Featured Video

Jumat, 10 Februari 2012

FUNGSI MASJID DAN MASYARAKAT MODERN


Sesungguhnya orang-orang yang mela­buh­kan cintanya kepada Allah di masjid ada­lah orang-orang yang be­ri­­­man kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mene­gakkan shalat, menunaikan zakat, dan ia tidak pernah diselimuti rasa takut kepada siapapun dan di manapun—kecuali kepada Allah. Mereka itulah orang-orang berhasil menjuluk dan mendapatkan petun­juk (QS. At-Taubah ayat 18).

Kini, kita sudah memasuki abad ke-21. Sebuah abad yang ditenggarai oleh para pakar penuh tantangan baik internal maupun eksternal. Selain itu, abad ke-21 juga sarat dengan berbagai ciri. Selaku umat Islam, hendaknya ciri yang mencuat ke permukaan itu dapat kita koreksi dan kita luruskan. Dengan ungkapan lain, kita upayakan agar ciri- ciri masyarakat moderen yang negatif dapat kita ubah menjadi ciri masyarakat moderen yang ideal serta bertumpu pada nilai dan ajaran Alquran dan Sunnah Rasul. Nabi bersabda: “Aku tinggalkan untukmu dua pusaka. Jika kamu berpegang teguh pada yang dua itu, kamu tidak akan tergelincir ke jurang kesesatan selama-lamanya” (HR. Bukhari- Muslim ).
Beberapa ciri masyarakat mo­deren yang perlu kita sikapi antara lain: Pertama, sebagian kita kadang terjerembab pada pola hidup mad­diyah atau materialistis, hedonis dan pragmatis. Indikasinya, betapa segelintir anak manusia mengukur segala sesuatu, bahkan seluruh denyut kehidupannya dengan hal-hal yang bersifat material/bendawi. Sehingga mengapunglah istilah: time is money (waktu itu adalah uang). Kalau di kantor muncul pula istilah jabatan kering dan jabatan basah, dan atau jabatan mata air dan jabatan air mata. Kalau mencari minantu atau pendamping hidup, orang kini cenderung menilai dari penampilan lahiriah bahkan berapa gaji atau pendapatannya tiap bulan. Padahal Nabi Muhammad SAW juga bersabda: Nikahi (carilah pendamping hidup itu) dengan empat kriteria: boleh karena har­tanya (wa limaliha), boleh karena kecantikan/kegagahannya (wa lija­maliha), dan boleh karena ketu­runannya (wa linasabiha), dan yang lebih penting karena agamanya (wa lidiniha). Utamakanlah agamanya, niscaya kamu akan beruntung (Hadits shahih lagi mutawatir).
Kedua, betapa sekarang seba­gian cucu Adam terperangkap dengan pola hidup individualistis. Ke­hidupan kolektif, rasa keber­samaan, rasa kekeluargaan dan semangat gotong-royong (ega­litarianisme) sepertinya kian memudar dan kian sirna, dan diganti dengan cara hidup nafsi-nafsi. Silaturrahmi dan rasa sena­sip-sepenaggungan antar sesama semakin kering. Ironisnya, hal demikian tidak hanya meruyak di kota-kota metropolitan. Tapi bela­kangan juga menjalar dan menye­lusup hingga ke desa-desa, nagari dan dusun.
Ketiga, belakangan muncul pula ke permukaan semacam relativisasi norma agama, norma moral, dan norma etika. Kadang—baik-buruk, halal-haram, hak dan batil tidak lagi dipegangi lewat patokan-patokan agama, tetapi disigi bahkan dilegitimasi dengan konteks situa­sional. Situasi harus tunduk kepada konteks. Sehingga kadang dalam suatu hari di daerah tertentu dianggap tabu, pada hari dan konteks masyarakat lain kebijakan atau gejala tabu bisa juga berubah-sontak.
Misalnya belakangan ini menga­pung ke permukaan satu teori moral yang amat sangat nista, rendah, hina, menjijikkan, dan tidak manusiawi. Apa pula itu? Teori Segelas Air Minum (A Glass of Water Theory). Teori ini menye­butkan bahwa kebutuhan biologis/seksual pada manusia dipandang sebagai kebutuhan terhadap segelas air di kala haus. Katanya, kapan dan di mana saja, kalau memang perlu, mengapa tidak. Jelas, relativisasi dari masyarakat mo­deren ini dampaknya amat sangat luar biasa.
Akibat yang menyembul ke permukaan—yang namanya kumpul kebo, gonta-ganti pasangan, berselingkuh—eufemisme dari bahasa Al quran, yaitu zina, kian berkecambah di mana-mana! Dan, yang membuat banyak orang ter­henyak, zina baik yang berkategori khafi (ringan) maupun yang ter­masuk zina jali (zina berat/sebenar-benar zina)—tidak saja meruyak di kota-kota besar, tapi menjalar sampai ke desa/nagari. Na’udzubillahi min dzalik!
Amma ba’d! Agar kita tidak terjebak ke dalam kawah mate­rialisme, individualisme, hedonisme dan relativisasi nilai dan ajaran agama. Maka, satu-satunya jalan atau wasilah yang mesti ditempuh adalah kembali pada pangkuan Dinul Islam secara universal (kaffah). Caranya? Menggantungkan hati di masjid merupakan salah satu kaifiat yang amat jitu. Sebab, akrab dengan mesjid selain mendatangkan ketenangan bathiniyah, ia sekaligus merupakan wahana untuk mening­katkan wawasan ke-islaman. Ma­kanya, di zaman Nabi, masjid tidak hanya sebagai tempat sujud. Lebih dari itu, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan segala denyut nadi kehidupan—meliputi: hal-ihwal sosial, politik, ekonomi, budaya dan peradaban anak manu­sia. Bahkan taktik dan strategi perang—dalam kerangka jihad fi sabilillah (menegakkan agama Allah), dianyam oleh Nabi Mu­hammad SAW di masjid!
Oleh sebab itu, selaku orang muslim, kita mesti haqqul yakin bahwa yang bisa menyelamatkan kita hanyalah masjid. Sebab, masjid itu sangat luar biasa fungsinya dalam membangun pradaban se­buah masyarakat. Masjid se­sunggunya suatu tempat  yang betul-betul memberikan pendidikan pribadi meliputi: pendidikan politik, pendidikan moral, pendidikan budaya, pendidikan karakter—yang sangat aktual belakangan ini, dan bahkan pendidikan ekonomi (makro dan mikro).
Orang boleh menggelar pena­taran, pendidikan dan latihan atau apapun terminologinya sampai uban bertabur di kulit kepala, tapi bila tidak dihubungkan dengan Allah SWT, itu pasti gagal dan kandas di tengah jalan. Kalau sekadar penataran, diklat dan sejenisnya tanpa dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spritual dan transe­nental, maka penataran itu, adanya sama saja dengan tidak ada (wujuduhu ka amidihi). Ingat! Penataran P4 (Pedoman Peng­hayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa mendiang Orde Baru tiga belas tahun yang lalu. Semakin ditatar, semakin  berselera membenamkan diri pada lumpur-lumpur kezaliman dan kesewenang-wenangan. Wallhu a’lam bish-shawab.

H.MARJOHAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar