Featured Video

Selasa, 12 Juli 2011

MENUNGGU GEBU MINANG MELALAKUKAN GERAKAN


Mubes Gebu Minang V di auditorium Hoerijah Adam kampus ISI Padang Panjang, Minggu sore sudah berakhir. Sebelum menutup acara Mubes, pituo Minang yang juga Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal mengajak semua kalangan untuk sama-sama membesarkan Gebu Minang.

Menurut Fasli di masa datang peranan Gebu Minang akan lebih penting lagi dalam rangka menggerakkan potensi perantau bagi kemajuan kampung halaman. Hal yang sama sehari sebelumnya juga disampaikan Menkum/HAM Patrialis Akbar yang menyebutkan bahwa Gebu Minang mesti melakukan revitalisasi peran.
Artinya, kedua pandangan Menteri dan Wakil Menteri itu sama-sama memberikan isyarat bahwa saat ini Gebu Minang tidak atau belum dirasakan benar perannya. Jika merujuk pada revitalisasi, artinya mengesankan bahwa ada sesuatu kekuatan yang ada dalam Gebu Minang tetapi belum dimanfaatkan. Karena itu perlu direvitalisasi.
Gebu Minang berawal dari temu wicara Presiden Soeharto dengan para petani Sumatra Barat pada puncak Pekan Penghijauan Nasional (PPN) di Aripan, Kabupaten Solok, tahun 1983.
Presiden Soeharto berpandangan dan memberi inspirasi, kalau setiap perantau Minang rata-rata menyumbang Rp1.000 (seribu rupiah) saja setiap bulan untuk kampung halamannya, berapa itu jumlah uang yang bisa terkumpul. Artinya ada Rp3 miliar.
Gagasan Presiden Soeharto akhirnya menjelama menjadi Gerakan Seribu (rupiah) Minangkabau yang disingkat Gebu Minang. Kemudian diadakan Musyawarah Besar (Mubes) Gebu Minang di Bukittinggi akhir tahun 1989 yang melahirkan Lembaga Gebu Minang pada tanggal 24 Desember 1989.
Mubes I Gebu Minang tersebut sungguh sangat memberikan harapan, karena diikuti oleh ratusan tokoh Minang di tingkat nasional maupun daerah, serta perwakilan para perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Emil Salim, Harun Zain, Azwar Anas, Bustanil Arifin, Hasyim Ning, dan melibatkan pula para cendekiawan dari berbagai perguruan tinggi di Sumatara Barat.
Belakangan, Gebu Minang sepertinya lari dari semangat dan idealisme awal tersebut. BPR Gebu Minang menjalankan praktek sama saja dengan BPR biasa, dimiliki beberapa orang, tujuannya adalah bisnis semata. Gerakan Seribu (rupiah) pun kemudian diganti menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya (disingkat Gebu juga) Minang yang kemudian tak jelas lagi arahnya.
Bahkan terkesan Gebu Minang makin hari makin menjadi semacam wadah para elite orang Minang, kehilangan akar karena tak bersentuhan lagi dengan rakyat ‘badarai’. Juga telah kehilangan rohnya sebagai gerakan untuk membangun semangat tolong-menolong, gotong royong, dan kebersamaan untuk membangun kemandirian masyarakat Minang di nagari-nagari di seluruh Sumatera Barat.
Selain kehilangan roh, Gebu Minang juga telah mengalami kekacauan orientasi. Tidak jelas lagi tujuan dan kerjanya. Sehingga, kalau sekarang ditanya orang Minang di rantau maupun di kampung, kebanyakan tak lagi mengerti apa itu Gebu Minang.
Ketika berlangsung Mubes Gebu Minang di Padang Panjang kemarin itu, jauh benar bedanya dengan peristiwa Mubes di Bukittinggi tahun 1989 itu. Kemarin itu tidak terlihat banyak tokoh yang hadir. Bahkan terkesan tak ada ‘urang kampuang’ yang terlibat di situ. Pemprov Sumbar pun hanya sekedar memberikan sambutan yang disampaikan Wakil Gubernur Muslim Kasim.
Apakah ini tanda-tanda sebagaimana dikemukakan oleh Gubernur Irwan Prayitno di AS dua hari lalu itu? Bahwa dalam hal berbisnis (bukankah sebagian besar dari semangat awal dari Gebu Minangt itu berkaitan dengan ekonomi?) orang Minang sulit bekerjasama. Akan tetapi dalam hal gerakan sosial agaknya ada hal yang positif dari tipikal Minang: sato sakaki, budaya ini akan menjadi modal membangun kebersamaan dalam Gerakan Gebu Minang. Maka jika ‘semangat aripan’ yang pernah dilontarkan Presiden Soeharto itu mulai menurun, saatnya dilakukan revitalisasi. Jangan biarkan Gebu Minang hanya sekedar ajang temu kangen.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar