Featured Video

Sabtu, 21 Desember 2013

Para Profesor, Menulislah

MOHAMMAD ISA GAUTAMA — Bangsa ini banyak persoalan, itu benar. Mulai dari korupsi, bencana alam, salah urus pemerintahan, skandal demi skandal, birokrasi yang runyam, murid SD mungkin sudah hafal. 

Solusi mangkus untuk mengatasi persoalan, pasti ada. Cuma, mungkin masih banyak yang belum ketemu. Tak ada sakit yang tiada obatnya. Tak ada nasib yang tak bisa berubah.
Salah satu resep untuk mau berubah itu adalah saling mengingatkan. Kabarkanlah segala kebaikan, maka yang menyimaknya minimal akan mendengar.
Yang paling bagus tidak sekadar mendengarkan, melainkan dihayati dan dipraktikkan sesuai arahan. Tapi, apakah mungkin semua itu didapat jika kita tidak membaca? Jangan lupa, wahyu pertama ke Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca.
Di balik perintah membaca, sesungguhnya ada perintah implisit lainnya yang tak kalah penting, menulis. “Strategi” Tuhan di balik turunnya ayat pertama itu memang maha brilyan. Bukan menulis yang ditekankan, melainkan membaca. Bisa jadi dengan alasan: melalui budaya membaca maka otomatis dibutuhkan budaya menulis.
Jika menulis yang ditekankan, maka belum tentu akan tumbuh budaya baca. Sebaliknya, kalau rajin membaca, maka akan terpancing menulis, karena bahan bakunya sudah ada.
Guna menumbuhkan minat baca dan menulis, tentunya membutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang mumpuni. Memang, SDA (Sumber Daya Alam) kita kurang, tapi SDM adalah kekayaan yang lebih bernilai. Di balik SDM yang hebat, ada ide yang brilyan. Di balik sakambuik ide itu, ada senarai solusi terhadap berbagai problem kehidupan. SDA tidak akan berarti jika tidak ada SDM.
Bicara SDM, di kita, apa yang kurang? Dari zaman saisuak negeri ini terkenal tempat lahir dan berkembangnya orang-orang pintar, para pemimpin bangsa, perintis kemerdekaan, sastrawan-budayawan, politikus, seniman hebat.
Nama mereka mendunia. Tahukah sidang pembaca, rata-rata mereka adalah penulis masyhur di masanya? Di kita, sekadar menyebut nama, tengoklah sejarah Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Jauh sebelum proklamasi, mereka sudah rajin menulis, meneropong zamannya dengan kacamata nalarnya, menuangkannya lewat tajamnya pena.
Kini, kondisi itu sebenarnya tidak jauh beranjak, kita kaya SDM berkualitas. Ironisnya, cuma ada empat atau lima profesor yang masih kelihatan tulisannya di koran-koran Sumbar terkemuka.
Padahal, dari catatan kasar, ada 44 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Sumbar. Ada 86 ribu lebih mahasiswa, 350 professor, dan hampir dua kali lipatnya doktor yang belum profesor. Konon, jumlah doktor di Sumbar adalah yang terbanyak persentasenya (dipersentasekan dengan jumlah keseluruhan dosen yang sekitar 3700-an orang) di luar Jawa. Seperlima di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi luar negeri.
Menilik data itu, mestinya kita tidak kekurangan penulis-penulis handal. Apalagi keragaman bidang kajian semakin hari juga semakin beragam. Di samping semakin beragam juga semakin terspesialisasi.
Ahli pertanian mestinya bisa menulis artikel populer yang disarikan dari hasil penelitiannya (yang tentunya secara akademis sudah dimuat di jurnal sebidang) dan kemudian dipublikasikan di koran.
Ahli kesehatan pun bisa mengisi rubrik artikel kesehatan di media online, misalnya. Toh jumlah orang yang semakin melek dengan informasi dari internet semakin hari juga semakin tinggi. Belum lagi artikel olahraga, teknik, agama, hukum, ekonomi, sastra, politik, sosial dan lain-lain.
Saya merindukan, layaknya koran-koran terkemuka di Inggris, The Telegraph, The Independent, dan The Guardian, atau semisal koran lokal, Hull Daily Mail, minimal sekali seminggu para profesor dan doktor hadir menyapa pembacanya dengan analisis dan ide bernasnya, melakukan pencerahan.
Kerinduan itu tampaknya masih berwujud mimpi, manakala saya masih saja menemukan beberapa suratkabar memuat tulisan yang di-copy-paste mentah-mentah dari media online ibukota. Entah karena memang tidak ada para profesor atau penulis otodidak yang mengirim tulisan, atau memang budaya menulis itu benar yang lagi karam. Padahal negara ini, daerah ini, masih sebegitu bejibunnya memelihara persoalan demi persoalan.
Dus, para profesor dan doktor, menulislah. Jangan hanya menulis di jurnal, sebarkanlah hasil penelitian anda dengan mengadaptasinya ke dalam tulisan ilmiah-populer, sehingga masyarakat luas dan para pemangku kebijakan bisa membacanya. Tunggu apa lagi? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar