Featured Video

Minggu, 03 Juli 2011

TOLAK PEMBERIAN GELAR ADAT


Bakor Padang dan LAKM
JAKARTA, HALUAN — Ba­dan Koordinasi Ikatan Ke­luarga (Bakor IK) Kota Padang dan Lembaga Adat dan Kebu­dayaan Minang (LAKM) di Jakarta menolak dengan tegas pemberian gelar adat oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Delapan Suku Padang kepada Feryanto Gani dengan Gelar Sutan Rangkayo Nan Mudo dan Wi Hook Cheng  (Setia Budi) dengan gelar Datuak Rajo Putiah.

“Pemberian gelar kepada nonmuslim tidak pada tem­patnya. KAN harus mencabut kembali pemberian gelar terse­but dan yang menerima harus mengembalikan­nya. Ini nama­nya jalan sudah diasak urang lalu,” kata Ketua Umum Bakor IK Padang Zulhefi Sikumbang kepada Haluan di Jakarta, kemarin.
Dalam kesempatan terpi­sah, Sekretaris Umum LAKM, Azmi Datuk Bagindo juga menentang keras pem­berian gelar kepada kedua tokoh Tionghoa Padang terse­but. “Beliau-beliau itu bukan orang Minang, tetapi adalah warga Sumatera Barat. Yang disebut orang Minang adalah orang yang memeluk agama Islam.
Orang Minang seka­lipun kalau dia sudah pindah agama, maka dia bukan orang Minang,” katanya.
Sebagaimana diberitakan Haluan, Tuako Himpunan Tjinta Teman (HTT) Feryanto Gani ini diberi gelar Sutan Rangkayo Nan Mudo oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Delapan Suku Padang pada Rabu (22/6) lalu. Sebelumnya, KAN ini juga telah memberikan gelar adat Datuk kepada Setia Budi.
Zulhefi menambahkan, Feryanto Gani dan Setia Budi diakui sebagai warga Padang karena tumpah darah­nya ada di kota tercinta ini. Apalagi leluhur beliau ikut berjasa dalam pembangunan kota. Namun begitu, bukan berarti gelar adat bisa diberi­kan kepada dia (Feryanto dan Setia Budi) secara sembarangan.
“Gelar adat kehormatan, apalagi yang pusako seperti gelar Datuk itu, tak bisa diberikan sembarangan. Mereka yang berhak menerima adalah yang se-akidah dengan orang Minang. Jadi, kita minta Pak Fery dan Setia Budi mengembalikannya lagi,” ujar calon Ketua Umum Gebu Minang tersebut.
Pelecehan
Sekum LAKM Jakarta, Azmi Dt. Bagindo dalam tulisan pendapatnya yang dipostingkan ke milis rantaunet­@googlegroups.com, menyebutkan pemberian gelar adat kepada dua tokoh Tionghoa Padang itu sebagai kesalahan besar yang dapat mengka­burkan nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kibullah, (ABS-SBK), yang merupakan jati diri masyarakat Minangkau.
Masyarakat Minangkabau itu, kata dia, telah sepakat hanya meng­anut satu agama, yaitu Islam. Setiap orang Minang itu pasti Islam, apalagi yang bergelar Datuak atau Penghulu. Jika ada orang Minang yang berpin­dah agama, baik bergelar Datuak atau Sutan, maka dia secara otomatis keluar dari orang Minang,  atau dia bukanlah orang Minang lagi, tetapi hanyalah orang Sumatera Barat.
Menurut Azmi pemberian gelar secara serampangan tersebut oleh KAN Delapan Suku adalah pelecehan terhadap budaya dan adat Minang­kabau, yaitu pertama,pelecehan terhadap yang menerima karena dia menerima sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini sama dengan menerima cek kosong tidak dapat di uangkan. Dalam pepatah adat disebutkan “berdiri penghulu sepakat kaum” sedang dia sendiri tidak punya kaum, lalu siapa yang mengang­katnya?
Kedua, pelecehan terhadap nilai-nilai adat itu sendiri. Jangankan gelar yang diberikan kepada orang non Islam, kepada orang Minangkabau sendiri yang telah diberi gelar, apakah itu gelar datuk, atau gelar yang lain, apabila dia berpindah agama dari agam Islam, maka gelar yang telah diberikan kepadanya dicabut kembali. Begitu juga seluruh hak-hak adat atau yang disebut sako jo pusako, dan kepadanya diberikan sanksi adat dengan dibuang sepanjang adat.
Ketiga, pelecehan terhadap yang memberi, karena mereka telah melakukan sesuatu yang berten­tangan dengan aturan adat  nan sabatang panjang, yaitu “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK) yang berlaku di seluruh Minangkabau. Masyarakat Minang­kabau  menjunjung tinggi nilai yang terkandung di dalamnya.
Ia menyebutkan pemberian gelar adat kepada dua tokoh Tionghoa itu sangat berbahaya karena  pembe­rian ini berarti telah memberikan peluang kepada  pihak agama lain untuk masuk ke dalam tatanan Adat Minangkabau. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan. “Kita belum tahu apa alasan pemberian tersebut, apa ada unsur kesengajaan atau mungkin beliau-beliau itu lupa, dalam hal ini  perlu ada kejelasan. Kalau Bulando bapaga basi, Minangkabau bapaga Adat. Maka sekarang pagar itu yang telah dibuka oleh orang dalam sendiri, jadi jalan tidak dianjak urang lalu, cupak indak dirubah urang manggaleh, tetapi urang dalam sendiri nan maasak jalan dan nan marubah cupak,” katanya.
Untuk itu, ia meminta KAN, niniak mamak nan salapan suku nagari Padang berserta Bundo Kandungnya, dapat mengadakan koreksi kembali dengan pertim­bangan dan mengkaji mudarat  dan manfaatnya dan kemudian mencabut kembali pemberian gelar tersebut, serta membuat pernyataan maaf melalui media cetak kepada seluruh masyarakat Minangkabau
Kemudian, kepada yang meneri­ma gelar tersebut, kiranya dengan jiwa besar, dapat membuat pernya­taan, mengembalikan gelar tersebut kepada KAN salapan suku di Padang. Dengan alasan, lebih banyak muda­rat­nya dari pada manfaatnya, dan kemudian membuat pernyataan maaf melalui media cetak kepada seluruh masyarakat Minangkabau. (h/sal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar