Featured Video

Minggu, 16 September 2012

”Stop” Pekan Budaya


Oleh : Arjuna Nusantara
(Pemimpin Redaksi Tabloid Mahasiswa Suara Kampus)



Pekan Budaya Sumbar yang digelar tiap tahun perlu dikaji ulang. Karena tak ada hasilnya. Dilihat dari tahun ke tahun, budaya malah semakin terkikis. Dalam acara ini, berbagai pihak -tokoh adat; pemerintahan; dan orang yang mengaku budayawan- mengeluhkan dan berkata (pura-pura) prihatin melihat generasi muda se­ka­rang yang semakin jauh dari budaya Minang.


Banyak kasus generasi muda me­lang­gar norma-norma adat. Menurut p­enulis, bukan generasi muda yang salah. Tapi yang tua-tualah yang patut disalahkan. Termasuk pemerintah, lembaga adat dan pemangku adat di nagari masing-masing. Seorang anak yang dibesarkan di hutan, maka dia akan bersikap layaknya binatang yang membesarkannya. Seorang anak yang dibesarkan dengan kekerasan, maka dia akan menjadi seorang yang kasar. Seorang anak Minang yang dibesarkan dalam masyarakat yang tidak paham budaya, maka pantas dia mengadopsi budaya yang didapatkannya dari dunia luar.

Seperti pepatah, buah jatuh tidak akan jauh dari batangnya. Anak pe­rem­puan calon “bundo kanduang, lim­pa­peh rumah gadang” berpakaian se­te­ngah jadi, duduk “mangangkang”, dan keluyuran tengah malam dengan laki-laki, tidak akan terjadi jika, dia paham dengan etika dan norma. Selain itu, prilaku yang dianggap menyimpang itu juga didukung kurangnya pengawasan orang tua. Orang tua lalai juga karena tidak paham dengan budayanya sen­diri.

Inti permasalahannya bukan pada generasi sekarang, tetapi pada generasi sebelumnya. Salah satu jalan adalah memperbaiki kurikulum pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) di sekolah. Perlu pembinaan sedari dini untuk generasi baru melalui pen­didikan formal. Bukan dengan me­nga­dakan pekan budaya, lalu berkeluh kesah di sana dengan ungkapan-ung­ka­pan prihatin. Kemudian menggelar lomba-lomba kesenian.

Para pemimpin, pejabat, ber­hen­ti­lah bermulut manis, sok prihatin, tapi tak berbuat. Penulis sendiri merasa kecewa dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Keberadaannya tidak terasa. Penulis (mungkin pembaca juga) tidak pernah mendengar usaha LKAAM dalam me­lestarikan dan mempertahan budaya Minangkabau yang luar biasa. Buk­ti­nya, semakin hari budaya semakin ter­gusur. Kalau hanya akan me­ng­ha­bis­kan uang saja lebih baik bubar. Ba­gai­mana akan membina masyarakat Minang secara keseluruhan, pejabat LKAAM membina “sanak-kamanakan” nya saja tidak becus. Tidak penting juga kita bahas bagaimana kaumnya ma­sing-masing. Tapi yang penting adalah bagaimana tanggungjawabnya ter­ha­dap amanah yang diberikan untuk men­jalankan fungsi LKAAM. Apa yang telah dilakukan untuk masyarakat.

Sekarang, LKAAM sibuk mem­perjuangkan sestim kenagarian. Be­r­usaha meyakinkan pemerintah pusat untuk tidak menetapkan RUU Desa. Sementara, di Sumbar saja, masih ada daerah yang masih memakai sistem desa meski kenagarian sudah diber­lakukan. Seperti pepatah, “semut di seberang laut kelihatan, gajah di pe­lupuk mata tak kelihatan”. Artinya, pejabat LKAAM hanya ingin mencari muka. LKAAM berharap dipandang sebagai pejuang, pahlawan penegak sistem kenagarian. Kalau memang benar-benar ingin, mulailah dulu dari sini. Mengapa sistem kelurahan masih dipakai di kota-kota yang ada di Sum­bar. mengapa sistem desa masih dipa­kai di Pariaman?

Kasus di atas hanya sedikit contoh ketidak-seriusan LKAAM dalam men­jalankan perannya selaku lembaga adat tertinggi di Sumatera Barat. Tidak pernah berbuat, tapi mengeluh dan menyalahkan generasi muda. Me­nyalahkan generasi muda yang suka ke­luar malam, menyalahkan generasi muda yang tidak mengerti dengan budaya.

Sekarang, pemerintah menggan­tung­kan harapan melalui pekan bu­da­ya. Perlu disadari, budaya itu bukan randai saja, bukan rabab, bukan tari, bukan cerdas cermat, dan bukan pe­tatah petitih. Budaya itu cara hidup bermasyarakat. Cara bersikap dalam pergaulan. Adat basyandi syara’  berarti bagaimana tingkah kita sesuai dengan ajaran agama. Syara’ basandi kita­bullah, berarti ajaran agama yang sesuai dengan al-quran. Tak se­ha­rus­nya ada masyarakat Minangkabau yang menjadi pengemis, karena dalam minangkabau ada harta pusaka. Guna harta pusaka untuk kaum. Untuk kelangsungan hidup “sanak-ka­ma­na­kan”.

Randai, rabab, tari kreasi, petatah-petitih, itu semua hanya kesenian. Tidak ada hubungannya dengan kelan­ca­ran hidup bermasyarakat. Tidak ada ran­daipun orang juga bisa hidup damai. Rabab pun tak bisa membantu permasalahan tanah ulayat.

Pemerintah terjebak dengan ke­se­nian. Menganggap budaya itu adalah tari-tarian, lalu mengadakan lomba menghabiskan dana besar-besaran. Sebenarnya yang terpenting itu ba­gai­mana hendaknya generasi muda meng-aplikasikan adat “basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dalam kehi­dupan­nya sehari-hari. Pemuda yang tak bisa main randai, bukan berarti tidak berbudaya. Masyarakat yang tidak suka mendengar rabab bukan berarti men­jauhkan budaya.

Pekan budaya pun dilaksanakan asal jadi saja. Maksudnya, beberapa kabupaten mengirim utusan tidak dengan cara menseleksi yang ada di daerahnya. Hanya menunjuk orang-orang terdekat saja. Seharusnya, sebe­lum diadakan di tingkat provinsi, diadakan dulu di tingkat Kabupaten/kota. Sehingga seluruh masyarakat tahu dan ikut merasakannya.

Terlepas dari kasus-kasus di atas, masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan. Salah satu jalan dengan memperdalam pendidikan budaya sedari dini di sekolah. Tidak hanya Sekolah Dasar (SD), tapi sampai ke bangku kuliah. Andai mereka menjadi pemimpin suku, mengerti apa yang harus dilakukan. Sekurang-kurangnya mereka punya modal untuk membina kemenakannya. Sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang sesuai dengan falsafah Minang. Setelah itu, mari kita pikirkan keberadaan LKAAM, masih dibutuhkan atau dibubarkan saja. Yang terpenting, pekan budaya 2012 harus jadi pekan budaya terakhir.(*)


sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar