Featured Video

Jumat, 29 November 2013

MORAL PELAJAR DAN REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA

Krisis moral yang menerpa kalangan pelajar akhir-akhir ini menunjukkan intensitas yang meninggi. Hal itu tergambar dalam berbagai pemberitaan di media massa. Menguatnya tindakan asusila yang terjadi di kalangan pelajar akhir-akhir tentu sangat mem­prihatinkan. Terutama bagi orangtua, guru dan lembaga pendidikan itu sendiri.
Sebab jika fenomena negatif terse­but terus menjadi gaya hidup di kalangan pelajar (remaja), maka ia akan terkena dampak ikutan berikutnya, yakni rentan terkena HIV/AIDS, narkoba dan krisis identitas. Ini tentu akan sangat meru­gikan kita semua, terutama masa depan yang ber­sangkutan dan negara. Jika hal ini tidak dian­tisipasi maka kita akan gagal menikmati berkah demografi atau ke­pen­dudukan itu sendiri.
Indonesia saat ini sedang menikmati apa yang disebut bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia pro­duk­tif mencapai 70 % dari keseluruhan penduduk dalam satu-dua dekade mendatang. (Gatra, 8 Mei 2013). Mereka yang ter­masuk dalam usia pro­duktif ini disebut juga dengan generasi emas. Suatu gene­rasi yang memiliki masa depan yang gemilang- kare­na usia nya yang produktif. Namun ia juga akan men­jadi bumerang jika kita tidak dapat merawat dan mengem­bangkannya ke arah yang positif.
Revitilasi pendidikan agama
Dalam konteks meng­upayakan agar kaum pela­jar atau generasi emas yang dimiliki bangsa ini tetap jadi bonus demografi dan bukan sebaliknya jadi bencana, maka salah satu hal yang perlu dilakukan adalah revitalisasi peran pendidikan agama. Pen­didikan agama menjadi sangat penting bagi kaum pelajar. Karena krisis yang dialami oleh mereka, seperti berbagai fenomena yang mengemuka, mulai dari seks bebas, narkoba, per­kelahian, dll, sebenarnya bermula dari krisis identitas dan orientasi hidup. Krisis identitas dan orientasi hidup itu bermula dari ketidak­mampuan yang bersang­kutan memaknai eksistensi ke­fitrahannya. Bahwa manu­sia dilahirkan dalam ke­adaan fitrah dan sejak awal sudah dibekali potensi agama. Namun potensi ini kemudian teng­gelam dalam tarikan nafsu dan sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.
Pendidikan agama sebe­narnya harus mampu me­nya­darkan kaum pelajar akan potensi fitrah dan agama yang dimilikinya. Bahwa hidup bukan saja berorientasi dunia yang fana ini, melain­kan juga ada kehidupan yang lebih ber­mak­na, bermartabat dan berbahagia di akhirat kelak. Pendidikan agama dalam konteks ini, harus mela­kukan orientasi kem­bali, agar kaum terpelajar mam­pu memahami potensi laten yang dimilikinya. Dalam konteks bagaimana agar pendidikan agama harus berperan transfotmatif dan evaluatif dalam kehidupan kaum pelajar, maka me­mang harus dilakukan revita­lisasi terhadap pen­didikan agama itu sendiri. Karena pendidikan agama yang berjalan selama ini lebih merupakan doktrin fatalis dan pengetahuan belaka. Agama hanya diajar­kan sebagai doktrin yang membedakan agama satu dengan agama yang lain. Agama hanya diajarkan sebagai penge­tahuan. Agama hanya diajar­kan untuk melegitimasi bahwa yang bersangkutan beragama. Karenanya, pen­didikan agama tidak ber­makna apa-apa bagi penye­lesaian ber­bagai per­soalan yang diha­dapi kaum remaja atau pelajar. Agama tidak hidup, dinamis dan inter­pretatif dalam menyikapi berbagai pergolakan pemi­kiran, pera­saan dan realitas sosial yang dihadapi kaum pelajar. Agama  lebih berpe­ran sebagai “hakim”, ketim­bang sebagai suara hati yang menggetarkan relung jiwa dan perilaku kaum remaja. Jika saja agama menjadi suara hati kaum pelajar, maka ia akan berfikir ulang tentang berbagai penyim­pangan yang akan dila­kukan. Karena itu sadar betul, bahwa ia memiliki kekuatan ruhiah yang harus ditunaikan dan tanggung jawab sosial yang harus diperankannya sebagai konse­kuensi menjadi hamba Tuhan.
Untuk itu, pendidikan agama sebagai elemen terpen­ting dalam dunia pendidikan, terutama dalam meng­imple­mentasikan Kuri­kulum 2013 yang ber­basis pendidikan karakter, harus dilakukan upaya revitalisasi terhadap pendidikan agama itu sendiri. Pertama, pe­mahaman ulang tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama di seko­lah. Selama ini pendi­dikan agama di sekolah lebih difungsikan untuk mem­bedakan murid yang satu dengan murid yang ber­agama lainnya. Pemahaman fungsi agama yang demikian, meng­akibatkan pengajaran agama lebih berorientasi doktrin dan ritual yang kering akan makna sosial dan peran kritis agama. Agama menjadi pemisah identitas. Mestinya, agama menjadi penyatu, pintu masuk bagi kaum remaja menyelesaikan berbagai persoalan dan perbedaan dalam merespon berbagai tantangan hidup yang diha­dapinya.
Kedua, revitalisasi orien­tasi pembelajaran. Pembe­lajaran pendidikan agama selama ini lebih berorientasi pengetahuan semata. Pada­hal aspek pengetahuan dalam agama amatlah sedikit, yakni aspek melek kitab sucinya. Selebihnya harulah berorientasi pemben­tukan kepribadian. Maka­nya, orientasi pem­belajaran agama ke depan haruslah berbasis pada psikologi behaviorisme atau yang dikenal dengan teori S-R (stimulus respon). Yakni dimana pendidikan agama diawali dengan peng­kon­disian emosi dan reflek. Karena kepribadian sese­orang merupakan akumulasi emosi dan reflek yang dikondisikan. (Dede Rosyada, 2009). Dalam kaitan ini menarik pernyataan De-Mar, 1989, “ Beri saya selusin bayi sehat. Saya akan jadikan mereka seperti apa yang saya mau; dokter, pengacara, artis, pedagang, pemimpin politik dan bah­kan pencuri sekalipun”. Mereka akan menjadi sesua­tu yang baru lepas dari bakat dan kebiasaan lelu­hurnya.
Ketiga, penguatan kapa­sitas guru agama. Guru agama selama ini berada dalam kondisi terpuruk. Selain karena faktor internal ketidakpercayaan diri, malas belajar dan gagap teknologi, juga karena mereka kehi­langan pengetahuan sosial dalam kehidupan sosial. Mereka tidak memiliki keahlian dalam bidang seni dan budaya sebagai pintu ma­suk untuk mengajarkan agama. Karenanya, guru agama harus memiliki keahlian agama tertentu dan juga perangkat ilmu kemasyarakatan, agar ia memiliki kekuatan budaya dan jaringan sosial ke masyarakat untuk merea­liasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan pelajar.
Keempat, revitalisasi dalam aspek penilaian. Penilaian pendidikan yang bertumpu pada aspek penge­tahuan belaka seperti yang dipraktikkan selama ini tidak akan membawa kepa­da pemahaman, peng­ha­yatan dan pengalaman agama itu sendiri. Aspek pengetahuan adalah bagian terkecil dari aspek penilaian agama, yang terpenting adalah aspek pemahaman, penghayatan dan peng­amalan. Dalam konteks ini haruslah dicari formula dan skema pe­nilaian pendidikan agama di sekolah, sehingga ada keutuhan aspek yang di­nilai dengan realitas p­erilaku pelajar atau siswa. Tanpa ini direvitalisasi, maka pendidikan agama hanya sekedar pengetahuan yang setiap saat akan hilang dan tidak membekas dalam kepribadian siswa atau peserta didik.
Itulah untuk menyebut beberapa langkah revitalisasi yang mesti dilakukan dalam konteks menjadi pendidikan agama sebagai kekuatan budaya dan sekaligus ke­kuatan kritis dalam mem­bangun kepribadian siswa atau pelajar. Kini momen­tum tersebut sangat terbuka dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang ber­basis pendidikan karakter. Persoalannya, terpulang pada pemangku pendidikan, terutama pemangku pen­didikan agama untuk me­ngisi dan mewarnainya dalam proses pembelajaran yang terintegratif. ***

UMAR NATUNA
(Ketua STAI Natuna)s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar