Featured Video

Minggu, 23 Oktober 2011

NATUNA, KABUPATEN TERKAYA DI KEPRI


Natuna adalah sebuah gugusan kepulauan di bagian paling utara Provinsi Kepri dengan total luas wilayah 141.901 km2 atau lebih tiga kali luas Provinsi Sumatera Barat. Tapi dari total luas kabu­paten tersebut, 138.666 km2 (97,6%) merupakan lautan dan hanya 3.232,2 km (2,4%) saja berupa daratan dari 271 pulau besar dan kecil di kawasan itu.
Pulau yang terbesar di Na­tuna adalah Pulau Bunguran. Pulau-pulau lainnya yang lebih kecil di antaranya Pulau Jemaja, Pulau Se­rasan, Pulau Midai,
Pulau Bintang dan Pulau Se­danau di bagian Sela­tan, serta Pulau Laut di Utara yang lebih dekat ke Vietnam daripada ke Ba­tam. Jadi, seperti Mentawai di Sum­bar, Natuna adalah nama gu­gusa kepulauan, bu­kan nama pulau ka­rena tidak ada pulau yang ber­nama Natuna di daerah ini. Sejarah Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kabupaten Kepu­lauan Riau yang pada awal kemerdekaan dulu merupakan bagian Pro­vinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, tanggal 18 Mei 1956, yang menggabungkan Kepulauan Riau ke dalam Wilayah Republik Indonesia, Kepulauan Riau diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang dikepalai Bupati sebagai kepala daerah yang membawahi 4 kewedanaan. Salah satu kewedanaan itu bernama Kewedanaan Pulau Tujuh yang tak lain adalah wilayah Kabupaten Natuna sekarang, meliputi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kabupaten Natuna sendiri baru berumur 12 tahun, diben­tuk berdasarkan Undang-Un­dang No. 53 Tahun 1999, seba­gai hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri). Awal­nya Kabupaten Natuna terdiri dari 6 kecamatan, setelah dua kali pemekaran, kini terdiri dari 12 kecamatan. Jumlah pendu­duknya menurut Sensus 2010 sekitar 69.000 jiwa.
Meskipun baru berumur setahun jagung, namun Kabu­paten Natuna kini tercatat se­bagai kabupaten terkaya di Provinsi Kepulauan Riau, bah­kan salah satu yang terkaya di Indonesia. Kekayaan ter­besar­nya adalah minyak dan gas. Ka­re­na itu, dana bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) menjadi tulang punggung APBD Kabupaten Natuna. Dari Rp 1,15 triliun total nilai APBD tahun 2011, lebih 90 persen berasal dari dana bagi hasil migas, antara lain dari produksi migas di cekungan (blok) Na­tu­na Barat dengan Kontraktor Kon­trak Kerja Sama (KKKS) Co­noco Phillips, Star Energy, Pre­mier Oil, TAC Pertamina PT PAN.
Dewasa ini juga sedang dalam persiapan pengelolaan migas di Blok Natuna Timur, yang bila sudah dilakukan dipastikan akan membuat APBD Natuna makin meroket. Menurut perkiraan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Ka­bu­paten Natuna, Basri, bila Blok Natuna Timur sudah berpro­duksi, tambahan bagi hasil migas tersebut akan membuat APBD Natuna akan membeng­kak menjadi sekitar Rp2 triliun per tahun (setara APBD Provinsi Sumbar sekarang).
Perhitungan itu didasarkan atas besarnya cadangan gas bumi di Blok Natuna Timur. Menurut Basri, cadangan gas bumi bersih di blok tersebut besarnya mencapai 46 triliun kaki kubik atau trillion cubic feet (TCF). Volume tersebut hampir mencapai sepertiga total cadangan gas bumi di Indonesia yang sebesar 157 TCF sekaligus cadangan terbesar se-Asia-Pasifik.
Kaya dengan sumber daya alam (SDA), namun Natuna masih miskin sumber daya manusia (SDM). Ini diakui sen­diri oleh Bupati Ilyas Sabli. “Natuna masih ketinggalan di bidang SDM, rata-rata pen­didikan masyarakat kami masih rendah,” katanya. Selain itu, angka kemiskinan penduduk pun masih tinggi, mencapai 30 persen dari jumlah penduduk. Sebagian besar perekonomian penduduk Natuna ditopang oleh nelayan dan perkebunan kelapa serta cengkeh. Namun kegiatan perekonomian daerah sangat bergantung kepada APBD atau proyek pemerintah.
Kondisi nyata Natuna mung­kin bisa kita potret dari keadaan Ranai, ibukota kabu­paten. Keadaannya masih jauh di bawah kondisi ibu keca­matan di Sumatera Barat, misal­nya. Tidak banyak ditemukan bangunan-bangunan bagus milik masyarakat. Insfrastruktur juga masih minim. Bangunan termegah di Ranai adalah Mas­jid Agung Natuna yang diba­ngun sejak tahun 2007 dan diresmikan bulan April 2009, menelan biaya Rp400 miliar. Masjid yang terletak tak jauh dari Pantai Kencana itu kini menjadi maskot dan kebang­gaan masyarakat Ranai khusus­nya dan Natuna umumnya.
Perhubungan dengan dae­rah luar juga masih minim. Untuk mencapai Ranai ada beberapa jalur dan moda trans­portasi dari luar. Lewat jalur udara dari Batam, lima kali sepekan dilayani maskapai Lion/Wing serta Sky meng­gunakan pesawat berbaling-baling dengan waktu tempuh 1,5 jam. Transportasi kapal laut tersedia dari Batam dan Tan­jung Pinang, sekali sepekan, dengan waktu sempuh 24 sam­pai 48 jam, tergantung kapal­nya. Sementara kalau dari Pon­tianak, Kalbar, Natuna bisa ditempuh dalam tempo sepa­ruh itu, karena lebih dekat.
Meskipun merupakan ba­gian dari Provinsi Kepri, namun letak geografis orientasi eko­nomi dan sosial masyarakat Natuna lebih dekat ke Kaliman­tan Barat. Karena itu, putra-putri Natuna yang telah mena­matkan SMA, banyak yang melanjutkan ke perguruan ting­gi di Pontianak. Maka tak heran, bila kita baca riwayat hidup Bupati Ilyas Sabli dan wakilnya Imalko, keduanya adalah alumni Universitas Tan­jung Pura, Pontianak. (h/hc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar