Featured Video

Kamis, 15 Maret 2012

PENGAJARAN KEWIRAUSAHAAN DAN PROBLEMNYA


Mengajarkan kewirausahaan menyiapkan pe­serta didik untuk memilih menjadi self employed, bukan utamanya menjadi pekerja dengan upa­han dengan orang lain atau perusahaan, (El­findri, 2011)

Akhir akhir ini timbul kesadaran akan kenyataan bahwa pengangguran sarjana semakin meningkat. Jika pengangguran terbuka pada kisaran 7,5 persen pada tahun 2011, angka pengangguran sarjana ditemukan pada ki­saran 5-40 persen, dan pe­ngang­guran untuk bidang-bidang tertentu bahkan sudah lebih tinggi dan mengkha­watirkan. Oleh karenanya mesti dilakukan cara untuk mengatasi hal ini.
Tingginya pengangguran sarjana disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja formal, dan fresh graduates tidak siap untuk bekerja secara mandiri. Pengalaman negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura, me­nun­jukkan jumlah mereka yang mampu bekerja sebagai self employed adalah sekitar 2,5-5 persen dari total ang­katan kerja. Sementara data nasional menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki para entrepreneur sekitar 0,7 per­sen dari total angkatan kerja.
Dari sisi pengembangan di perguruan tinggi, konvensi synergy-Bussiness-Intelectual-Government (BIG) telah pula disambut mentri pendidikan nasional, sebagai sebuah strategi gerakan untuk me­lahirkan wirausahawan ter­didik. Dengan membentuk satuan tugas di tingkat direk­torat pendidikan tinggi. Ditar­getkan setiap tahun akan melahirkan sebanyak 500.000 wirausahawan baru sampai tahun 2014, dan sebanyak 5 juta orang sampai tahun 2025.
Mengingat kenyataan de­mi­kian, maka proses pen­didikan dan hidup generasi yang akan datang mesti men­dorong agar mampu menjadi wirausahawan. Persoalannya adalah dimana proses yang menyebabkan mereka menjadi wirasuahawan? Lebih khusus pada pendidikan pendidikan tinggi?
Unand akan besar se­kiranya mampu menghasilkan kekhasan, dimana para alum­ninya semakin kuat dan sanggup menjadi wira­usa­hawan yang baik, selepas melalui proses pendidikan. Pertanyaannya adalah dimensi mana pendidikan wirausaha itu? Bagaimana menghasilkan value wirausaha dalam system pendidikan yang ada di pen­didikan tinggi, dan bagaimana strategi dan metoda pem­belajaran di Unand untuk menghasilkan wirasuahwan yang diinginkan? Tulisan singkat ini berbagi dan menge­mukakan gagasan.
Dimana Dimensi “Ranah” Wirausaha?
Kewirausahaan dari sisi pedagogi masuk ke seluruh ranah, kognitif, psikomotorik, soft skills dan karakter (El­findri, Lilik Hendrajaya dan Henmaidi, 2011).
Kita mengenal ada be­berapa hak dan keperluan manusia agar bisa bertahan. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena pendidikan akan menghasilkan banyak man­faat di kemudian hari. Dari berbagai dimensi pendidikan yang diperoleh manusia, maka beberapa unsur mesti lengkap diperoleh, diantaranya adalah pemenuhan aspek kognitif, aspek psikomotorik (ke­teram­pilan), dan aspek soft skills. Kognitif dan psikomotorik adalah masuk ke dalam di­mensi hard skills. Sementara dimensi soft skills adalah aspek-aspek perangkat lunak yang dimiliki oleh manusia yang dapat menghasilkan kebermanfaatan dari kognitif dan soft skills tadi.
Jiwa wirasuaha adalah bagian dari aspek soft skills, disamping dari kemampuan komunikasi, teamwork, ker­jakeras, integritas, risk taker, serta beberapa aspek penun­jang lainnya. Oleh karenanya dimensi kewirausahaan akan semkin lengkap ketika unsur unsur soft skills lainnya juga diperoleh secara baik, baik yang turun secara genetis, maupun yang dipelajari dari pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan.
Pendidikan bisnis berbeda dengan pendidikan wirausaha. Menurut Blawatt (1998) di­kutip oleh Buang dan Murni (2006) bahwa peranan pen­didikan bisnis bertujuan supaya pelajar dapat me­mahami prinsip bisnis, ka­edah dan teknik untuk mengo­perasikan perusahaan, belajar melalui pengalaman orang lain dalam bidang bisnis dan menggabungkan prinsip, ka­edah dan pengetahuan bisnis untuk diaplikasikan dalam pengelolaan perusahaan. Se­hingga pengajaran bisnis akan melahirkan kemahiran yang dapat digunakan oleh majikan.
Sementara pendidikan kewirausahaan menurut Bla­watt (1998) mempunyai tujuan yang lebih luas dan menye­luruh yang meliputi orientasi pendidikan bisnis dan ga­bungan pembangunan orientasi diri menjadi wirausaha.. Pendidikan wirausaha ter­fokus kepada pencarian peluang bisnis, kreatif dan produktif. Sehingga tidak salah kita menyimpulkan penyiapan pendidikan kewirausahaan adalah membentuk watak dan karakter, ini dihasilkan tidak saja dalam pengajaran, tetapi dalam proses learning, aplikasi dan berulang ulang dikerjakan sehingga suatu saat menjadi suatu dimensi karakter.
Pertanyaannya adalah apa beda wirausaha dengan ka­rakter? Jika wirausaha masih dalam domain otak kanan, sesuatu sifat yang tumbuh dari proses pendidikan, se­mentara karakter ke­wira­usahaan adalah pembiasaan yang tumbuh dari proses yang berulang ulang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari proses pendidikan, proses pemahaman hidup, peng­lihatan, pendengaran, wisdom, dan “jam terbang”. Oleh ka­renanya, sekiranya kita hanya menganggap kewirausahaan adalah hanya sebagai dimensi kognitif, maka dia hanya diajarkan di dalam kelas, untuk mengetahui tentang perkembangan teori, per­kembangan metodologi dan contoh contoh. Untuk yang bersikap dimana wirausaha hanya dalam bentuk kognitif, maka tambahan pengajaran hanyalah untuk menambah wawasan dari peserta didik. Inilah yang banyak diprak­tekan dalam pembelajaran kewirausahaan selama ini.
Tambahan wawasan ke­wirausahaan juga bisa di­peroleh dari mendengar se­ringkali dan bertukar pikiran dari mereka mereka yang pernah menjadi sukses  dalam berwirausaha. Dalam konteks ini, kembali, hasil yang di­peroleh adalah masih dalam konsep pemahaman, dan  saat bersamaan tumbuhnya soft skills.
Oleh karenanya, dimensi manakah kewirausahaan yang diperlukan pada masa yang akan datang. Maka dimensi dimana jiwa wirausaha yang sudah terbiasa dan dalam pembiasaan pola dan tingkah laku dalam bekerja. Sehingga dengan tertanamnya inter­nalisasi ini menjadikan sikap dan perilaku orang akan semaki mandiri. Kelak, ketika bekerja sebagai pekerja in­dividu, maka mereka akan menjadi wi­rausahawan ekonomi.
Jika kelompok ini menge­lola bidang social akan me­lahirkan apa yang kita dengan sebagai social enter­pre­uner­ships. Demikian  juga ketika bekerja sebagai karyawan atau pegawai negeri, maka pekerjaan sebagai buruh dan pegawai negeri, menjadi en­terpreuner pegawai negeri. Oleh karenanya, wirausaha lebih kepada pembiasaan, sehingga sangat penting menginter­nalisasinya ke dalam system pembelajaran.
Hanya sedikit dari dosen yang pernah merasakan dan menjadi wirausaha, temuan yang sama dilakukan oleh Buang dan Murni (2006:185) bahwa banyak yang menga­jarkan kewirausahaan adalah pengajaran bisnis baik di sekolah menengah kejuruan maupun di perguruan tinggi. Pada kasus seperti ini diduga pembelajaran wirausaha ter­jebak dengan ‘sindrom kog­nitif’. Dimana cara pandang bahwa mengajarkan ke­wira­usahaan hanya menganggap sebagai bahan ajar kewira­usahaan untuk diketahui. Sehingga sasaran pem­be­lajaran­nya hanyalah untuk peningkatan aspek kognitif.
Proses berikutnya telah pula dilakukan berbagai bentuk pembelajaran dimana menonjolnya pendidikan ka­rakter ‘charakter education”. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, telah pula di­lak­sanakan kuliah umum ke­wirausahaan. Setidaknya sekitar 50 kali pertemuan antara para wirausahawan sukses dalam bentuk seminar atau kuliah umum yang di­hadiri oleh mahasiswa dan dosen. Proses ini cukup ber­jalan dengan waktu yang cukup terbatas. Proses per­temuan berupa tatap muka dalam kelas, dan tanya jawab. Sehingga unsur kognitif ke­wirausahaan juga lebih me­nonjol, namun juga sering menimbulkan berbagai aspek yang menyebabkan “inspiring” dan “trigerring” agar peserta terinspirasi, Sekali lagi, usaha ini bermanfaat, namun jelas masih pada taraf kognitif.
Bentuk lain yang di­kem­bangkan adalah tersedianya dana “kompetisi” untuk be­berapa orang dosen yang aktif dalam membina anak didik peserta program menum­buhkan kewirausahaan ini. Dari pelaksanaan dua tahun anggaran terakhir, 2008-2009, memperlihatkan bahwa proses dan desain pendidikan kewira­usahaan dilakukan dengan persiapan yang terbatas, baik dari pembimbing dan ma­hasiswa yang ikut.
Evaluasi implementasi di Kopertis Wilayah X, mem­perlihatkan program ke­wira­usahaan mahasiswa juga menga­lami kendala yang besar, diperkirakan hanya 40 persen dari pembentukan kelompok yang menujukkan keberhasilan, dalam dimensi establish usaha dan per­kembangan.
Sementara sisa kelompok usaha yang dikembangkan mengalami mati suri. Mati surinya inisiasi usaha ma­hasiswa melalui skim ke­giatan ini disebabkan karena  dua hal. Pertama kurangnya peranan pendamping dari dosen, karena dosen yang aktif sangat terbatas pengalaman kerjanya dalam menjalankan “business”. Selain dari sisi mahasiswa kegagalan te­rutama karena kesalahan dalam memilih usaha, ke­tekunan yang terbatas, ter­masuk ‘kekurangjujuran.
Menyadari hal ini Unand Entrepreunership Center (UEC) juga dbentuk wadahnya. Tugas utama adalah melaksanakan kegiatan akademik tentang kewirausahaan, dan di­harap­kan dapat mengembangkan bentuk kegiatan ‘magang’ bagi mahasiswa dari kegiatan yang disusun bersama oleh UEC. Kegiatan UEC juga masih terbatas, dan masih mengem­bangkan bentuk bentuk pe­ngem­bangan diri dan fungsi.
Apapun yang sudah di­lakukan selama ini adalah upaya yang perlu dilanjutkan. Namun sangat ditegaskan bahwa pembelajaran ke­wirausahaan masih terjebak dengan syndrom kognitif. Diperlukan pengembangan bahan, content, tahapan pem­belajaran, dan sistem ke­berlangsungan. Agar Unand dapat menjadikan kewira­usahaan sebagai salah satu ‘niece’ dari kekuatan proses pembelajaran yang ada.
Fakultas dan jurusan yang berminat dapat merumuskan keempat tujuan sebagai ba­gian dari tujuan yang khas, karena dengan demikian akan dapat seiring dengan pengem­bangan bahan, persiapan labor, persiapan dosen dan isntruk­tur, penilaian mahasiswa, dan juga implikasi proposal ber­saing untuk pengembangan bisnis kecil oleh mahasiswa sebagai salah satu pengem­bangan.
Untuk menjadikan pen­didikan kewirausahaan ber­jalan dengan sebagaimana yang diinginkan, 3 bentuk tahapan diperlukan. Pertama adalah tahapan dalam meng­hasilkan wirausaha dalam proses pendidikan dengan tiga tahap (a) Pembenihan; (b) Penempatan; (c) Pengem­bangan. Buku Rhenald Kasali (2010) Wirausaha Mandiri: ketika Anak sekolah berbisnis, gramedia dapat memberikan inspirasi terhadap anak anak berhasil menjadi wirausaha selepas di perguruan tinggi. Demikian juga buku Nanang Qosim Yusuf (2009) sebaliknya menjelaskan bagaimana ta­hapan Jejak-jejak Makna Basrizal Koto menjadi entre­preneur mulia. Termasuk penjelasan yang mendalam buku Elfindri dkk. (2010) tentang beberapa suku Minang yang berhasil dalam mengem­bangkan bisnis dari kecil sampai besar.
Human Enterpreneur Index
Untuk mewujudkan hal ini, maka mesti dapat dimulai dengan memetakan maha­siswa semenjak masuk ke perguruan tinggi. Human Enterpreneur Index (HEI) dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan proses identifikasi. Untuk keperluan ini Unand dapat mengem­bangkan system informasi HEI, sehingga peta akan kondisi awal dari mahasiswa dapat diketahui. Pada tahap ini, baik dosen pengasuh dan instruktur juga melalui proses ini, terlebih dahulu diketahui sampai seberapa tingkat pencapaian HEI.
Pada tahap ini, agar hasil berguna dan proses belajar semakin membaik dari waktu ke waktu, maka diperlukan: a. Penyusunan dan pengem­bangan materi dan bahan ajar, b. Penyusunan metoda pem­belajaran, c. Pengembangan tenaga dosen dan praktisi, d. Pengembangan bidang pem­belajaran, dan e. Pengem­bangan aspek legal
Seluruh tahap ini di­lihat­kan dalam Tabel 1 di atas, dan sebuah catatan bahwa jika kita ingin menonjolkan ke­khasan di masing masing PT, maka pembelajaran ke­wira­usahaan tidak dapat  pe­la­jaran 3 SKS, namun minimal 9 SKS seperti yang ditampilkan dan diusulkan dalam table 1 di atas. Per­siapan dan pe­matangan ke arah ini menjadi atensi utama.

ELFINDRI
(Profesor Ekonomi SDM Unand)http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar