Featured Video

Jumat, 05 Agustus 2011

Beriman dan Jujur


M. LUTHFI MUNZIR

“ORANG yang tidak meningkatkan amalan dan ibadahnya kepada Allah SWT di bulan Ramadhan, mereka termasuk ke dalam orang yang merugi. Maka, hendaklah Ramadhan menjadi bulan prestasi dalam beribadah, menambah hafalan Alquran, berinfak, dan mengerjakan amalan sunnah lainnya”.
Demikian intisari pengajian seorang ustadz menenjelang berbuka puasa.
Nasihat yang sangat jelas. Seperti pesan Rasulullah SAW, bahwa di bulan Ramadhan pintu syurga dibuka lebar-lebar, pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan setan-setan dibelenggu. Kemudahan meningkatkan ibadah di bulan yang mulia ini erat kaitannya dengan iman. 
Menurut salafussaleh, iman didefinisikan sebagai “keyakinan tanpa keraguan, menerima tanpa menolak, melaksanakan tanpa menunda, dan mengambil tanpa membeda-bedakan.
Meyakini dengan sepenuh hati keberadaan Allah SWT dalam aspek tauhid rububiyyah (mengesakan Allah dalam penciptaan, pemeliharaan), tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah dalam penyembahan), tauhid mulkiyah (mengesakan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum) dan tauhid asma’wa shifat (keyakinan bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang baik, yang tidak diserupakan dengan makhluk).
Menerima segala perintah Allah SWT dengan hati lapang, sebagaimana yang dituntunkan Alquran dan sunnah nabi. Kemudian melaksanakan suruhan dan meninggalkan larangan tanpa menunda-nunda, melambat-lambatkan atau melalaikan. Kekuatan iman itu haruslah didasari kesadaran, tidak membeda-bedakan seorang rasul dengan rasul yang lainnya. Semuanya sama, diturunkan untuk kebaikan umat manusia.
Rasa keimanan ini yang dimaksudkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 285 dan dipatrikan dalam sanubari kita sebagai hamba, sebagai aktualisasi keimanan dan ketaqwaan kepada sang pencipta, sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami taat).
Kalimat yang singkat, namun mengandung kekuatan yang sangat dahsyat apabila benar-benar menjadi penyemangat diri, memperbaharui iman dan taqwa.
Sudahkah iman menjadi benteng kokoh dalam diri? Menjaga diri dari perilaku yang membuat kita jauh dari Allah? Dalam konteks kebutuhan kita akan energi baru itulah Allah menurunkan Ramadhan sebagai bulan tarbiyah, bulan perbaikan menuju pribadi tangguh yang beriman.
Energi itu merevisi dan meredifisikan kembali keimanan dalam konteks siddiqul iman.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar” (At-Taubah 119).
Ada dua hal penting yang diingatkan Allah dalam ayat tersebut. Pertama; Iman. Banyak di antara kita yang mengaku beriman, tetapi wujud iman tersebut dalam implementasi jarang terlihat. Sehingga kita, misalnya, hafal dengan rukun iman, tetapi lupa mengamalkani.
Dalam keseharian dan bergaul dengan banyak orang, tanpa disadari terkadang lupa dengan siddiqul iman. Kepercayaan kepada Allah terkadang masih dibarengi dengan menafikan keberadaan Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Kejujuran menjadi barang langka di negeri ini. Korupsi menjadi hal yang biasa. Kita dengan mudah memaafkan diri sendiri maupun orang lain terhadap korupsi yang dilakukannya. Menjadi pemaaf itu memang suatu keharusan. Tetapi memaafkan sesuatu yang keliru dan berdampak besar pada masyarakat banyak, tentu akan menjadikan rasa maaf itu sebagai permainan, sebagai hal yang diada-adakan sebagai dalil membenarkan tindakan yang salah. Padahal kejujuran adalah hal yang tak terpisahkan dari konsep iman. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar