Featured Video

Kamis, 22 Maret 2012

PERDA ANAK JALANAN BERPOTENSI LANGGAR HAM


Padang,  Anak jalanan, gelandangan, pengemis, pengamen dan pedagangan asongan pada dasarnya meru­pakan kelompok masyarakat miskin sehingga harus dilihat dari persfektif korban. Kemis­kinan yang mereka hadapi selama ini tidak terlepas dari kegagalan negara dalam peme­nuhan hak-hak dasar warga negara selama ini, terutama hak atas ekonomi untuk men­dapatkan kehidupan layak dan kesejahteraan.

Demikian dikatakan Era Purnama Sari, Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan Lembaga Ban­tuan Hukum Padang saat bincang-bincang dengan Haluan, Rabu (21/3) di kantornya.
“Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal mana juga diper­tegas oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya menyatakan negara berkewajiban untuk membe­rikan perlindungan dan peme­nuhan terhadap hak-hak dasar warga negara terutama masya­rakat miskin, baik sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya,” tegas Era Pur­nama Sari.
Ia merujuk Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan lahirnya Perda Kota Padang No 1 tahun 2012 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pen­ge­mis, Pengamen dan Pedagang Asongan yang masih dapatr dikatakan sebagai tindak lanjut dari tanggung jawab negara.
“Namun dengan adanya ancaman sanksi pidana terha­dap Anak Jalanan, Gelan­dangan-Pengemis, dan Penga­men serta masyarakat yang memberikan uang kepada mereka memperlihatkan perda ini bersifat represif sehingga dikhawatirkan akan menambah dafar pelanggaran HAM di Kota Padang,” terangnya.
Dari hasil monitoring LBH Padang selama ini, penertiban terhadap anak jalanan, gelan­dangan, pengemis, pengamen, pedagang asongan seringkali menimbulkan terjadi tindakan kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada mere­ka. “Seharusnya penanganan terhadap anak harus mem­berikan pendekatan terbaik terhadap anak itu sendiri dengan tindakan-tindakan preventif.”
LBH Padang menilai, perda penuh dengan nuansa represif karena adanya penerapan sanksi pidana terhadap anak jalanan, gelandangan-pengemis, dan pengamen. Hal ini mengam­barkan  keputusasaan Pemko Padang dalam mengatasi per­soa­lan social kota ini.
Selain itu, papar Era Pur­nama Sari,  berdasarkan hasil pengamatan LBH Padang, syarat-syarat melahirkan se­buah perda tak tarpenuhi.
Seharusnya baik pemerintah maupun DPRD semestinya sudah memperhitungkan efek­tifitas keberlakuan perda ini di dalam masyarakat baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan teutama asas “dapat dilaksanakan”. Jika memang benar ada aturan seperti hal dimaksud, maka perda ini dipastikan akan bermasalah dalam hal pe­ngimplementasianya.
“Siapa yang akan melakukan pengawasan agar masyarakat tidak memberikan uang kepada anak jalanan, gelandangan-pengemis, dan pengamen. Pa­dahal untuk melahirkan sebuah perda menelan biaya tidak kurang dari 300 juta rupiah. Di samping itu perda ini juga terlalu gegabah menggunakan pidana sebagai sanksi,” tutur  Era Purnama Sari.
Meskipun tidak ada lara­ngan Perda memuat sanksi pidana tetapi tetap saja pidana semestinya adalah upaya ter­akhir jika tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Di sinilah terlihat keputusasaan Pemko Padang dalam me­nanggulangi persoalan sosial di Kota Padang.
“Perda ini berpotensi me­langgar HAM khususnya hak asasi anak jalanan. Selain itu Perda ini juga cacat secara formal dan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan penundang-undangan terutama asas dapat dilaksanakan, dan menolak penerapan pidana pada anak jalanan, gelan­dangan-Pengemis, dan penga­men,” jelas Era Purnama Sari. (h/naz)http://www.harianhaluan.com

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus