Featured Video

Kamis, 04 Agustus 2011

AZWAR ANAS, MANUSIA YANG TAK BISA DIBELI


BUKU BIOGRAFI AZWAR ANAS DILUNCURKAN
JAKARTA, HALUAN — Peringatan 80 Tahun Letjen TNI (Purn) Ir. H. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman yang ditandai peluncuran buku Biografi “Azwar Anas, Teladan dari Ranah Minang” di Puri Agung Grand Sahid Hotel, Jakarta, Selasa (2/8) malam, berlangsung begitu semarak dan  hikmat.

Tiga tokoh bangsa yang memberikan testimoni tentang sosok Azwar Anas, masing-masing sejarawan Taufik Abdullah, mantan Meneg KLH yang sekarangan Ketua Dewan Pertim­bangan Presiden Emil Salim dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menggambarkan sosok mantan Gubernur Sumbar itu sebagai pribadi yang bersahaja.
Emil Salim menceritakan keka­gumannya saat mendengar Azwar Anas berpidato pertama kali di Istana Negara. Ia (Azwar) bercerita tentang sosok manusia; manusia itu adalah jiwa pada badan dan tubuh yang mengabdi. “Kita ini tubuh, tapi intinya adalah jiwa. Karena itu, perlu mensana in corporesano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat,” ujar Emil menirukan cupli­kan pidato Azwar Anas yang pernah didengarnya.
Bung Azwar, kata Emil, tak hanya paham dengan manusia dan jiwanya itu. Tetapi juga paham tentang agam, namun juga juga mengerti olahraga sehingga ia terpilih terpilih menjadi Ketua PSSI. Ketika memimpin PSSI ini pulalah Azwar Anas mem­perlihatkan sosoknya sebagai manusia yang bermoral tinggi dengan jiwanya yang bersih itu. Mahal tak bisa dibeli, murah tak bisa diminta.
Ketika kesebelasan Indonesia menjebol gawangnya sendiri saat menghadapi tuan rumah Thailand dalam pertarungan Piala Tiger di Chiangmai yang ditengarai ada ‘permainan uang’, Azwar Anas langsung mengundurkan diri selaku Ketua Umum PSSI.
“Saya tahu hatinya menangis menyaksikan begitu mudahnya manusia Indonesia bisa dibeli dengan uang, tetapi jiwa Azwar Anas tetap tegak dan memilih mundur sebagai Ketua Umum PSSI sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada bangsa,” kata Emil yang disambut tepuk tangan hadirin.
Dikutip dari buku biografinya setebal 550 halaman yang ditulis sastrawan Abrar Yusra tersebut,  diceritakan di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, tempat menerima para pemain PSSI pulang dari Chiangmay, di hadapan Aji Santoso dan kawan-kawan, Azwar Anas berbicara dengan suara parau; “sebagai bapak, saya sangat sedih dengan situasi ini. Namun sebagai bapak pula, saya harus mengun­durkan diri sebagai tanggung jawab moral,”.
Meskipun “anak-anak” pemain PSSI itu menangis dan minta ampun, Azwar Anas berkata, “Sebagai Ketua Umum PSSI saya tidak bisa mem­pertanggungjawabkan perbuatan mereka kepada publik, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Tapi juga saya tidak ingin melem­parkan tanggung jawab kepada pihak lain. Jalan terakhir hanya mundur secara kesatria dan itulah yang saya lakukan,” kata Azwar Anas dalam biografinya tersebut.
Mengisi Jiwa Orang Minang
Baik Emil maupun Taufik Abdul­lah, sama-sama menyebutkan bahwa Azwar Anas adalah sosok yang mengisi jiwa orang Minang dari kekosongan karena sejarah kelam Ranah Minangkabau dengan peris­tiwa PRRI-nya itu.
Setelah Gubernur Harun Zain berhasil dengan strategi mambangkik batang tarandam dengan menegakkan harga diri orang Minang, Gubernur Azwar Anas-lah yang mengisinya dengan nilai-nilai agama dan mana­jemen, sehingga orang Minang bisa lebih percaya diri.
“Azwar Anas berhasil melakukan sebaliknya dari cerita robohnya surau kami yang dikarang oleh sastrawan Alm AA. Navis,” ujar Taufik Abdullah.
“Ya, ketika orang pintar eksodus ke rantau. Kampung yang tak punya apa-apa ini jadi lengang, Bung Azwar ternyata berhasil memajukannya dengan diraihnya penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha,” sambung Emil Salim.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengaku menang selang­kah dari Azwar Anas karena sama-sama korp Menko Kesra, tetapi Kalla bisa langsung jadi Wakil Presiden, mengakui Azwar Anas sebagai teladan dari Ranah Minang. Namun dengan berseloroh pula, Kalla menyebut mantan Ketua Umum Tarbiyah yang letnan jenderal ini tak bisa diteladani. “Kenapa? Karena terlalu banyak prestasi yang diukir Pak Azwar sehingga sulit mana yang harus kita ikuti,” ujar Kalla yang disambut tepuk riuh hadirin, yang di antaranya nampak Men­kominfo Tifatul Sembiring, Menteri Kelautan Fadel Muhammad, Wamen­diknas Fasli Jalal, mantan Menhub Agum Gumelar, Dubes RI untuk Malaysia Dai Bachtiar, mantan Menaker Abdul latif, Fahmi Idris dan sejumlah tokoh Minang lainnya, seperti H. Basrizal Koto, Basril Djabar, dan Wagub Muslim Kasim.
Kalla mencatat ada sembilan profesi yang berhasil dijalani dengan baik oleh Azwar Anas, yaitu sebagai militer karir yang dimulai dari letnan dua hingga letnan jenderal;  sebagai orang pemerintahan yang dimulai sebagai gubernur hingga menjadi menteri; sebagai politisi yang pernah menjadi Ketua Fraksi di MPR hingga menjadi penasehat Partai Golkar; sebagai entrepreneur ketika berhasil memimpin PT Semen Padang, sebagai pembina olahraga dengan jabatan ketua umum PSSI.
“Di bidang olahraga ini saya kalah dari Pak Azwar karena saya hanya sebagai Ketua PSM Makassar. Tetapi waktu di Menko Kesra saya menang dari Bapak karena saya jadi Wapres,” gurau JK.
Profesi lainnya, puji Kalla, adalah sebagai pendidik karena Azwar Anas juga menjadi seorang pengajar, kemudia sebagai ustad dengan ayat-ayatnya yang begitu panjang. “Waktu beliau jadi Menhub dan saya jadi pengusaha, pernah ada urusan bisnis dengan Pak Azwar yang ketika bertemu isi pembicaraan bisnisnya cuma beberapa menit saja, namun ceramah agamanya bisa seperempat jam,” kenang mantan Ketua Umum Golkar itu.
Dua profesi lainnya adalah di bidang sosial karena Azwar Anas pernah memimpin Tarbiyah dan Yayasan Gebu Minang, serta sebagai seniman karena dia juga seorang pemain biola. “Lengkap sudah profesi beliau. Semua berjalan dengan baik, sehingga sulit mana yang harus kita teladani,” kata JK mengakhiri sambutannya.
Acara peluncuran buku yang didahului peniupan lilin ulang tahun itu, ditandai penampilan pembacaan puisi oleh Taufiq Ismail diiringi permainan biola oleh Idris Sardi. Azwar Anas sendiri sempat tampil berpidato mengenang kisah-kisah hidupnya yang penuh warna. Meski sering menentang kebijakan Cendana, namun mantan Dirut PT Semen Padang ini tetap disayang oleh Presiden Soeharto.
Namun di hadapan lebih 550 hadirin, Azwar tetap tak kuasa menitikkan air mata mengenang istrinya Djusmaini Azwar Anas yang sudah mendahuluinya beberapa waktu lalu. “Sebagai abdi negara, saya lebih banyak di luar ketimbang di rumah. Ibu Djus-lah yang menga­tur semuanya sehingga mampu membesarkan dan menyekolahkan anak-anak,” katanya dengan suara parau sambil meminta maaf kepada anak-anak dan cucunya yang hadir malam itu.
“Kami menyadari penuh yang dipesankan Pak Azwar bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama secara ikhlas serta berani memperbaiki kesalahan diri dan ikhlas menerima kritik,” sebut Ketua Panitia Peluncuran Buku Biografi Azwar Anas ini, Firdaus HB.(h/sal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar