Featured Video

Rabu, 14 September 2011

PADANG REALITAS SEBUAH KOTA


Mencoba berkeliling Ko­ta Padang melihat semua aspek sembari memahami realitas  dengan pikiran yang jernih, pandangan dan analisa yang kon­pre­hensif, lepaskan se­mentra kepentingan politik, agak­nya banyak pihak akan menarik napas panjang. Sebab, siapapun wali­kota­nya, yang dihadapi Kota Padang hari ini dan ke depan bukan hanya pasar, apalagi khusus Pasar Raya. Kelihatannya ada sejumlah persoalan yang sedang berebut prioritas.

Padang sebagai ibukota provinsi kini dihuni sekitar 850 ribu jiwa, dengan sekitar 200 unit TK, 400 SD, 75 SLTP, 45 SMU, dan sekitar 40 perguruan tinggi dengan sekitar 86 ribu mahasiswa. Ada sekitar 30 rumah sakit, 19 puskesmas dan 20-an pasar, belasan kantor perbankan, puluhan kantor pemerintahan kota dan provinsi serta instansi lainnya. Di hamparan kota seluas 694 km persegi ini terdapat 21 sungai dan jalan raya untuk semua kelas dan kondisinya sekitar 924 km.
Di tengah-tengah kondisi itu perkembangan tuntutan kebutuhan ruang sekolah, rumah sakit, pasar, ruas jalan raya, jalan lingkungan dan perkantoran terus bergerak. Khusus perkantoran, terasa semakin mende­sak karena setelah gempa 30 Septem­ber 2009 perkantoran pemerintahan provinsi maupun kota nyaris menga­lami kerusakan total. Di antara alunan gerakan perkembangan tuntutan itu  21 sungai yang ada silih berganti langganan banjir di samping luapan kendaran di jalan raya yang nyaris tak terbendung.
Pembukaan pemukiman baru dan perpindahan penduduk ke bagian utara kota, seperti wilayah Koto Tangah, Kuranji, Pauh dan Lubuk Kilangan, juga terus bergerak. Bukan hanya dimotivasi isu tsunami tapi lebih karena perkembangan penduduk dan kebutuhan pemuki­man yang kian mendesak. Hebatnya, perkembangan inipun belum mampu diiringi perkembangan ruas jalan, pasar dan pembenahan lingkungan dan sebagainya.  Akibatnya, persoalan yang terjadi di wilayah lama belum ter­atasi, muncul lagi berbagai per­soalan di pemukiman baru. Pa­ling tidak kini, jalan by pass yang seh­arusnya sudah dibangun dua jalur ma­sih belum terlaksana sehingga ka­wa­san ini pun jadi sarang kema­cetan baru.
Di luar realitas itu, sejumlah agenda pembangunan jalan untuk mendukung perkembangan kota masih belum terealisasi. Misalnya, lanjutan Jalan Gajah Mada ke Berok Tunggul Hitam yang berperan menghindari kemacetan di Pasar Siteba. Jalan Khatib Sulaiman ke Tunggul Hitam terus ke Simpang Tabing Lubuk Minturun untuk mengurangi kepadatan Jalan Hamka yang menjadi muara tiga jalan (S.Parman, Khatib Sulaiamn dan Joni Anwar) .
Jalan pengembangan kota, yang sekaligus berperan jalur evakuasi, yang sudah disiapkan sejak zaman Walikota Hasan Basri Durin, juga belum disentuh. Antara lain sambu­ngan jalan Joni Anwar (simpang Tugu Tinju) lurus ke by pass. Jalan Gajah Mada (Gunung Pangilun) ke Kampung Kalawi, Jalan Adabiah ke Parak Salai menyebareng banjir kanal ke Polomas terus ke Sarang Gagak/Lubuk Lintah, Jalan Minahasa, Fakultas Kedokteran ke Andalas dan lain sebagainya. Untuk mengatasi banjir, dalam perencanaan juga sudah ditetapkan perlunya normalisasi batang Kuranji, Batang Air Dingin, sejumlah anak sungai di sekitar Air Pacah, Kuranji,  Belimbing dan sebagainya. Sejumlah drainase di kawasan kota lama bahkan sejak 1994 silam tak pernah lagi dikeruk.
Singkat kata, konsep dan rencana yang sudah ada belum terjangkau persoalan baru, baik akibat gempa bumi maupun akibat perkembangan penduduk dan kebutuhannya, terus bermunculan. Belum lagi tuntutan untuk merespon perkembangan provinsi, nasional maupun interna­sional. Misalnya angkutan umum dalam kota, antar kota dan antar provinsi yang hingga kini belum ada terminalnya. Padahal masa depan kota Padang bukan ditentukan Pelabuhan Teluk Bayur melainkan transportasi darat mengingat alur perdagangan kini dikendalikan Selat Melaka dan Lintas Sumatera.
Kondisi Pasar Raya, apalagi pascagempa 30 September 2009,  terlepas dari persoalan dan polemik yang terjadi, dilihat dari tuntutan kebutuhan masyarakat baik secara fisik maupun psikologis, pada hakikatnya memang menuntut adanya perbaikan dan pembenahan. Bayang­kan, sebelum gempa pun, jangankan pendatang dari daerah lain, warga kota sendiri enggan dan tak nyaman memasuki pasar itu. Dalam konidisi seperti itu, tentulah sulit mengha­rapan Pasar Raya menjadi sentra ekonomi.
Jangkan berharap Pasar Raya jadi objek wisata, pedagang sendiri sulit mengembangkan usahanya. Jadi, jangan heran jika warga kota Padang kini lebih suka rekreasi dan berbelan­ja Bukittinggi atau ke Pekanbaru. Ar­tinya, jika kondisi seperti diperta­han­kan, justru akan merugikan pe­dag­ang dan warga Kota Padang sendiri.
Keadaan ini, kecuali akibat gempa, tak terjadi sendirinya. Rencana perluasan kota, pemba­ngunan termi­nal, penambahan ruas jalan, norma­lisasi sungai dan pemba­ngunan drainase, angkutan massal, penam­bahan ruang sekolah/pergu­ruan tinggi dan rumah sakit sesung­guhnya sudah dicanangkan sejak 35 tahun silam zaman Walikota Hasan Basri Durin. Lalu, sebagian direa­lisasikan Walikota Sjahrul Udjud. Sayang, di tangan Walikota Zuiyen Rais, konsep dan peren­canaan yang sudah disiapkan penda­hulunya dicoba dibelokkan.
Selain membuat kota jadi am­bura­dul, apa yang dimulainya pun terbengkalai. Yang terbengkalai bukan hanya pembangunan fisik, tapi pembangunan SDM pemerintahan.  Maklum, sebagian besar staf poten­sial telah terdidik dan menguasai persoalan perkotaan dijauhkan dari Balaikota Padang.
Semua persoalan itu kini ter­akumulasi dan bermuara di tangan Walikota Padang Fauzi Bahar. Staf yang ada, agaknya lupa atau lalai mengingatkan betapa agenda dan konsep pembangunan kota tersebut. Akibatnya, ia hanya berkutat di sekitar Pasar Raya. Padahal jika kota ini akan dikembangkan ke bagian Utara, seharusnya mulai pemba­ngunan  Pasar Raya baru di kawasan utara itu.
Kini, di tengah-tengah meng­hadapi daftar panjang tuntutan pembangunan kota,  Padang setelah otonomi daerah harus memikul beban berat membayar gaji 15 ribu PNS. Biayanya setara 80% APBD kota. Hanya 20% APBD untuk belanja publik, pembangunan infra­s­truktur dan pelayan umum.
Kondisi ini sepatutnya mengusik perhatian semua pihak, baik jajaran Pemda dan DPRD Padang sendiri, Pemda dan DPRD Provinsi maupun para pengusaha, politisi, pengamat, kalangan akademisi/ perguruan tinggi dan sebagainya. Jangan biarkan benang tersangkut di selubang jarum karena masih banyak sobek yang perlu ditambal.

H. FACHRUL RASYID HF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar