Featured Video

Sabtu, 07 Januari 2012

KETELEDORAN MEMBAWA DUKA-Sumbar


SEBUAH truk, yang terindikasi tak layak jalan, ditangkap pe­tugas yang sedang berpatroli. Tetapi se­te­lah dikenakan “den­da” dalam be­saran tertentu, dile­pas. Malang tak bisa ditolak, terjadi kecelakaan akibat rem blong. Kendaraan yang tak memenuhi syarat itu menyelonong ke mana-mana, menewaskan dan menciderai para pejalan kaki serta penumpang kendaraan lain yang tertabrak, atau terjun masuk jurang.

Demikianlah. Dan tabrakan yang terjadi di Kelok S, Panorama II, kilometer 24 Padang-Solok, antara truk tanki CPO dan Toyota Avanza (Kamis, 5/1), betul-betul mere­nyuhkan. Tiga dari tujuh penumpang Avanza, PNS pada Dispertahor-nakbun Pesisir Selatan, tewas, sedang yang lainnya, termasuk sopir truk, kritis dan luka parah.
Lantas orang-orang pun bersi­lang pendapat. Ada yang menye­salkan pengguna jasa truk yang memaksakan diri memakai ken­daraan itu. Yang lain mengatakan bahwa otak sopir pun perlu dikir. Yang satunya lagi justru menuding pemilik kendaraan serta petugas kir yang memberi izin pengoperasian truk. Namun yang paling disalahkan adalah para petugas di Jembatan Timbang Oto (JTO) dan, tentu saja yang di jalan raya seperti Polisi Lalulintas (Polantas) dan  Patroli Jalan Raya (PJR).
Para petugas dibilang tidak tegas dan mengabaikan peraturan serta disiplin demi uang. Bisa dimaklumi! Sebagian besar petugas alias aparat pemerintah di lembaga atau instansi mana pun di negeri ini, sangatlah brengsek. Di negeri ini pungutan liar (pungli) berkem­bang-biak dan merambah ke pel­bagai sektor kehidupan. Pungli yang marak di jalan raya konon menye­babkan harga barang di pasar(an) harus didongkrak guna menutupi ketekoran biaya trans­portasi. Ke­cuali itu, masalahnya juga berdam­pak pada kenyamanan dan kese­la­matan masyarakat pengguna jalan.
Aparat pemerintah, yang ber­dasarkan sumpah jabatan seha­rusnya mengabdi kepada negara dan mengayomi masyarakat seka­rang menjelma menjadi makhluk yang mendebarkan jantung sopir dan pengusaha. Merebak isu, oknum-oknum yang melakukan pungutan liar (pungli) tidak makan sendiri. Artinya, mereka punya jaringan atau menyetorkan sebagian penghasi­lannya ke atas(an) dan, boleh jadi pula ke berbagai pihak yang tersang­kutpaut dengan bidang tugasnya.
Meski begitu bisakah para petugas dicap sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab dalam hal kecelakaan seperti tergambar di atas? Jelas tidak! Karena masing-masing komponen punya kelemahan dan menyandang dosa sendiri-sendiri. Tiada sadar, semua pihak seolah bersekongkol mengundang datangnya sebuah bencana. Dengan kata lain, kecelakaan yang terjadi di jalan raya bisa dikatakan sebagai produk masyarakat yang teledor, yang cenderung berkilah mencari kambing hitam.
Penumpang teledor, karena memakai truk yang sudah tak layak jalan. Sopir teledor, karena truk seperti itu masih di bawa ke mana-mana. Pemilik kendaraan teledor, karena paham bahwa mengoperasikan armada yang tak memenuhi syarat sangatlah berba­haya. Petugas teledor, karena keculasan sopir dan atau pemilik kendaraan bermotor dikom­pensa­sikan dengan sejumlah uang.
Penumpang berkilah ingin cepat sampai ke tujuan. Sopir berasalan mengejar setoran dan juga uang untuk membayar pungli di jalanan. Pemilik kendaraan berdalih beru­saha melayani trayek dan penum­p­ang. Petugas membela diri, mung­kin, supaya penumpang mau­pun kendaraan tak terkendala diambil cara-cara yang praktis lagi efektif sehingga, segala sesuatu yang seharusnya diselesaikan di penga­dilan disudahi di tempat dan, tentu saja dengan “uang pengertian” yang dinamakan pungli.
Berbagai alasan bisa dikarang. Berbagai tuduhan pun bisa direka­yasa. Yang jelas, kalau kita memang ingin baik alias selamat, semuanya harus bicara dengan hati nurani. Introspeksi, agar segala sesuatunya kembali berjalan di relnya.
Dengan demikian sopir tidak mau lagi melebih-lebihkan muatan atau mengangkut truk yang tak layak jalan sehingga tidak perlu takut ditangkap polisi. Penumpang tidak mau lagi menaiki truk seperti itu sehingga bisa nyaman-tenteram di truk lain yang lebih sehat. Pengusaha angkutan bermotor selalu memeriksakan kelayakan kendaraannya sehingga kemung­kinan mengalami kerugian lebih besar tersebab kecelakaan bisa terminimalisasi. Segenap petugas di tempat kir, di JTO maupun yang di jalan raya seperti PJR atau Polantas, seyogianya pula merubah sikap-mentalnya, menjadi abdi negara teladan yang tidak tergoda oleh uang pungli yang hanya bebe­rapa ribu rupiah.
Singkat kata, itulah harga mati yang tak dapat ditawar kalau kita memang menghendaki ketertiban dan keselamatan di jalan raya.

NELSON ALWI(haluan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar