Featured Video

Minggu, 29 Juli 2012

Anak-anak yang Sulit Tersenyum




Bibir-bibir imut itu masih sulit untuk tersenyum. Sedikit saja tersungging, lalu kembali murung. Entah, mungkin terlalu dalam trauma sebuah kisah buruk tentang hantaman banjir bandang pada Selasa (24/7) malam.

TRAUMA HEALING
“Saya takut kalau ingat kejadian malam itu,” ujar Guntur, bocah yang menjadi korban ganasnya bencana yang terjadi di rumahnya, Komplek Pratama Indah, Kelurahan Gurun Laweh, Kecamatan Nanggalo, Jumat (27/7).
Memasuki hari ketiga pascabanjir bandang di kawasan tersebut. Keceriaan dan canda tawa masih belum terlukis di wajah anak-anak korban bencana ini. Sebagian mereka memaksa untuk gembira dan ceria, tapi terlihat seperti kepura-puraan saja.
Bukan hanya Guntur, di sana masih ada puluhan anak-anak yang menjadi saksi betapa ganasnya arus air yang menenggelamkan rumah mereka, merusak mainan, menghancurkan buku-buku hingga pakaian untuk berhari raya pun tak lagi layak untuk di pakai.
“Ya, anak-anak sekarang jadi sering murung. Malahan, mereka selalu bertanya ‘Bu, jadi kan kita berhari raya?’ Saya bingung menjawabnya, pakaian mereka sudah tak lagi bisa dipakai, karena terendam lumpur,” ujar Ita (36), seorang ibu dari anak-anak tersebut.
Tak disangkal lagi, trauma psikologis yang dialami masyarakat biasanya akan lebih berat dirasakan oleh anak-anak ketimbang orang dewasa. Bagaimana saat pada malam itu mereka melihat keadaan genting di antara hidup dan mati, bagaimana ia melihat rumahnya berantakan penuh lumpur atau terpikir tentang nasib masa depan pendidikannya.
“Saya butuh buku pelajaran. Buku saya sudah hancur semua,” ujar seorang anak kepada seorang Radius, Koordinator Yayasan Rumah Anak Shaleh (RAS) yang datang ke kawasan itu untuk memberikan pemulihan psikologis dari trauma yang mereka rasakan.
Buku, mungkin hanya itu yang diharapkan anak itu untuk mamacu kembali cita-cita atau mungkin juga untuk menghabiskan hari untuk melupakan segala situasi mencekam yang pernah ia saksikan.
“Kami dari RAS mencoba mengajak mereka bermain sambil berbagi dengan mereka berupa keperluan-keperluan sekolah dan untuk sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar mereka bisa melupakan bagaimana buruknya kejadian musibah yang telah melanda tempat tinggal mereka. Paling tidak mereka juga bisa kembali ke depan berpikir lebih fokus terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan, seperti sekolah, mengaji juga bermain,” kata Radius, bersama 5 orang pengasuh dari yayasan tersebut kepada Singgalang, kemarin.
Menurutnya lagi, kegiatan yang mereka lakukan adalah membawa anak-anak dari RAS Purus untuk berbagi dan bermain bersama anak-anak di lokasi bencana. Dari interaksi ini, diharapkan anak-anak yang datang dapat belajar dari situasi yang mereka lihat. Sebaliknya, anak-anak di lokasi bencana merasakan kegembiraan yang dapat memulihkan trauma mereka setelah menghadapi sesuatu yang menegangkan.
Interaksi, bercerita dan bernyanyi dilakukan oleh para trauma healing itu bersama anak-anak korban bencana. Sedikit demi sedikit senyum itu mulai hadir, gelak tawa juga mulai terdengar dan mata-mata indah mereka juga mulai bersinar. Walau kadang mereka kembali dalam kemurungan, berbagai cara dan interaksi pasti akan memberikan anak-anak itu motivasi untuk bangkit.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar