Featured Video

Senin, 19 September 2011

MASJID KAYU JAO YANG BERUSIA 412 TAHUN


Sebuah arsitektur dan wujud fisik sebuah bangunan, inheren dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang mendukungnya. Salah satunya adalah bangunan masjid.
Nagari-nagari di Minangkabau, selalu identik dengan keberadaan masjid. Bentuk fisik dan pemanfaatan sebuah masjid bisa menjadi cerminan kebudayaan daerah di mana masjid itu dibangun. Masjid tak hanya menjadi tempat melaksanakan ibadah, tapi juga sebagai tempat berunding dan mu­syawarah. Bahkan, pada zaman kolonial dulu, masjid juga jadi tempat berlindung dan mengatur strategi perang.

Hal itulah yang berusaha ditun­jukkan dalam pameran foto masjid-masjid tua di arena Pekan Budaya Sumatera Barat tahun 2011 yang diadakan di Lapangan Pacu Kuda Kubu Gadang, Kota Payakumbuh beberapa waktu lalu.
Terlihat beberapa foto masjid tua yang diatur sedemikian rupa di dinding-dinding triplek.  Di samping foto juga di pajang tulisan berupa penjelasan tentang sejarah, bentuk fisik, dan lokasi masjid. Dengan demikian, masyarakat yang melihat tak hanya terkagum dengan visua­li­sasi, tapi juga bisa mengetahui se­jarah dan menambah penge­tahuan­nya tentang masjid-masjid tua di Sumbar.
Salah satunya Masjid Tua Kayu Jao, Batang Barus, Gunung Talang, Kabupaten Solok. Masjid ini didirikan sekitar tahun 1599. Menu­rut cerita, pembangunan masjid ini cukup unik. Setelah terbentuk nagari, maka ninik mamak yang berjumlah 24 orang sepakat untuk mendirikan masjid.
Untuk menentukan lokasi pemba­ngunan masjid, bermusyawarahlah imam, khatib, dan bilal, yang disepakati dengan cara mengha­nyutkan sebatang kayu. Maka di mana kayu tersebut berhenti, maka di sanalah masjid didirikan.
Masjid tua ini tak hanya diguna­kan untuk kegiatan keagamaan semata, tapi juga memiliki peranan penting dalam kehidupan bernagari. Di an­taranya sebagai tempat bermu­syawarah dalam upaya mengatur strategi meng­hadapi penjajah. Pada masa PRRI, masjid ini juga dijadikan tempat berlindung dan menyimpan senjata.
Masjid Tuo Kayu Jao adalah salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid berarsitektur khas Minang­kabau. Di samping keasliannya yang tetap terjaga, arsitektur pada masjid ini juga sangat mudah untuk dikenali. Atapnya yang terbuat dari ijuk melambangkan desain rumah adat Minangkabau yakni Rumah Gadang, selain itu juga pada bagian mihrabnya yang diberi gonjong.
Jumlah tiangnya yang sebanyak 27 buah melambangkan enam suku yang masing-masing terdiri dari ampek jinih (empat unsur pemerin­tahan adat) sehingga jumlahnya 24 bagian, ditambah dengan tiga unsur dari agama yakni khatib, imam dan bilal, sehingga jumlahnya menjadi 27. Kuatnya syariat agama Islam di daerah tersebut juga tergambar dari jumlah jendelanya yang 13 buah, yang mengisyaratkan rukun salat yang 13 macam.
Menurut seorang tokoh masya­rakat setempat, di awal pembangunan masjid tersebut hingga beberapa tahun kemudian, pola bangunan yang tidak memakai paku masih tetap dipertahankan.
Salah satu pengunjung, Rizal (45), mengatakan pameran foto masjid tua tersebut membantu masyarakat mengenali dan mema­hami kebudayaannya dan kehidupan beragama, dan perkembangan Islam sekalipun.
“Tak semua orang tahu masjid tua di Sumbar punya sejarah unik tersendiri, apalagi masjid punya peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumbar,” kata Rizal kepada Haluan pekan lalu.
Pameran ini juga dikunjungi oleh anak-anak usia sekolah. Mereka dibimbing oleh guru-guru untuk menikmati sekaligus menambah ilmu pengetahuan tentang negerinya.
Seperti siswa-siswa dari SDN 03 Lubuk Batingkok dan SMPN 03 Harau, Payakumbuh.
“Ternyata masjid agak mirip dengan rumah gadang, ada gonjong­nya,” ujar salah seorang siswa, Rani (13).
Ia baru pertama kalinya melihat bentuk fisik masjid yang menyerupai desain rumah gadang.  Rani berharap acara seperti ini diadakan lagi karena ia banyak menemukan pengetahuan baru yang asing sebelumnya.
Acara Pekan Budaya yang telah ditutup Sabtu lalu, diisi dengan berbagai macam iven, di antaranya pertunjukan seni dan pameran foto-foto cagar budaya Sumbar. Pertun­jukkan seni dari tiap-tiap daerah di Sumbar itu juga dilombakan, seperti tarian daerah, gamad, busana tradisio­nal, dan lain-lain. Keluar sebagai juara umum Kota Payakumbuh. (h/sya)
Ditulis oleh Teguh  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar