Featured Video

Selasa, 17 Desember 2013

Pengalaman Seorang Anak Minang di Rantau-Disarankan Untuk Dibaca

Syafiwal Azzam – Ini kisah seorang teman tentang bagaimana ia mempertahankan akidahnya di luar negeri. Atas izinnya saya tuliskan pembaca Singgalang (**)

Kisahnya:
Setamat STM Muhamma diyah, Simpang Haru, Padang (sekarang tidak ada lagi) pada 1975 saya memutuskan merantau ke Jakarta. Berbekal ijazah STM jurusan mesin saya melamar ke beberapa perusahaan, saya diterima di perusahaan kapal kargo. Mulailah perjalanan panjang saya mengharungi samudera luas mengelilingi hampir seluruh belahan dunia.
Banyak suka dukanya, kadang-kadang berbulan-bulan tidak memijak tanah. Pengalaman yang paling menakutkan dan tak akan pernah dapat terlupakan ketika kapal kami dihantam badai sehingga kapal tidak bisa dikendalikan. Kami yakin kapal akan karam. Saat itulah saya tersadar, memang ada tenaga atau kekuatan yang maha besar yang mengatur jagad raya ini.
Saya yang biasanya sangat jarang berkomunikasi dengan Sang Pemilik Kekuasaan itu tanpa sadar mengucapkan doa ke hadiratNya. Dengan penuh pengharapan karena ketakutan dengan berurai air mata saya berdoa dan mohon ampun atas kesalahan yang pernah saya buat dan berjanji akan meninggalkan semua perilaku tidak baik yang saya lakukan selama ini.
Ujian tobat
Peristiwa kedua yang tidak akan pernah terlupakan, ketika sayapal mengalami kecelakaan. Suatu hari, ketika sedang memperbaiki mesin kapal, kaki saya tertimpa sebuah potongan besi sehingga patah. Saya dibawa dengan helikopter untuk mendapat perawatan di sebuah rumah sakit.
Dokter yang memeriksa dan merawat menyatakan saya butuh waktu minimal 1 bulan untuk dapat pulih kembali. Waktu itu saya sungguh sangat sedih sekali. Sakit di rantau orang tidak ada sanak saudara yang menjenguk sama sekali. Betapa berartinya sanak keluarga dan handai tolan ketika dalam situasi seperti ini.
Beberapa hari dirawat, saya didatangi seorang ibu separoh baya dengan penampilan yang menarik. Dengan ramah ia menanyakan tentang peristiwa yang saya alami. Saya sangat terhibur dengan ke datangannya. Dengan tutur yang manis ia menyampaikan pada saat-seperti ini yang sangat penting dilakukan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Lalu ia berkata.
“Saudara berdoa menurut agama apa ?”
“Saya seorang muslim dan tentu saja berdoa menurut ajaran agama saya Islam,” jawab saya.
“Oh, ya, bagus itu. Teruslah berdoa agar saudara cepat sembuh,” ujarnya lagi.
Sebelum ia meninggalkan ruangan kembali ia mengingatkan agar terus berdoa.
Pada kunjungan kedua si ibu membawa makanan dan pakaian untuk saya. Dan dengan keramahan yang sama ia selalu menanyakan perkembangan kesehatan saya. Waktu akan pulang ia mengingatkan lagi agar jangan lupa untuk terus berdoa. Tetapi kali ini ia menyodorkan sebuah buku.
“Kalau kami umat kristiani membaca doa ini untuk mem bantu mempercepat kesembuhan,” katanya.
“Cobalah, mana tahu itu akan membantu,” tambahnya lagi.
Terjawablah sudah apa yang menjadi tanda tanya dalam pikiran saya ketika pertama kali si ibu berkunjung. Sanak tidak kenalan tidak kok si ibu begitu ramah. Rupanya ada udang di bali batu. Si ibu rupanya punya niat memurtadkan saya.
Dua hari dalam seminggu si ibu rutin mengunjungi saya dengan selalu membawa kebutuhan saya tanpa diminta. Setiap datang pula ia selalu menanyakan apakah saya telah mencoba berdoa menurut doa yang tercantum dalam buku yang ia berikan. Walaupun saya selalu menjawab belum, keramahannya tidak berkuran sama sekali. Malah sebaliknya, semakin ramah.
Setelah dirawat selama 40 hari akhirnya saya dibolehkan pulang. Tetapi saya masih belum bisa bekerja dan harus bersitirahat selama 2 bulan. Saya meminta untuk pulang ke Indonesia. Saat akan meninggalkan rumah sakit menuju hotel si ibu muncul lagi.
Setelah mengucapkan sela mat atas kesembuhan saya, ia pun menyampaikan sesuatu yang mengejutkan saya.
“Saya dengar saudara akan pulang ke Indonesia ?”
“Ya.”
“Bisa saya minta bantuan?”
“Tentu saja kalau saya mampu.”
“Saya menitip untuk membawa Alkitab ke Indonesia.”
Sesaat saya terdiam. Saya merasa tidak enak untuk menolak karena ia telah banyak membantu selama saya dirawat tetapi untuk membawa Injil ke Indonesia saya juga tidak akan mau. Akhirnya saya memberi alasan barang saya sudah overweight (kelebihan barang). Tetapi si ibu menyatakan ia akan membayar kelebihan barang itu.
Saya tidak punya alasan untuk bisa mengelak lagi. Akhirnya disepakati, titipannya akan dikirim ke hotel tempat saya menginap sementara. Ia juga meminta nomor HP saya agar bisa dihubungi untuk memudahkan mencari alamat hotel. Waktu itulah saya punya ide untuk memberikan nomor HP palsu. Untunglah waktu itu HP saya mati karena kehabisan baterai sehingga ia tidak bisa mengecek apakah nomor HP itu benar atau tidak.
Akhirnya si ibu tidak bisa mengontak dan mencari alamat hotel sampai saya pulang ke Indonesia.
Itulah sanak sedikit kisah yang saya alami sendiri. Begitulah cara orang non muslim memurtadkan umat Islam. Jadi berhati-hatilah. Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua.(*)
s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar