Featured Video

Senin, 05 Maret 2012

Gerindra: Subsidi BBM Momok Menakutkan?


Fraksi Gerindra mempertanyakan arah kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan dana pada APBN. Karena belanja birokrasi kian tahun kian menggendut, sedangkan anggaran buat subsidi BBM relatif kecil.


Menurut keterangan Wakil Ketua Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani, belanja birokrasi semakin tahun semakin membengkak. Bahkan kurun 7 tahun (2005-2012) terjadi kenaikkan hingga 400 persen, yakni dari R p187 triliun (2005) menjadi Rp 733 triliun (2012). 

"Sebuah angka yang sangat fantastis dan mencengangkan dan tidak pernah dipublikasikan ke rakyat," sebutnya, di Kompleks DPR, Jakarta, Senin (5/3/2012).

Dilanjutkannya, menjadi kian tercegang jika ditilik jumlah aparat birokrasi hanya 4,6 juta aparat. Artinya, tiap satu orang aparat birokrasi mendapatkan porsi belanja APBN lebih Rp150 juta per tahun.

"Bandingkan dengan nilai subsidi BBM dari 2005 hingga 2012 hanya naik 29 persen saja. 2005 alokasi subsidi BBM sebesar Rp95,6 triliun, naik menjadi Rp123,6 triliun di 2012," ungkapnya.

Ditegaskannya, terjadi ketimpangan atau kesenjangan nilai antara belanja birokrasi dengan subsidi BBM. "Nilai subsidi BBM tidak seberapa dibandingkan belanja birokrasi. Hanya 1/6 dari total belanja birokrasi 2012," ujarnya.

Lebih lanjut seperti diketahui, pemerintah mencuatkan dua opsi, yakni kenaikkan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter dan mematok besaran subsidi yang dibayarkan pemerintah hanya Rp2 ribu per liter.

Melihat kondisi timpangnya alokasi anggaran pada dua pos tersebut, ia menanyakan adilkah jika subsidi BBM yang dirasakan ratusan juta penduduk dan nilainya tidak terlalu besar dikurangi atau dicabut. Sementara belanja birokrasi terus membuncit? 

"Apakah subsidi BBM ini memang satu-satunya momok menakutkan yang harus diamputasi agar APBN sehat? Tidakkah penghematan belanja birokrasi juga akan berdampak signifikan. Apalagi dengan memperhatikan daya serap anggaran dari birokrasi yang hanya mencapai rata-rata 94 persen saja," serunya.

Penulis: Srihandriatmo Malau  |  Editor: Johnson Simanjuntakhttp://www.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar