Featured Video

Senin, 05 Desember 2011

SI PENJUAL SAPU LIDI INGIN JADI DOKTER- Sumbar


Ditulis oleh Teguh
“Sapu Pak. Buk-buk bali sapu Buk. Ciek limo ribu.” Kalimat itu seperti diteriakkan di perlintasan lampu pengatur lalu lintas di Padang Baru, Padang. Jejeran kendaraan yang berhenti diperlintasan lampu tersebut seperti menghalangi sumber suara itu berasal.

Saat lampu cahaya merah itu berganti hijau, barulah terlihat sosok remaja usia belasan tahun dari sela-sela kendaraan yang mulai bergerak, hendak melaju menuju tujuannya.
Remaja itu menepi untuk semen­tara waktu. Jika perlintasan Jalan Raya Padang Baru, dari arah Pasar Raya menuju Jalan Khatib Sulaiman tersebut kembali menunjukkan warna merah, ia akan melangkahkan kakinya lagi ke tengah jalan, sembari menawarkan sapu lidi kepada pengguna jalan. Begitu berulang-ulang ia lakukan.
Nama anak Riko. Remaja kelas I SMK Karya Pariaman. Memang jauh ia berjualan sapu lidi. Dari Kota Pariaman ke Padang.
Itu ia lakukan semata untuk mewujudkan impian dan cita-citanya. Ia rela menempuh puluhan kilo meter. Menjajakan sapu lidi, yang ia bawa dari kampungnya di Kurai Taji, Padang Pariman untuk dijual di pelintasan lampu lalu lintas di Padang.
Ia sadar, pekerjaan ayahnya yang hanya seorang nelayan, tidak terlalu bisa diharapkan demi menopang pendidikannya. Sementara, ia sangat berkeinginan melanjutkan pendidi­kan pada jenjang yang lebih tinggi nantinya.
Berangkat dari hal tersebut, Riko sadar, demi mengapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Ia pasti akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Ia bertekad menabung sebaha­gian pendapatan yang ia dapat dari berjualan sapu lidi.
Baginya, profesi seorang dokter sangatlah istimewa. Tanpa menge­nyampingkan takdir dari yang Maha Kuasa, tidak jarang, seseorang dokter dapat memberikan kontribusi bagi keselamatan bayak orang.
Semangatnya yang kuat terlihat dari nadanya berbicara, walaupun ketika itu sudah larut malam. Menurut  pengakuan Riko, ia kemari tidak sendiri. Ada sekitar lima orang bocah seusianya yang ikut bersa­manya. Dalam rombongan itu, Riko yang paling tua. Bocah-bocah tersebut berada di bawah pengawasannya.
“Saya berangkat dari kampung menuju Kota Padang empat sore. Biasanya sampai di Kota Padang jam limaan. Ada sepuluh sapu lidi yang saya bawa. Bisanya dalam perjalanan dikenakan ongkos tiga ribu ke Kota Padang,” katanya dalam bincang-bincang kapada Haluan pekan lalu.
Riko menyadari, berjualan di lokasi yang berjauhan memang melelahkan. Di satu sisi, ia harus tetap sekolah di kampungnya di SMK Karya Pariaman, sementara untuk menam­bah biaya keperluan sekolah, ia harus berjulan sapu lidi di Kota Padang.
“Sapu lidi saya beli dengan harga tiga ribu rupiah. Dijual dengan harga lima ribu rupiah. Alhamdulillah, jika terjual habis bisa dapat untung tiga puluh ribu rupiah. Rata untung dua puluh ribu rupiah, karena tidak selalu terjual semuanya,” ungkap Riko.
Menurutnya, rata-rata setiap harinya terjual lima sapu lidi. Konsumennya beragam, dari pengen­dara roda dua hingga roda empat.
“Kalau rezeki bagus bisa terjual sepuluh ikat sapu lidi. Tetapi bisanya lima ikat sapu lidi per harinya,” terang Riko.
Di sela-sela wajahnya yang penuh harap pada pengedara yang akan beli sapu lidinya, sesekali terlihat ia terlihat melamun, kadang terkantuk-kantuk.
“Kami berjulan hingga pukul sebelas malam. Jika lampu merah sudah mati, maka habis pulalah kesempatan kami berjualan,” terangnya.
Kadang, untuk beristirahat, Riko bersempit-sempit dengan teman-temannya di Pos Pengamanan Pelkom Padang Baru, yang tidak berukuran terlalu besar hingga pukul 04:30 WIB. Jika cuaca tidak bersahabat ia harus menahan dinginnya udara malam nan menusuk tulang.
Sehabis Subuh, barulah Riko dan rombongannya pulang ke Pariaman. Pukul 07:30 WIB ia sudah masuk sekolah. Tidak jarang ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencari kendaraan yang berangkat pagi itu ke Kota Pariaman.
Seperti itulah aktivitas Riko, berkejar-kejaran dengan waktu. Sepulang sekolah ia kembali harus bersiap mengepak-mengepak sapu lidinya untuk dijual lagi ke Kota Padang.
Malam beranjak larut, mobil yang hilir mudikpun hanya terlihat sesekali melintas. Pertanda Riko dan teman-temannya pun harus beris­tirahat sejenak hingga subuh esok. Kemudian ia harus pulang ke kampung untuk melanjutkan hari-harinya di sekolah, dan kembali lagi ke kota Padang untuk berjualan sapu. Ia lakukan setiap hari. (Laporan Rahmat Hidayat)Haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar