Featured Video

Minggu, 27 November 2011

SONGKET LAMA MINANG DIPAMERKAN DI BBJ


Ratusan songket dengan beragam motif lama Minangkabau yang sudah direvitalisasi Studio Songket ErikaRianti, dipamerkan selama sembilan hari, dari 25 November hingga 4 Desember 2011 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Pameran itu sendiri dibuka secara resmi oleh Ketua Harian Dekranas, Ny Vita Gamawan Fauzi, Kamis (24/11) malam.

Menurut budayawan Muhammad Ibrahim Ilyas dari Komunitas Pucuk Rebung yang memfasilitasi acara ini melalui Bentara Budaya Jakarta, menyebutkan, bahwa pameran seperti itu sebenarnya sudah lama direncanakan, tetapi baru bisa terlaksana setelah Bentara Budaya membuka diri untuk pameran songket yang sarat dengan nilai-nalai budaya Minang­kabau tersebut.
Selama sembilan hari tersebut, pameran ini menampilkan berbagai motif songket lama yang sudah direvitalisasi oleh ahlinya dari Swiss yang sudah 20 tahun menekuni songket Minang, Bernhard Bart dan istrinya Erika Dubler, seperti untuk baju, sarung maupun salendang.
Ny Vita Gamawan dalam sam­butannya sebagai Ketua Harian Dekranas Pusat, menyambut baik dipamerkannya motif-motif lama songket Minangkabau untuk me­ngem­balikan citra budaya yang terkandung di dalamnya.
“Kita tahu pembuatan kain songket bukan hal yang mudah dan perlu ketekunan dan kesabaran para pembuatannya yang umumnya adalah kaum perempuan di Ranah Minang. Satu helai kain, baru bisa diselesaikan dalam tempo 6 bulan sampai tahunan. Tergantung kesulitan motifnya,” cerita mantan Ketua Dekranasda Sumbar tersebut.
Dekranas, kata Ny Mendagri ini, sangat menyambut baik dipa­mer­kannya kembali motif songket lama ini, apalagi sudah dilakukan peng­kajian yang dalam dan menge­fisienkan waktu pembuatannya oleh Studio Songket ErikaRianti.
Salah satu tugas Dekranas, katanya, menambahkan, adalah ikut mendorong pelestarian produk-produk milik bangsa Indonesia yang memiliki seni budaya tinggi, termasuk songket dari Minangkabau.
“Kain tenun adalah salah satu produk kearifan local yang motifnya mempunyai makna dan filosofi yang harus dijaga kelestariannya agar tidak ditiru oleh negara lain,” tuturnya.
Bernhard Bart, menjelaskan bahwa songket yang dipamerkan antara lain bermotif belah kacang yang  berasal dari 200 tahun lalu, motif kaluak paku, sajamba makan, manggih tapuak, bintang berbunga, kalimah palu dan salapah dari Ampek Angkek.
Replika dan Konservasi
Bernhard Bart, 64 tahun, arsitek berkebangsaan Swiss, seorang yang punya kecintaan khusus kepada seni tenun. Dalam perjalanan panjangnya ke beberapa negara Asia seperti India, Thailand, Laos, Vietnam dan bebera­pa daerah di Indonesia, langkahnya tertambat pada songket Minang­kabau. Songket lama Minang­kabau, yang telah berumur ratusan tahun, sudah menjadi barang langka dan hanya dapat ditemui di beberapa museum atau toko barang antik.
Kecintaan Bernhard pada songket lama Minangkabau membawanya pada usaha untuk mengenali lebih jauh keberadaan songket tersebut.
Songket lama Minangkabau bukan hanya sekadar pakaian yang melengkapi berbagai upacara tradisi masa lalu. Lebih penting dari itu, songket Minangkabau adalah penan­da budaya sebuah etnis, motif-motifnya mengandung makna filoso­fis yang menggambarkan pandangan hidup etnis yang dikenal keunikannya karena memakai garis keturunan matrilinial di tengah mayoritas dunia berbudaya patrilinial,” kata Bernhard Bart kepada Haluan.
Bernhard dengan tidak kenal lelah, memulai upaya revitalisasi songket Minangkabau. Dengan biaya pribadi dan waktu yang cukup lama, ia bertekun: mulai dari membuat foto, meneliti, mencatat dan mendo­kumentasikan motif sampai kemu­dian membuat replika dan berhasil mewujudkan songket lama Minang­kabau yang terputus pembuatannya selama lebih kurang dua ratus tahun.
“Upaya Bernhard pantas dicatat dan mendapat tempat. Sebuah produk budaya ternyata memang dapat menembus batas-batas ad­minis­trasi negara dan kebangsaan. Songket lama Minangkabau adalah salah satu produk warisan kebu­dayaan dunia,” kata Ibrahim Ilyas.
Sebagai sebuah karya budaya songket Minangkabau dapat dika­takan sebagai refleksi dari kehidupan kebudayaan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Perjalanan kebudayaan yang ditandai dengan terjadinya perubahan- perubahan juga terlihat pada perkembangan songket dari waktu ke waktu.
“Ketika  mengamati sehelai songket lama Minangkabau yang ditenun ratusan tahun yang lalu kita akan dihadapkan pada keartistikan tersendiri, baik dari teknik pembua­tan, kekayaan motif maupun fungsi dan kegunaannya,” kata Alda Wi­mar, dari Komunitas Pucuk Rebung.
Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kebanyakan songket yang ditenun pada saat sekarang. Orientasi kepada kebutu­han pasar dan ekonomi menyebabkan terjadinya penyederhanaan baik dari sisi teknik, motif dan fungsi songket, yang pada akhirnya menyebabkan pendangkalan nilai yang terkandung didalamnya. “Untuk itu perlu adanya suatu upaya evolusi kultural untuk melestarikan dan menghidupkan kembali songket lama yang bernilai tinggi.”
Langkah lain yang dilakukan, tambah Nanda Wirawan, Pimpinan Studio Songket Studio ErikaRianti mencoba untuk membuat motif-motif baru yang lebih kotemporer dengan tetap bersumber dari motif tradisi.
“Motif-motif ini dibuat berda­sarkan keinginan yang kuat untuk mempertemukan antara kurun waktu terdahulu dengan kekinian dengan memperhatikan aspek-aspek yang menghubungkan keduanya dalam perkembangan peradaban. Motif-motif kontemporer ini secara teknis pembuatannya pun tetap memakai teknik pembuatan songket lama,” kata Nanda Wirawan, alumni Fakul­tas Teknik Unand ini.
Menurut Nanda upaya berke­lanjutan dalam merevitalisasi songket lama Minangkabau mem­butuhkan pameran berkala yang terus menerus. Pameran sebagai media untuk meng­komunikasikan dan membawa karya ke ruang publik yang lebih luas merupakan bagian penting dan harus dilakukan untuk melanjutkan pro­gram-program Studio Songket Erika Rianti. Penyelenggaraan pame­ran dari waktu ke waktu dengan materi yang mencerminkan gerak dan perkem­bangan upaya revitalisasi ini sekaligus akan memberikan umpan balik yang sangat berarti bagi kelanjutan Studio Songket Erika Rianti.
“Aktivitas membuat replika sebagai sebuah peristiwa kebudayaan di satu sisi, dan upaya konservasi yang memuat pengertian yang luas di sisi yang lain, tetap mengingatkan bahwa pekerjaan ini masih terlalu sedikit dan kecil dibanding sasaran yang ingin dicapai. Replika hanya bagian kecil dari upaya konservasi, namun konservasi telah dimulai,” ujar Nanda. (h/sal/naz)
haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar