Featured Video

Minggu, 15 Januari 2012

KUDA NYARIS HILANG DARI RANAH MINANG


Pada era tahun 70-an sampai dengan 80-an, Sumatera Barat terkenal sebagai sentra peternakan kuda, dan terbesar di Asia Tenggara. Kini, masa jaya itu tinggal kenangan. Digerus zaman.

Dulu terutama di Sumatera Barat hampir seluruh penduduk di negeri ini mengandalkan tenaga kuda sebagai alat transportasi pengangkut barang. Setelah fungsinya sebagai alat transportasi dulunya digantikan mesin-mesin canggih, kini keberadaan kuda sebagai ternak, juga tak jelas.
Di Provinsi Sumatera Barat, populasi kuda dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan. Dua puluh tahun yang lalu, Ranah Minang menjadi sentral peternakan kuda terbesar di Asia Tenggara yang pusatnya di Padang Mangateh Kabupaten Limapuluh Kota. Dan, melalui Bantuan Presiden (Banpres), Sumbar mendapatkan bantuan pada 1968, 1974, 1976, 1977, 1981, 1983, dan 1989. Namun, dekade 90-an hingga 2000, perhatian terhadap kuda, terutama dari pemerintah, nyaris tidak ada. Dekade 60-an, populasi kuda 1 juta ekor. Pada 1998, hanya tinggal 6.268 ekor. Jumlah itu menurun lagi pada 2005, tinggal hanya  4.783 ekor.
Kuda yang berkembang di Sumbar terdiri atas empat jenis, yaitu kuda padang manga­teh, kuda batak, kuda agam, dan kuda gayo. Dari empat jenis tersebut, yang terbanyak dan relatif lebih baik adalah kuda batak.
PETERNAKAN KUDA DI SUMBAR NYARIS PUNAH DITELAN ZAMAN
Pada era tahun 70-an sampai dengan 80-an, Sumatera Barat terkenal sebagai sentra peternakan kuda, dan terbesar di Asia Tenggara. Kini, masa jaya itu tinggal kenangan. Digerus zaman.
Dulu terutama di Suma­tera Barat hampir seluruh penduduk di negeri ini mengan­dalkan tenaga kuda sebagai alat transportasi pengangkut barang. Setelah fungsinya sebagai alat transportasi dulunya digantikan mesin-mesin canggih, kini ke­be­radaan kuda sebagai ternak, juga tak jelas.
Di Provinsi Sumatera Ba­rat, populasi kuda dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan. Dua puluh tahun yang lalu, Ranah Minang menjadi sentral pe­ternakan kuda terbesar di Asia Tenggara yang pusatnya di Padang Mangateh Kabu­paten Lima­puluh Kota. Dan, melalui Bantuan Presiden (Banpres), Sumbar men­dapat­kan bantuan pada 1968, 1974, 1976, 1977, 1981, 1983, dan 1989.
Namun, dekade 90-an hingga 2000, perhatian ter­hadap kuda, terutama dari pemerintah, nyaris tidak ada. Dekade 60-an, populasi kuda 1 juta ekor. Pada 1998, hanya tinggal 6.268 ekor. Jumlah itu menurun lagi pada 2005, tinggal hanya  4.783 ekor.
Kuda yang berkembang di Sumbar terdiri atas empat jenis, yaitu kuda padang manga­teh, kuda batak, kuda agam, dan kuda gayo. Dari empat jenis tersebut, yang terbanyak dan relatif lebih baik adalah kuda batak.
Dulunya, ketika sepeda motor atau mobil masih menjadi barang mewah dan hanya dimiliki oleh orang kaya dan terpandang di te­ngan masya­rakat. Masyarakat me­man­faat­kan­nya se­ba­gai ­kudo baban yang mem­bawa barang-barang. Sampai hari ini masih ada di beberapa daerah warga yang memakai kudo baban.
“Kuda bukan lagi masuk kategori peternakan rakyat. Kuda kini sudah menjadi barang mewah. Mereka yang memiliki kuda merupakan orang mampu atau kelompok masyarakat kelas atas,” kata Kepala Dinas Peternakan Sumbar Ir Edwardi di­dam­pingi pelaksana tugas (plt) Kepala Bidang Produksi Dinas Peternakan Sumbar, Ir Aryati kepada Haluan pekan lalu.
Pemerintah Provinsi Sum­bar sendiri juga tidak lagi menjadikan kuda sebagai salah satu program pengem­bangan peternakan rakyat. Sesuai dengan Rencana Pem­bangunan Jangka Menengah (RPJM) Sumbar 2010-2014, jenis hewan yang di­prioritas­kan untuk dikembangkan adalah sapi, kambing dan hewan ternak lokal lainnya.
Dulu, Pemprov Sumbar memang mengelola seluruh kuda yang ada di Sumbar. Bahkan beberapa kali pernah mendapatkan kuda bantuan presiden (banpres). Tetapi Pemprov Sumbar tidak sa­nggup membiayai perawatan dan pemeliharaan kuda bansos ini. Sebab merawat dan memelihara kuda mem­butuh­kan biaya besar. Sampai akhirnya kuda-kuda diserah­kan pada Pordasi Sumbar.
Begitu pula pembinaannya. Sejak tahun 2000, Dinas Peternakan Sumbar tidak lagi memberikan pendampingan atau bimbingan kepada pe­milik kuda. Karena para pemiliknya dari kalangan masyarakat mampu, mereka sudah sangat paham tentang pemeliharaan dan kuda se­hingga mereka menyewa orang untuk memelihara dan me­rawat kuda-kuda miliknya.
“Kita tidak lagi mengelola kuda bansos karena sudah diserahkan pada Pordasi. Begitu pula dalam pe­ndam­pingan atau pun penyuluhan. Karena pemilik kuda adalah orang mampu, mereka sudah mengerti cara merawat kuda. Umumnya me­reka membayar orang untuk merawat dan memelihara ku­danya,” kata Aryati.
Meski demikian pada 2007, pengadaan kuda dari dana APBN masih diterima Sumbar untuk kelompok masyarakat di Kota Paya­kumbuh. Kuda yang diberikan adalah betina, sehingga untuk pengembangbiakannya perlu dibeli kuda jantan dari jenis kuda pacu.
Sementara itu, pengadaan kuda jantan kualitas kuda pacu biasanya didatangkan dari Australia. Namun Dirjen Peter­nakan Kementerian Per­tanian RI melarang impor kuda jantan Autralia karena adanya penyakit berbahaya yang diderita kuda di Negeri Kanguru itu.
Meski demikian, Pemprov Sumbar tetap berkoordinasi dengan Pordasi dalam ber­bagai hal tentang nasib kuda-kuda tersebut. Misalnya saja, Por­dasi minta bantuan penga­daan kuda pacu. Permintaan tersebut telah diakomodir dan diajukan ke Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) Sumbar sebagai usulan agar dimasukkan dalam APBD 2012. Namun karena kuda tidak lagi menjadi pe­ternakan rakyat, maka usulan tersebut tidak dipenuhi. n

BIAYA KAWIN KUDA MAHAL
Dari waktu ke waktu, populasi kuda di Sumbar terus menurun (lihat tabel). Penyebabnya tidak hanya soal peralihan fungsi kuda yang tidak lagi sebagai alat transportasi, tetapi juga disebabkan karena proses perkawinan kuda yang cukup mahal biayanya.
“Untuk mengawinkan kuda menghabiskan biaya Rp5 juta sekali kawin. Pemilik kuda umumnya meminta bantuan pada Pordasi atau peternakan kuda yang memiliki bibit kuda terbaik jenis kuda pacu. Proses­nya pun memakan waktu lama. Kuda tidak bisa langsung dikawinkan tetapi melalui proses pengenalan dulu,” terang Aryati.
Sebagian lain, sejak marak­nya transportasi kendaraan bermotor, maka kuda di­rasakan tidak efektif lagi. Sementara memiliki kuda berarti harus merawat dan ­. Karena jasanya tidak dipakai lagi dan tidak pula sanggup untuk me­rawat­nya, maka sebagian kuda-kuda milik masyarakat tersebut dijual ke luar Sumbar. Sehingga yang tersisa saat ini adalah kuda-kuda yang dimiliki para kelompok masya­rakat kelas atas dan Pordasi.
Batu Bajanjang Masih Pakai Kuda
Kemajuan zaman yang se­makin canggih ini ternyata belum menyentuh masyarakat Batu Bajanjang, Kabupaten Solok. Sampai hari ini, pen­duduk setempat masih meng­gunakan kuda beban sebagai alat trans­portasi mengangkut barang.
Menurut Aryati, kendaraan modern satu persatu sudah masuk ke daerah ini. Tetapi untuk mencapai lokasi pe­mukiman yang berada di balik perbukitan dengan tanjakan yang terjal, masyarakat se­tempat masih menggunakan kuda beban sebagai pengangkut barang. Jumlah kuda beban yang digunakan masyarakat daerah ini memang banyak jumlahnya.
“Saat kami meninjau kam­pung Batu Bajanjang, kita menyaksikan masih ada masya­rakat yang menggunakan kuda beban di sini untuk mencapai lokasi yang sulit, yang tidak sanggup ditembus sepeda motor,” katanya. n
Kuda “Hilang” Bersama Lenyapnya Pacuan Kuda
Selain sebagai alat trans­portasi, kuda juga di­perlom­bakan dalam alek pacu kuda di gelanggang-gelanggang yang terdapat di Sumatera Barat, juga tingkat nasional. Tahun 1990 atau 12 tahun silam, Pemda Sumatera Barat mem­berikan bantuan kuda pe­jantan agar di­dapat­kan kuda kuda berkualitas itu. Tak heran jika nama Pordasi Sumatera Barat “melangit”, ekonomi petani peternak kuda juga cukup cerah.  Sebab kuda Sumatera Barat membukukan banyak juara.
Dalam cerita novel “Teng­gelamnya Kapal Van Der­wjick” karya Buya Hamka, ditutur paparkan alek pacuan kuda sebagai sarana hiburan rakyat badarai dan bendi sebagai angkutan tradisi. Alek pacuan kuda sangat dinanti oleh masyarakat mulai dari pelosok kampung hingga ke kota. Mereka da­tang ke ge­langgang dengan bekal nasi bungkus untuk mereka makan di tengah gelanggang bersama anak-anak dan keluarga yang ikut menonton alek pacu kuda.
Pemerintah mendukung alek anak nagari pacu kuda itu.  Ada kalender pacu kuda di 7 gelanggang yang terdapat di Ranah Minang ini. Tak ketinggalan perusahaan se­perti PT Semen Padang dan pengusaha lainnya ikut pula berpartisipasi. Begitu benar besarnya perhatian untuk mengangkat alek anak nagari itu dahulu itu
Ini karena selain menjadi hiburan juga berdampak eko­nomi bagi masyarakat. Tak sedikit lapak-lapak pedagang kecil bermunculan. Mulai yang menggalas makanan dan minuman. Kusir-kusir bendi dan  mobil  ikut panen. Alek pacu kuda sangat di­tunggu tunggu oleh masya­rakat
Berganti pimpinan pim­pinan daerah, berganti pula kebijakan. Kuda sebagai sum­ber pendapatan petani pe­ter­nak tak lagi jadi pe­mi­kiran­nya. Tentunya Dinas Peter­nakan mengingatkan Guber­nur dan mengusul­kan­nya ke DPRD di daerah ma­sing-masing agar sektor be­ternak kuda terus terlaksana. Sedia­kan kuda pejantan. Maka petani akan mendapatkan bibit unggul dan harga jual kudanya nanti  akan lebih tinggi
Penurunan populasi kuda tidak hanya akibat ber­kurang­nya angkutan bendi yang tergilas dengan kemajuan sarana transportasi baik mobil atau kendaraan motor yang kian menjamur. Namun juga dipicu berkurangnya kuda-kuda berkualitas untuk berpacu. Bendi mulai hilang diperedaran. Kalaupun ada hanya dalam hitungan jari
Saat ini, pelaksanaan “alek pacu kuda “ di 7 ge­langgang pacu di Sumatera Barat,  sepertinya juga menga­lami kelesuan. Jumlah kuda peserta lomba semakin me­nurun. Sedikit sekali kuda mendaftar untuk ikut ber­lomba. Kondisi itu menye­babkan banyak gelanggang yang tidak lagi bersemangat menyelenggarakan alek pacu kuda mengisi kalender pacu yang sudah dijadwalkan.
Pordasi telah menjad­walkan pacu kuda di ge­lang­gang Bancah Laweh Padang Panjang, Batipuh X Koto, Kubu Gadang Payakumbuah, Kubu Ambacang Bukittinggi/Agam, Ampang Kualo Solok, Balah Aia Padang Pariaman, Bukik Gombak Batusangkar, dan lintasan pacu baru Kan­dih Sawah Lunto.
Namun akibat kurangnya semangat beberapa ge­lang­gang, kalender pacu kuda itu menjadi kacau balau. Dan ada gelanggang kini terbilang mati dan tidak ada kegiatan
Taufik Hidayat salah se­orang pengurus Pordasi Su­ma­­tera Barat ketika di­minta komentarnya sama se­kali tidak menapik masalah ini. Mengapa populasi ternak kuda di Suma­tera Barat mulai langka ter­masuk kuda kuda pacu.
“Seyogyanyalah pe­merin­tah dan DPRD propinsi ber­sama kabupaten dan kota di Sumatera Barat menyediakan anggaran tersendiri seperti halnya bantuan untuk penga­daan sapi atau kerbau yang disediakan pemerintah. Apa bedanya kuda dengan sapi atau kerbau, semuanya ber­tujuan meningkatkan eko­nomi masyarakat di pe­desaan,” kata Capaik di Meja Satu Gumarang Padang Panjang pekan lalu. n
PETERNAK KUDA BUKITTINGGI BERJALAN TANPA PERHATIAN PEMERINTAH
Tingkat populasi kuda di Kota Bukittinggi sejak dua terakhir cukup mem­pri­hatin­kan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Peternakan Kota Bukittinggi hingga 2009 tercatat sebanyak 545 ekor, meningkat lagi menjadi 602 ekor pada 2010. Namun hasil laporan lapangan hingga awal 2012 hanya tinggal sekitar 300 ekor saja.
“Di atas kertas pada 2009 ter­catat sebanyak 545 ekor dan dan 2010 sebanyak 602 ekor. Namun pada 2011 tidak lagi memiliki data, karena tidak dilakukan pendataan. Dan baru tahun 2012 ini akan melakukan pendataan,” kata Kasi Peternakan Ir Evi Martin Jumat (6/1).
Terjadinya penurunan drastis populasi kuda menurut Kasi Pemberitaan Pemko Bukittinggi Hirwandi Imam, terutama kuda bendi, salah satu penyebabnya  dikalahkan masuknya secara besar-besa­ran “kuda jepang” alias sepeda motor. Mayoritas dijadikan ojek oleh pemilik. Dampaknya, keberadaan kuda sebenarnya jadi tersingkirkan.
Lain lagi yang dike­muka­kan Saiful (40) tahun. Menu­rut mantan joki dan kini pela­tih joki, baik kuda pacuan maupun kuda jumping, hingga 2010 memang benar jumlah kuda mencapai 500-600 ekor.
Perkembangan sedikit itu terjadi karena semasa Kota Bukittinggi dipimpin Drs Jufri, komitmen untuk mengem­bang­kan peternakan kuda tidak ha­nya sekadar slogan, tapi betul-betul terlaksana secara nya­ta dan manfaatnya benar dirasakan masyarakat pecinta kuda.
“Demikian juga di bawah kepemimpinan bapak Ismet Amzis sama dengan dengan dulu. Namun bedanya seka­rang komitmen yang sama itu ha­nya indah di atas kertas namun sakit di lapangan. Akibatnya populasi kuda di Kota Bukittinggi saat ini hanya sekitar 300 ekor saja lagi,” tutur Saiful didampingi sejumlah kusir bendi dan peternak kuda lainnya di lokasi kandang kuda Bukit Ambacang Jumat (6/1).
Sekitar 300 ekor kuda yang ada itu katanya, sudah terma­suk kuda bendi, kuda pacu serta kuda sewaan untuk jumping pada iven-iven terten­tu yang dimiliki dua kumi­nitas, yakni Komunitas Wisa­ta dan Ford de Kock, termasuk Komunitas wisata jelasnya yakni kuda kampung yang dimiliki rakyat biasa atau kelompok orang miskin seperti kusir bendi yang kudanya masuk generasi satu (G1).
Sedangkan Komunitas Ford de Kock yakni kuda yang masuk kelompok generasi kedua (G2), mayoritas pemilik­nya orang-orang kaya. Kuda kelompok G2 ini merupakan kuda impor dari Australia serta hasil perkawinan kuda G1 dengan G2. Kuda jenis ini sering dimanfaatkan untuk kuda pacuan dan disewa untuk jumping pada iven-ivent tertentu atau disewa perusa­haan film action dengan harga  mahal  untuk keperluan shooting.
“Jika harga kuda G1 Rp15 juta-20 juta per ekor, kuda G2 jauh lebih mahal berkisar Rp50 juta sampai Rp100 juta perekor,” jelasnya.
Peternak kuda di Bukit­tinggi memiliki keinginan untuk mengembangkan kuda, karena ada dua tempat untuk mengawinkan kuda. Satu milik pemerintah kota di bawah Dinas Pertanian dan Petenakan, satu milik swasta yang dikelola  Fauzan Fauzan Havis (pengusaha sekaligus anggota DPRD Bukittinggi).
“Namun ketika komunitas G1 berusaha mengawinkan kuda G1-G1 atau G1-G2 mela­lui dinas peternakan, tidak men­dapat pelayanan sebagai­ma­na dulu atau semasa walikota Jufri.
Di sinilah letak sakitnya di masa kepemim­pi­nan Ismet Amzis sekarang, ka­rena  selalu dipersulit oleh pe­tugas di lapangan  lantaran ka­mi tidak mampu bayar ma­hal Rp50 ribu bagi kami untuk membayar uang saku itu sudah besar, tapi bagi petu­gas tidak, sehingga kami tidak dilayani,” jelas Saiful tegas.
Tapi kalau kelompok G2 yang terdiri dari orang-orang kaya mereka layani sebaik mungkin karena mampu mem­­bayar mahal. Dari praktek ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin terjepit, karena satu-persatu kuda terpaksa dijual.
Untuk mempertahankan kuda yang masih tersisa lanjutnya, kelompok G1 beru­paya minta bantuan dari Fauzan Havis yang membuka praktik perkawinan kuda G1-G1 atau G1-G2 atau G2-G2 dengan harga Rp3,5 juta sampai Rp5 juta. Khusus untuk kaum miskin kendati tidak dipungut biaya,  namun setelah lahir satu kaki anak kuda jadi miliknya. Artinya jika kuda dijual setelah de­wasa kelak seharga Rp20 juta, Rp5 juta jadi miliknya, suatu hal yang wajar dan sangat membantu.
“Adanya upaya yang dila­kukan Fauzan Hafiz, meru­pakan angin segar untuk populasi kuda ke depan. Hendaknya pemerintah Kota Bukittinggi dapat berbuat lebih dari itu, sehingga pe­miliki kuda yang terdiri dari kaum miskin kembali ber­semangat mengem­bang­biak­kan kuda-kuda mereka yang sudah nyaris punah,” tambah Saiful. n
BERBENDI-BENDI KE SUNGAI TANANG, TINGGAL KENANGAN
Masa keemasan kuda telah berlalu, tapi di Agam masih ditemukan kuda beban sebagai sarana pangangkut barang. Dan juga ada bendi kendati terus tergeser dari hari ke hari.
Masih ingat lagu Babendi-bendi ke Sungai Tanang. Lagu ini terkenal dan poluler karena dinyanyikan sebagai pengiring tari piring. Lagu ini mengi­sahkan sepasang penganten baru yang berbulan madu dengan menggunakan alat transportasi bendi. Mereka menuju ke Sungai Tanang, Agam. Kini, babendi itu jadi barang mahal dan mewah karena sudah demikian lang­ka­nya.
Kuda merupakan hewan piaraan manusia. Ia disebut-sebut sebagai binatang paling setia kepada tuannya. Binat­ang satu itu sudah lama menjadi “teman” manusia, baik sebagai “alat tran­spor­tasi,” kuda pacu, pembantu menarik bendi, dan lainnya.
Sebagai alat transportasi, kuda awalnya dimanfaatkan pengangkut beban. Kekua­tan­nya yang luar biasa, mampu menapaki medan berat sekali­pun, dengan beban berat di pung­gungnya. Kemudian, kuda digu­nakan untuk penarik bendi. Seiring dengan kema­juan zaman, keberadaan kuda sebagai alat transportasi kian tergeser. Pembangunan jalan sampai ke pelosok Agam menyebabkan kendaraan ber­mo­tor semakin mampu mela­yani kebutuhan warga sampai ke pelosok desa, membuat jasa kuda semakin tidak dibutuhkan di sektor tran­sportasi.
Akhirnya, kuda beban dan kuda penarik bendi semakin langka di Agam. Peranannya sudah digantikan kendaraan roda dua (ojek), dan mobil cigak baruak. Namun masih ada kuda penarik bendi dite­mukan di Agam, seperti di Tiku, Kecamatan Tanjung Mutiara. Di Lubuk Basung sudah tidak terlihat bendi berlalu lalang. Di Agam bela­han timur masih ada warga memelihara kuda untuk pena­rik bendi. Namun mayoritas bendinya beroperasi dalam Kota Bukittinggi, seperti disampaikan Kepala Bidang Budidaya Peternakan pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (Dipertahornak) Agam, Drh M  Kamil, MP.
Kian menghilangnya bendi sebagai jasa angkutan, menye­babkan jumlah kuda juga kian berkurang di Agam. Kebera­daan bendi tak terlihat lagi di Lubuk Basung dan seki­tarnya tahun 2000-an. Penye­bab utamanya adalah sema­kin menjamurnya ojek. Ojek dinilai lebih efektif dan efisien, sehingga bendi ditinggalkan penumpangnya.
Menurut mantan kusir bendi, St. Syarif, ia mengganti bendinya dengan ojek tahun 1990-an. Warga Pulai, Lubuk Basung itu, mengaku terpaksa mengikuti perkembangan zaman, karena penumpang bendinya semakin hilang.
“Ojek lebih cepat, dan diantar sampai ke depan rumah pelanggan. Makanya lebih diminati warga,” ujarnya.
Kuda beban dulu banyak dimanfaatkan warga Kecama­tan Palembayan. Dulu jalan di kawasan itu belum begitu bagus, dan belum menjangkau pelosok desa. Medan yang sulit, dengan banyaknya tanja­kan dan turunan tajam, me­nye­babkan jasa kuda beban sangat dibutuhkan. Namun kini, jumlah kuda beban bisa dihitung dengan jari di kawa­san itu.
Kini di daerah berlam­bangkan Harimau Campo itu tercatat populasi kuda seba­nyak 188 ekor. Di antaranya 68 jantan, dan 120 betina. Kebanyakan adalah kuda pacu. Jumlah terbesar dite­mukan di Kecamatan Tilatang Kamang, yaitu 106 ekor. Di Kecamatan (77), Palembayan (4), dan di Kecamatan Tanjung Mutiara (1).
Sebagai kuda pacu, kuda milik Rang Agam cukup dise­gani di lintasan pacuan kuda yang ada di Sumbar. Bahkan dulu, kuda pacu dari Agam selalu merajai arena. Lapa­ngan pacuan kuda pun bukan hanya di Bukik Ambacang, tetapi di Kecamatan Matur pun ada arena pacuan kuda. Letaknya di Ambun Pagi, Nagari Matua Mudiak. Kare­na adanya arena (gelanggang) pacuan kuda di sana, kawasan itu sampai kini masih disebut Padang Galanggang. Lokasi tersebut kini (sebagian) sudah dimanfaatkan untuk keper­luan pembangunan, seperti kantor wali angari, kantor Polsek Matur, dan asrama polisi, sisanya masih diman­faatkan untuk sarana olah­raga, yaitu lapangan sepak­bola.
Masih Butuh Kuda Beban
Kuda tidak ada dibudi­dayakan di Kabupaten Agam, seperti disampaikan M. Ka­mil, didampingi Kasi Pem­bibitan dan Perawatan Ter­nak, Dahlius. Mungkin itulah yang jadi penyebab populasi kuda tidak berkembang di daerah itu. Jumlah popu­lasinya cenderung menurun se­tiap tahun. Tahun 2009, jum­lah kuda di Agam sekitar 205.
Kurangnya minat warga memelihara kuda, karena secara ekonomis kurang me­ngun­tungkan. Hewan ternak jenis sapi, kambing, dan kerbau dinilai lebih me­nguntungkan. Kuda yang ada di Agam pada umumnya dida­tangkan dari luar daerah, seperti dari Padang Mangateh 50 Kota, dan Malampah, Pasaman.
“Yang dibutuhkan dari kuda hanya tenaganya. Semen­tara dagingnya kurang dimi­nati warga, makanya minat warga beternak kuda nyaris tidak ada,” ujar Kamil pula.
Kuda penghela bendi itu umumnya dimiliki rakyat “badarai”   , tetapi kuda untuk berpacu milik pejabat atau orang-orang kaya, kudanyapun didapat dari daerah luar bukan hasil peternak  kuda lokal.
Sampai tahun 1980 sejum­lah pasar di Agam Barat seperti Pasar Lawang, Pakan Sabtu Palembayan, Pakan Akaik Salareh Aia, Pasa Bawan , Pasa Lubuk Basung, Pasa Tiku, Pasa Batu Kam­biang dan Balai  Akaik Ma­nin­jau masih ramai dikunjungi kuda beban dengan barang bawaannya berupa beras, kulit manis,kopi, dan sebagainya. Dari pasar ke kampung mem­bawa berba­gai jenis barang keperluan sehari-hari.
“Dulu kami biasa me­ngangkut barang dengan kuda ke pasar Lawang atau ke Lubuk Basung yang jaraknya sampai 40 km. Kami pergi secara berombongan, berang­kat malam-malam menjelang subuh agar sampai di pasar  pagi hari,” kenang Amir, mantan pemilik kuda beban di Jorong Tantaman Nagari III Koto Silungkang, Keca­matan Palembayan pekan lalu.
Di Jorong Lambeh Nagari Ampek Koto Palembayan Sabtu (1/1) Haluan masih menemukan dua ekor kuda beban milik seorang pemuda bernama Buyuang yang meng­angkut pasir untuk proyek pencoran jalan kampung Pintu Angin menggunakan dana PNPM. Pasir terpaksa diang­kut kuda karena mobil tidak bisa lewat.
“Lumayan jugalah, kalau ada proyek di tempat terpencil seperti ini cukup dapat untung , satu hari bisa menarik sewa seratus ribu” kata Buyuang.
Kalau tidak ada proyek Buyuang menggunakan ku­danya untuk meng­ang­kut padi dari rumah rakyat ter­pencil ke tempat penggilingan padi atau untuk keperluan keluarga.
Kata Buyuang selagi ken­da­raan roda empat belum lancar ke kampungya dia akan terus memelihara kuda beban, karena kuda beban cukup membantu. n

Laporan DEVI DIANI, IWAN DN DT SIMARAJORIDWAN, MIAZUDDIN DAN KASRA SCORPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar