Featured Video

Jumat, 09 September 2011

PEREMPUAN YANG HIDUP DENGAN BALIUANGNYA


Pagi itu dengan kukuh tangannya meng­genggam tangkai kampak, lebih tepat disebut baliuang. Urat-urat kecil terlihat di perge­langan tangannya. Bertanda ada tenaga yang dilepas. Tangkai baliuang yang telah licin terbuat dari ruyuang sampia, sepanjang sekitar 75 centi meter itu, seperti melekat di tapak tangannya pada tiap ayunan menghantam batang getah atau karet. Baliuang itu seolah telah menyatu dengan dirinya. Hidupnya bersandar pada ujung mata baliuang itu. Ia bak napas kehidupannya.
Nurmalis, perempuan 50 tahun, menyeka keringat di keningnya. Ia hela napas. Pada bagian tertentu, rambutnya telah memutih dimakan usia. Baliuang tajam masih tertancap di sebatang kayu. Pekerjaannya pengumpul kayu bakar. Dengan kayu bakar, ia mengalirkan detak-detak kehidupan keluarganya.

Sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu, ia sempat lemas dan bingung. Terbayang keras kehidupan dengan enam orang anak yang ditinggal ayahnya. Keluarganya hanya punya sepetak sawah yang tak demikian luas. Semua kebutuhan hidup digantungkan pada sawah itu. Tentu saja tak cukup. Setiap malam, Nurmalis merenung dan memohon pada Allah Sang Pencipta untuk menuntun hidupnya. Tapi optimistis masih bergerak di benaknya.
Dimana ada usaha, di situ ada jalan, memang mulai tampak. Perem­puan asal Korong Kuliek, Keca­matan Sungai Buluh, Kabupaten Padang Pariaman itu mencoba menjadi kuli harian di ladang dan sawah tetangga di kampungnya. Jalan mulai dirintis kendati masih berat bagi perempuan seusianya itu.
“Hasilnya lumayan. Saya menda­pat tiga puluh lima ribu sehari. Bekerja di ladang dan sawah me­mang berat. Menguras banyak tenaga,” kata Nurmalis saat bincang-bincang dengan Haluan di kam­pungnya, Kamis (8/9).
Pekerjaannya menyabit dan menyiang padi dari pukul delapan pagi hingga lima sore, begitu seterus­nya. Namun hal itu tak bisa terus-menerus dilakukannya. Jika musim panen habis, maka habis pula lah mata pencahariannya.
Namun perempuan yang pernah bekerja di Asuransi Jiwasraya ini tak kehabisan akal. Mencari dan membelah kayu bakar pun disang­gupinya. Pekerjaan itu tergolong berat. Ia harus mencari dan menggo­tong kayunya sendiri dari hutan. Lalu memotongnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Akhirnya, kayu yang telah dipo­tong-potong tersebut diikat. Satu ikat dihargai Rp5 ribu. Kayu tersebut dijualnya pada penduduk sekitar yang membutuhkan terutama untuk memasak jika ada perhelatan.
“Kayu itu sangat dibutuhkan saat ada orang baralek. Masakan yang menggunakan kayu bakar, rasanya sangat enak,” terang perem­puan ini yang tak pernah mengeluh pada nasibnya.
Suatu kali, mungkin saja karena sering keluar rimba mencari kayu dan nyamuk demikian banyaknya, ia pernah terkena penyakit ciku­ngunya. Tubuhnya merasa lelah. Tulang-tulangnya ngilu. Tak hanya dia, seluruh anak-anaknya pun terjangkit penyakit yang ditulari nyamuk ini.  “Dulu saya bisa memotong sampai dua puluh lima potong kayu, sekarang hanya lima belas saja rata-rata,” paparnya.
Selain kelelahan, tangan Nurmalis juga kerap melepuh karena harus mengayun kapak berkali-kali. Ukuran kapaknya pun cukup besar dan berat. Namun sakitnya itu dibiarkannya saja sampai sembuh dengan sendirinya.
“Tidak pernah saya obati. Dibiar­kan saja dia juga akan sembuh sendiri. Kalau sangat sakit saya berhenti dulu, lalu dilanjutkan lagi kalau sudah mendingan,” katanya sambil memperlihatkan jemari dan tapak tangannya yang telah menebal karena gesekan tangkai baliuang itu.
Sayang, kayu bakarnya ini tak selalu ada yang membeli. Orang-orang sudah mulai meninggalkan tradisi masak dengan kayu bakar. Sudah ada kompor minyak dan gas yang menggantikan.
Meski demikian, ia tetap mencari kayu dan terus memotongnya. Berha­rap akan ada yang tertarik membelinya. Semangatnya ini sema­ta-mata karena untuk enam anaknya. Tiga anaknya telah menamatkan pendi­dikan Sekolah Mengenah Atas (SMA) dan ikut suami mereka merantau. Sedangkan tiga anaknya yang lain masing-masing duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1, Sekolah dasar kelas 4 dan 2.
“Anak saya yang SMP punya cita-cita tinggi. Dia mau jadi dokter. Saya takut tidak bisa mewujudkan cita-cita itu padahal ia tergolong anak pintar di sekolahnya,” ujarnya sedikit murung.
Ia sangat berharap semua anak-anaknya bisa melanjutkan pendi­dikan ke Perguruan Tinggi.
“Saya memang orang susah, jadi saya tidak mau anak-anak saya ikut susah seperti saya. Mungkin dengan sekolah tinggi mereka bisa hidup lebih baik,” harapnya.(h/sonya winanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar