ISI Padang Panjang. Cuma pene­litian teks atau pantun-pantun dendang saluang darek yang bernuansa pornografi pernah dilakukan oleh beberapa dosen ISI Padang Panjang, seperti Andar Indra Sastra, Hartati, dan Erlinda yang meng­hubung­kannya dengan masalah eksis­tensi perempuan pendendang Saluang Darek itu sendiri di tengah masyarakat Minang yang berasaskan adat bersendi syarak, syarak bersendi Kita­bullah.
Selain itu, prosesnya juga sangat instan. Lagu Minang yang dihasilkan saat ini  juga terkesan asal jadi. Dan ini juga sangat merebak di pasaran. Apa komentar Anda?
Suatu proses karya seni itu memang cukup beragam latar belakangnya.  Ada lahirnya karya seni setelah melalui perenungan panjang, atau menunggu ilham yang turun, dan terdapat pula suatu karya seni itu diulang-ulang mem­bongkarnya bebeberapa kali sehingga memakan waktu yang cukup lama hingga dirasa final oleh senimannya.
Agus Thaher pernah bilang sama saya, bahwa karyanya lagu “Pusaro Mimpi” dan “Rinai Pambasuah Luko” cukup memakan waktu lama hingga finishingnya.  Setelah kedua lagu ini dibawakan oleh artis Zalmon, ternyata karya Agus Thaher ini yang merubah peta gaya lagu Pop Minang dari priode sebelumnya.
Kebalikan dari di atas, terdapat juga suatu lagu yang tercipta dalam tempo waktu super-instan, sebagaimana lagu “Apanya Dong” karya Titik Puspa yang kononnya terpaksa diciptakan untuk mencukupkan durasi kaset yang akan dilem­par ke pasaran, ternyata mele­dak di persada Nusantara.
Kenyataannya juga ada komposer yang terkesan ber­karya asal jadi menurut penda­ngan pengamat musik, namun bagi konsumen pasar tidak pernah terpikir oleh mereka tentang bagaimana asal-muasal suatu lagu itu diciptakan oleh komposernya, tetapi asalkan suatu lagu pop Minang itu menyentuh jiwa hiburannya maka kaset lagu tersebut akan tersebut akan dikonsumsinya. Berapa banyak lagu pop Mi­nang yang dianggap memenuhi standar umum jiwa Minang yang diciptakan oleh para komposer dengan penuh per­timbangan, kenyataannya tidak laku di pasaran. Artinya me­mang selera pasar sulit diduga yang sangat relatif hubungannya dengan proses penciptaan dan hasil penciptaan dengan selera penikmatnya.
Namun demikian, lagu-lagu yang terkesan asal jadi itu, juga diterima masyarakat. Apakah memang demikian tingkat apresiasi masyarakat?
Sejatinya masalah apresiasi masyarakat tidak dapat dipukul rata, bahwa setiap aliran atau gaya lagu tertentu akan dise­nangi oleh kalangan masyarakat tertentu pula.  Sementara itu tingkat apresiasi kalangan masyarakat itu juga sangat dipengaruhi oleh tradisi sosial-budaya dan suasana lingkungan mereka masing-masing. Misal­nya kalangan masyarakat yang didominasi kesenangannya terhadap dendang saluang darek akan lebih suka menikmati lagu pop Minang yang beraliran dendang taruna, seperti lagu-lagu karya baru yang dinya­nyikan artis Mis Ramolai, Melati, ataupun Asben. Dan mereka ini hanya lagu-lagu Pop Minang standar tertentu saja yang dikonsum­sinya, seperti “Kasiak Tujuah Muaro”, “Ra­tok Ka Payuang Kuniang” dan sebagainya.
Namun yang menjadi ca­tatan di sini ialah bahwa para komposer lagu pop Minang dan seniman pengaransirnya cukup memiliki kesempatan untuk meningkatkan apresiasi masya­rakat Minang melalui karya-karyanya yang bersifat kreatif.  Walaupun gaya slow rock pop Minang karya terakhir Agus Thaher cukup memberi hara­pan untuk menyela gaya ratok pop Minang yang dilakoni oleh Zalmon, atau Ucok Sumbara, tetapi masih belum bisa meng­ubah peta lagu pop Minang standar di era 90-an ini ber­anjak dari khas ratoknya. Tanpa kenakalan/kedinamisan krea­tivitas komposer pop Minang untuk berani meluncurkan khas Pop Minang standar yang baru yang mana tahu bisa menukar priode ratok Pop Minang, karena dengan pelun­curan jumlah karya lagu-lagu pop Minang yang eksperimen itu seperti halnya waktu mun­cul­nya pencipta lagu Agus Thaher tersebut.
Kekuatan lagu-lagu Minang itu pada syair dan nilai-nilai sosial dan masyarakat, hal demikian itu tak terlihat lagi pada saat sekarang?
Bersumber dari lagu-lagu pop Minang yang beredar yang saya amati, ternyata cukup berbilang banyaknya nomor-nomor lagu pop Minang yang berangkat dari resepsi nilai-nilai sosial masyarakat yang dilahirkan dengan teks/seni kata yang berunsur vokabuler kata-kata/kalimat sastra pasam­bahan Minang, tetapi oleh karena masih membawakan konsep gaya ratok Pop Minang yang sudah cukup panjang masa tahun kepopulerannya menguasai pasar, mengaki­batkan lagu-lagu karya baru itu sudah dianggap biasa saja dan tidak berprospek untuk mele­dak di pasaran.
Sebetulnya pencinta lagu pop Minang standar masih tetap mencari dan menseleksi lagu-lagu yang dianggap bagus teks dan melodi, serta aransemen musiknya, walaupun hanya sekadar untuk menambah koleksi pribadinya.
Tidak terlihatnya lagu-lagu pop Minang yang memiliki syair (teks) yang puitis dengan melodi lagu yang cukup mena­rik adalah karena era ini sedang dikuasai oleh jenis lagu-lagu Minang humor dengan pertun­jukannya dalam konsep lawak oleh Mak Lepoh, Buset, Mak Itam dan lain-lainnya.
Apakah hal ini sebagai tuntutan dari pasar atau produser atau memang penyanyi/pencipta itu sendiri?
Betul tuntutan pasar sangat menentukan jumlah peredaran kaset rekaman, karena masya­rakat membutuhkan warna lagu dan musik yang baru untuk dinikmatinya, dan sudah terlalu lama mereka disuguhi oleh ratapan lagu dan garinyiak bansi.  Dalam hal ini, produser berposisi sebagai “titian aia polongan asok” antara kompo­ser dan masyarakat penikmat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Produser akan melipat­gandakan jumlah eksemplar kasetnya bila suatu gaya lagu sedang digandrungi masyarakat dan akan meminimalkan jumlah produksinya bila masyarakat sudah kurang mengkonsumsi suatu gaya lagu pop Minang tersebut. Tetapi walaupun demikian, biasanya secara berkala produser akan tetap melempar produksi kaset pop Minang standar sebagai mem­buktikan konsistensinya ber­gerak sebagai produser reka­man sambil menunggu keajai­ban munculnya aliran atau gaya Pop Minang yang baru yang akan merobah peta penik­matan lagu pop Minang masya-rakat itu sendiri.
Begitu juga sang komposer lagu pop Minang standar saya rasa cukup konsisten dengan alirannya masing-masing.
Apakah dengan maraknya lagu-lagu Minang yang serba instan itu, sebagai indikator merosotnya nilai-nilai kebudayaan Minang secara umum?
Indikasi ini juga ada benar­nya, karena mayoritas generasi muda sekarang, baik di kam­pung atau di kota, apalagi di rantau adalah membutuhkan apresiasi tentang seni budaya Minang.  Generasi Minang dahulu pergi merantau ke kota, atau pergi sekolah ke daerah lain setelah mereka belajar mengaji di surau, belajar silat dan talempong di sasaran, atau belajar saluang, bansi, dendang dan rabab di pondok tanda­ngan.  Modal Minang sewaktu kecil dan remaja ini sudah barang tentu akan mempe­ngaruhi tingkat kemerosotan budaya Minang itu sendiri.
Apa upaya yang mesti dilakukan agar syair-syair lagu Minang kembali kepada jatidirinya lagi?
Salah satu upaya yang dirasa cukup ideal ialah member­dayakan pembelajaran pantun dan pepatah-petitih yang sesuai dengan tataran umur anak didik pada tingkat SD, SMP, dan SMA sebagai materi sastra muatan lokal. Apresiasi ini yang sangat dibutuhkan yang di­prediksi bernilai positif terha­dap penikmatan sastra para remaja Minangkabau.
ISI sebagai lembaga yang terkait erat dengan seni, apa langkah yang akan dilakukan?
Dalam kurikulum jurusan Karawitan sudah diisi dengan mata kuliah Sastra Minang­kabau, dan semua repertoar dendang: dendang saluang darek, dendang saluang si­rompak, dendang saluang pan­jang, dendang saluang pauah, dan dendang musik tari lainnya sudah implisit didalamnya tentang kekayaan sastra Minang tersebtu yang bisa menjadi kekayaan mereka untuk ber­kreativitas di masa depan.  Pewawancara Nasrul Azwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar