Featured Video

Selasa, 28 Juni 2011

PANGULU PADANG MANJAGOKAN ULA LALOK


Memberikan/me­nga­nugerahkan gelar adat, apakah gelar itu dalam tingkat/peringkat sakopusako atau pun sangsako kepada seseorang yang non-Islam merupakan tin­dakan nyata dari para peng­­hulu adat Mi­nang­kabau untuk menga­bur­kan sekaligus meng­hilang­kan adagium adat Minangkabau itu sendiri, Adat Basandi Syara’,Syara Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Hal itu terbukti dari tindakan para penghulu pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nan Salapan Suku Nagari Padang beserta Bundo Kanduangnya dalam memberikan gelar kepada Wi Hook Cheng (Setia Budi) dengan gelar Datuk Rajo Putih, kemudian kepada Ferryanto Gani dengan gelar Sutan Rangkayo Nan Mudo.

Peristiwa yang menggoncangkan sendi-sendi ABS-SBK ini telah dilaporkan beberapa surat kabar beberapa hari lalu.
ABS-SBK sebagai way of life masyarakat Minangkabau yang terus diamalkan sampai sekarang adalah sebuah bakuan/patron/rujukan dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Minangkabau. Dengan berpegang kepada ABS-SBK tersebut, berarti setiap orang Minangkabau adalah seorang Islam yang taat. Bila gelar adat Minangkabau tersebut dalam tingkat apapun diberikan kepada seseorang di luar Islam, maka tidak dapat tidak, akan ada penghulu, sutan yang tidak beragama Islam. Jika hal ini terus berlanjut, pemberian gelar dengan cara demikian sama dengan menghancurkan ABS-SBK itu sendiri secara nyata, terencana dan tentu saja akan berakibat pula kepada para anak-kemenakan orang Minang itu sendiri nantinya. Artinya, Islam atau tidak, Minang atau tidak, basuku atau tidak bukan lagi ukuran yang harus dijadikan syarat utama dalam memilih pemimpin-pemimpin suku, datuk-datuk, sutan-sutan bagi masa depan Minangkabau.
Kita sangat menghargai para tokoh, pengusaha, jasawan dan orang-orang kaya dari etnis luar Minang­kabau yang telah memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa ini. Kita tidak akan menafikan jasa-jasa mereka semiangpun. Adat Minangkabau tidak mengajarkan orang Minang untuk menghilangkan jasa orang lain. Akan tetapi tidak semua jasa harus dibalas dengan memberikan gelar adat apakah itu sakopusako atau sangsako. Apalagi seperti gelar “Datuk” yang dianu­gerahkan kepada Wi Hook Cheng (pengusaha, orang kaya Padang yang termashur).
Kita boleh saja beradu argu­mentasi tentang bagaimana cara pemberian gelar,  gelar apa yang harus diberikan, siapa-siapa yang berhak memberikan gelar dan kepada siapa gelar  tersebut dibe­rikan. Akan tetapi, menjadikan seorang pemangku adat Minangkabau yang berada di luar payung ABS-SBK benar-benar suatu tindakan yang perlu direnungkan kembali. Apakah penghulu-penghulu yang tergabung dalam KAN Nan Salapan Suku Nagari Padang sudah siap menerima kemenakannya nanti untuk tidak beragama Islam? Atau, pertanyaan umum yang muncul dari peristiwa ini adalah; apakah benar penghulu-penghulu dalam KAN Nan Salapan Suku itu teguh dan menjalankan agama Islam? Atau memang para “nan gadang basa batuah” tidak perlu lagi beragama Islam?
Dari langkah yang telah dilang­kahkan KAN Nan Salapan Suku Nagari Padang itu, secara tersirat tentu kita boleh beribarat;  ABS-SBK tidak selayaknya lagi dijadikan ukuran dalam tatanan adat. Sebab yang menjadi ukuran kini adalah; urang nan baharato. Tidak perlu lagi apakah dia babangso atau tidak, baugamo (Islam maksudnya) atau tidak. Artinya, Pemda Sumatera Barat, DPRD, LKAAM, Bundo Kanduang, MUI tidak perlu mengan­cang-ancang untuk membuat suatu aturan, simulasi atau peragaan untuk masyarakat agar bisa menjalankan ABS-SBK.
Kita tidak mau sama sekali menjadikan agama sebagai pemicu dari suatu gejolak sosial, tetapi dengan apa yang telah dilakukan para pangulu Padang yang tergabung dalam KAN Nan Salapan Suku Nagari Padang, bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak produktif bagi masyarakat Minangkabau yang sudah tenang-tenang seperti sekarang.
Kita mengharapkan Penghulu Padang jangan sampai manjagoan ula lalokIndak ka takamehan dek pangulu tu sajo doh. Semoga.

WISRAN HADI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar