Featured Video

Jumat, 09 September 2011

PELAJARAN DARI KASUS KORUPSI MUI SUMBAR



Vonis untuk mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Prof. H. Nasrun Haroen, kemarin sudah dipalukan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Padang. Guru besar IAIN Imam Bonjol itu diganjar dengan kurungan penjara selama satu tahun karena telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Ia dianggap telah terbukti melanggar Pasal 3 Ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kurungan tersebut dikurangi dengan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa selama menjalani pemeriksaan. Selain kurungan, Nasrun juga disuruh membayar denda sebanyak Rp50 juta, subsidair 4 bulan kurungan. Mengganti kerugian negara sebesar Rp13 juta dan membayar biaya perkara Rp1 ribu.
Dari amar putusan majelis ternyata yang jadi pertimbangan memberatkan terdakwa, selain perbuatan terdakwa me­ngakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap MUI Sumbar, majelis hakim menganggap sedikitpun terdakwa tidak menunjukkan rasa penyesalannya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum meminta kepada hakim supaya terdakwa dipenjara selama Rp4,5 tahun, dikurangi dengan masa tahanan yang telah dijalani selama pemeriksaan.
JPU juga menuntut terdakwa dipidana denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Mewajibkan terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp131 juta dengan subsider kurungan 2 tahun 3 bulan.
Kasus tersebut berawal sejak 2004 lalu. MUI Sumbar yang diketuai oleh terdakwa waktu itu, menerima dana bantuan dari Dispora Sumbar sebesar Rp500 juta. Dana tersebut diperuntukkan untuk pembinaan Dai Mentawai dan Ulama Sumbar.
Dari total dana sebanyak itu Nasrun hanya mampu mempertanggungjawabkan sebesar Rp28,4 juta saja yang meliputi biaya perjalanan dinas masing-masing sebesar Rp3 juta dan Rp2,4 juta, serta biaya belanja modal berupa pembelian AC sebesar Rp23 juta.
Terdakwa menyalahgunakan anggaran dan tidak sesuai dengan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bantuan tersebut tidak digunakan sesuai ketentuan, bahkan ada kegiatan yang semestinya diadakan tahun 2004 malah dilaksanakan tahun 2005.
Perkara ini sebenarnya perkara biasa saja. Tetapi karena yang jadi terdakwa adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, tentu menjadi tidak sederhana. Jabatan dan posisi yang ditempati terdakwa kadang menimbulkan rasa tidak percaya: “masak iya ketua MUI korupsi?”
Nah, itu dia. Publik tidak seluruhnya paham bahwa korupsi itu tidak hanya karena memperkaya diri sendiri, tetapi memperkaya orang lain dan menyalahgunakan wewenang juga termasuk korupsi.
Secara etimologis, Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dan dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption,dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujuryang disangkutpautkan dengan keuangan.
Dalam kamus hukum Henry Campbell Black, yang disebut dengan korupsi adalah: “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”
Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Sedangkan di Indonesia secara yurudis ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Dalam kasus Nasrun hendaknya kita jangan terjebak pada asumsi umum bahwa ‘tak mungkin Ketua MUI Korupsi’ melainkan mesti kita sadari bahwa persoalan tidak ter­pertanggungjawabkan oleh Nasrun uang negara yang mesti pertanggungjawabkannya adalah bagian dari resiko amanah yang diberikan kepadanya selaku Ketua MUI. Paling tidak, ini pelajaran untuk pengurus Ormas lain yang diberikan bantuan lewat APBD mesti hati-hati, jangan sepelekan per­tang­gungjawaban administrasi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar