Featured Video

Senin, 23 April 2012

MENCARI “ORANG BESAR” UNAND, ADAKAH?


Terpilihnya Husni Kamil Manik sebagai Ketua KPU Pusat alumni dan kini maha­siswa pascasarjana Unand dan sebelumnya Mus­liar Kasim mantan rektor Una­nd sebagai wakil mentri pendidikan dan kebudayaan membuat sebagian besar dosen Unand riang gembira. Telah terbit fajar kebangkitan Unand! Telah lahir “Orang-Orang Besar” Unand yang mengharumkan! Demikian kira-kira sorak-sorai ke­menangan itu.

Antusiasme ini tentu menarik perhatian orang lain, sekaligus berbagai pertanyaan. Apakah sebatas ketua KPU Pusat dan wakil mentri sa­jakah kapasitas “orang-orang besar” Unand? Bagaimana dengan para guru besar dan doktor-doktor lulusan luar negeri yang bergelut di level internasional, namun sepi dari “gosip” nasional atau daerah? Tidakkah mereka juga orang-orang besar Unand? Atau memang adakah “orang besar” Unand itu?
Dalam diskusi kami di Jogya bersama dengan be­berapa sejawat Unand yang juga kebetulan sedang di sini karena beberapa keperluan. Terselip pertanyaan yang kadang terlupakan, karena alasan latah atau terlalu memandang diri tinggikah Unand merespon berbagai keluhan, masukan, dan akan kemajuannya?
Jika Wannofri Samry da­lam berbagai kesempatan membandingkan kondisi Una­nd dengan Malaysia yang berkelimpahan buku-buku dan jurnal bermutu di per­pus­takaan mereka. Maka kita pantaslah iri. Konon lagi, jika Prof. Gusti Asnan, Prof. Dam­sar, Prof. Edison Munaf, dan para guru besar dan doktor Unand lain yang lulusan Eropa atau Amerika sana. Wah, tentu makin menetes juga air mari kita dibuatnya. Selain perpustakaan mereka yang luar biasa, juga didukung iklim akademik yang memukau [dana riset besar, sebagai hub international network, dan seterusnya]. Sehingga apa mungkin kita mengejar uni­versitas-universitas tersebut oleh kita Unand ini?
Jika menurutkan hati ke­­­­qa­naahaan nrimo maka cukuplah kita melihat ke bawah, yang lebih rendah dari kita dan kita pun merasa yang ter-ter itu [gedung ter­megah di Asia Tenggara, tertua di luar Jawa, dan seterusnya]. Namun ada juga banyak yang terbangkit nasionalisme ke­unandannya, “Jika orang lain bisa, kenapa kita tidak?!” Maka sebagai jawaban di­sodorkanlah berbagai batu loncatan yang bersifat materil; beli ini, beli itu, tambah koleksi ini itu, dan seterusnya. Alhasil dari semua itu, seba­gaimana dihembuskan isunya akhir-akhir ini di Unand, yakni mencetak “Orang Besar” dari Unand ini. Apakah ini bukan bagian dari kelatahan? Atau memandang diri terlalu tinggi?
Bagian dari Proses dan Klaim Sejarah
Menurut pandangan saya yang awam, “orang besar” itu bagian dari proses dan klaim sejarah yang dibangunnya. Mereka tidak tercipta begitu saja, sekaliber apapun jua mereka secara intelektual. Atau dari lulusan manapun mereka dulu digodok. Tokh, di sebuah pesantren seder­hana di Bandung, seorang Natsir bisa lahir, atau cuma lulusan surau ayahnya HAM­KA tidak diragui orang ka­pasitas keulamaan dan kesas­trawanannya. Atau seperti Sjahrir yang cuma lulusan SMA, dapat juga menjadi perdana mentri pertama republik ini dan memiliki pengikut yang luar biasa seperti Prof. Sumitro Djojo­hadikusumo atau Sudjatmoko, dan seterusnya. Jika demikian, menurut catatan sejarah “ora­ng besar” tersebut, maka terpatahlah “teori materil” yang ingin diusung itu.
Lantas karena pribadi mereka yang memang luar biasa itukah mereka dikenang sebagai “orang besar”? Kalau demikian, maka tidak akan banyaklah kita berharap Unand akan melahirkan orang besar-orang besar itu. Belum tentu orang seperti Natsir, HAMKA, atau Sjahrir lahir dalam 100 tahun ini. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya pertanyaan krusial yang terselip dalam diskusi bersama kolega itu, “sehangat apa iklim akademik dan intelektual” tercipta dari atmosfir Unand kita kini? Salah seorang guru besar Unand tentu dapat mengukur suhu akademik dan intelek­tual di Unand ini. Apakah hangat, hangat-hangat tai ayam, atau dingin-dingin hidung kucing.
Saya menjadi terbuka pikiran ketika satu waktu sa­lah seorang pejabat/aka­demi­kus UGM di Jogyakarta me­ngung­kapkan; bahwa UGM tidak memandang UI, Unpad, ITB, IPB, bahkan Unand sebagai saingan! Dalam benak saya terpancing pikiran apa­kah UGM merasa diri sebagai yang terbaik di Indonesia? Tapi rasanya tidak mungkin klaim kesombongan itu diung­kapkan sebagai penyemangat diri sebagaimana Unand ini selalu bersemboyan besar-besar—seperti dulu orang-orang PKI. Itu bukan khas UGM. Saya pun bertanya dengan penuh selidik apa maksud ungkapan beliau.
Dengan ramah beliau men­jelaskan. UGM tidak melihat universitas-universitas itu sebagai saingan, karena untuk apa kita bersaing di rumah sendiri? UGM memandang justru hubungan kemitraan yang mestinya dibuat untuk merangkul. UGM memandang, yang menjadi saingan itu adalah NUS (Singapura), ANU (Australia), Leiden (Belanda), Cornell (AS), Harvard (AS), Oxford (UK), dan sebagainya. Persaingan UGM dengan universitas luar ini tentu tak akan bisa dilakukan tanpa adanya hubungan kemitraan, demikian dijelaskan pejabat/akademikus UGM itu.
Jawaban itu sesungguhnya tamparan bagi Unand. Banyak orang di Unand ribut-ribut ketika UGM atau IPB masuk ke “ranah kita” tanpa permisi. Kita merasa dilangkahi ke­palanya, merasa diri mampu melakukannya, tapi keduluan. Sayangnya persoalan ini jus­tru meruncing pada tepuk dada, bukan tepuk jidat untuk merefleksi diri. Buruk muka cermin dibelah.
Bagi saya persoalan isu “orang besar” ini dapat di­jawab dengan dua hal. Per­tama, jika membaca “teori penciptaan orang besar”, patut dipahami bagaimana ia se­bagai proses berjalan dan dimana Unand dapat me­mainkan perannya.  Teori ini seperti posisi arah empat mata angin; Timur-Barat-Utara-Selatan. “Orang besar” dalam empat arah mata angin berada di tengah-tengah (axis). Ia dihimpit oleh empat proses dan dinamika ke­di­riannya berinteraksi dengan empat arah mata angin; jika satu saja mereka terputus, bisa dipastikan akan ada ke­ca­catan.
Maka di sebelah Timur berdirilah sahabat-sahabatnya yang memberi dukungan se­cara kritis. Di sebelah Barat berjejer para orang-orang yang anti akan dirinya, sehingga selain koreksi dari dalam (Timur), ia juga dipanaskan jua oleh lawan-lawannya secara intelektual/ emosional. Siapa lagi yang terang korek­siannya selain lawan-lawan ide kita? Di sebelah Utara (atas), ia memiliki guru-guru yang menginspirasi dan mem­buka horizon-horizon wawasan yang tanpa tendensi karena terlalu terpukau oleh fungsinya sebagai pendidik (guru, dosen, mentor, dan seterusnya). Ka­dangkala, banyak bibit-bibit orang besar akhirnya prematur karena guru atau dosennya yang terlalu binal merecoki pikiran muridnya dengan paradigma pendidikan yang sesat dan menyesatkan se­bagaimana peraturan rektor yang entah bagaimana nasib­nya itu. Terakhir, di sebelah Selatan (bawah), mereka secara sadar atau tidak mem­bangun murid-murid yang tercerahkan oleh pemikiran dan perilakkunya. Dan karena murid-murid mereka inilah klaim sejarah sebagai “orang besar” itu didapatnya.
Revisi Paradigma
Dalam konteks historis, kebesaran HAMKA atau Nat­sir atau Sjahrir dapat dijelas­kan oleh skema “empat arah mata angin” ini. HAMKA sebagai contoh, di sebelah Timur ia memiliki sahabat-sahabat yang selalu men­dukungnya seperti Natsir, Isa Anshari, H.B. Jassin, dan seterusnya. Di sebelah Timur banyak pengkritiknya seperti Lekra yang menuduhnya pla­giat. Sementara di Utara ia memiliki ayahnya HAKA, Zainuddin Labay, Agus Salim, dan sebagainya. Dan di arah Selatan ia memiliki banyak murid-murid seperti Azyu­mardi Azra, Cak Nur, Fachri Ali, dan murid imajiner seperti Zai­yardam, Zulqayyim, Yudhi Andoni, Donny Sofyan, dan seterusnya. Bukankah murid-murid­nya ini yang kemudian mem­bawa nama HAMKA ke­ma­na-mana? Menulis de­ngan tinta emas akan ke­besarannya?
Kedua, Unand mesti men­ciptakan dua iklim yang penuh kehangatan dalam atmos­firnya sebagai institusi pen­didikan tinggi—bukan insti­tusi pencetak tenaga kerja! Dua iklim itu sebagaimana saya sebutkan di atas; iklim akademik dan iklim intelek­tual. Selama ini pembuat kebijakan di Unand terlalu terpana-pana dengan ke­inginan membuat pustaka lengkap, jaringan internet cepat, jurnal terakreditasi, membuat Badan Penjaminan Mutu (Bapem), membeli mil­yaran sistem akademik yang mendatangkan kritik, dan seterusnya. Memang itu di­butuhkan dalam me­numbuh­kan iklim akademik yang baik. Akan tetapi celakanya dalam me­numbuhkan iklim ini, Una­nd sering terseok-seok karena berbagai kendala klasik; dana dan sumber daya manusia.
Tetapi sesungguhnya, yang tak kalah penting adalah menumbuhkan iklim intelek­tual. Semeriah apa iklim intelektual di Unand? Se­berapa mudah mahasiswa mengakses transformasi pe­nge­tahuan lewat seminar, diskusi, akses buku-buku baru, datangnya ilmuan-il­muan asing, dan kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan? Jika dirata-rata, berapa persenkah se­minar nasional dan inter­nasional dilakukan di fakultas teknik, fmipa, pertanian, fib, fisip, ekonomi, dan seterusnya setiap bulan atau setiap tahunnya? Cubalah ban­ding­kan dengan UGM sendiri yang tiap minggunya berduyun-duyun orang menghadirinya. Seberapa banyak dosen-dosen Unand memiliki pusat-pusat studi yang berjalan sehat? Dan lebih penting dari itu, sebesar apa apresiasi pimpinan Unand terhadap berkembangnya iklim intelektual ini.
Menurut saya, melahirkan “orang besar” di Unand mesti perlu diukur sebesar apa ia, dan dibanding dengan siapa akan kebesaran itu? Husni Kamil Manik menjadi ketua KPU nasional jelas sebuah prestasi. Apakah karena iklim akademik dan intelektual Unand yang membawanya ke tampuk ketua KPU? Saldi Isra? Musliar Kasim? Apakah mereka “orang besar” yang dilahirkan Unand? Dalam konteks mereka saya lebih mempercayai itu sebagai prestasi semata, tidak dalam konteks “orang besar”. Terlalu jauh dan belum waktunya memberikan penilaian itu. Saya justru takut jika ter­nyata para mahasiswa Unand yang akan di-DO ribuan itu, jangan-jangan 20 atau 30 tahun lagi justru lebih hebat dan ternama dari nama-nama yang disebutkan di atas. Wallahu’alam.

YUDHI ANDONI
(Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM, Jogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar