Featured Video

Kamis, 19 April 2012

Orang Sumatera, antara Mitos dan Kenyataan

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Kondisi jalan utama di Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, Jumat (10/2), tidak memadai. Kondisi itu menjadi salah satu penyebab daerah subur dan kaya akan energi panas bumi tersebut hingga kini sulit dicapai.

 Hujan mengguyur malam itu. Jalan lintas tengah Sumatera senyap. Nyaris tak ada kendaraan lain melintas. Seorang lelaki di warung makan menyarankan agar tak meneruskan perjalanan. ”Sering terjadi penghadangan,” katanya.

Karyawan di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum memberi saran serupa. ”Sudah banyak mobil dirampok. Selain sempit, jalannya juga menanjak,” katanya.

Setelah seharian menyetir dari Jakarta, akhirnya malam itu kami memilih menginap di Kotabumi, Lampung.

Pengalaman malam itu menjadi menu hari pertama dari rencana 30 hari menyusuri jantung Sumatera di sepanjang Bukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko, Liwa, Kerinci, hingga Aceh. Sepanjang lebih dari 6.500 kilometer perjalanan darat, cerita soal bajing loncat, perampokan, bahkan pembunuhan kerap kami dengar, termasuk imbauan agar jangan menerima minuman dan makanan dari orang tak dikenal.

”Kalau diberi minum orang desa di sana jangan mau. Nanti diracun. Tak ada obatnya,” kata Niar (35), warga Natal, Sumatera Utara, ketika tahu kami hendak ke Tabuyung.

Namun, lebih dari sebulan melintasi Sumatera, pengalaman terburuk yang menimpa adalah dipalak saat melintas di jalan antara Gunungdoh Suoh dan Tanggamus di Lampung Barat. ”Ongkos ’tol’-nya Rp 250.000,” kata seorang warga, menghadang di pinggir jalan berlumpur, siang itu. ”Siapa saja yang lewat sini harus bayar, kami yang merawat jalan ini. Bisa dicicil Rp 25.000 dulu,” lelaki itu berkeras, lalu temannya mulai datang.

Selain pemalakan itu, selebihnya keramahan Sumatera-lah yang terasa. Misalnya, selama dua malam kami ditampung warga pedalaman Desa Renah Kemumu, Jambi, yang tak satu pun kami kenal sebelumnya. Mereka begitu ramah membuka pintu rumah saat malam kami muncul setelah 10 jam berjalan kaki menembus kelebatan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Saat di Suoh, beberapa pemuda membantu membebaskan mobil gardan ganda kami yang terperosok di lumpur. Setelah gagal menarik ramai-ramai sejak sore hingga malam, seorang warga mencari mobil hardtop untuk menarik mobil kami.

Tiga orang lalu mengiringi dengan sepeda motor dan memastikan kami tiba di perkampungan. Seorang di antara mereka, Rofiq Mahmudi (39), menawarkan tempat menginap.

Akses ke pedalaman
Sumatera telah banyak disalahpahami. Kesalahan dimulai sejak penamaan, seperti dilakukan penjelajah Italia, Marco Polo, yang menyebut Sumatera sebagai Jawa Kecil dalam buku The Travels of Marco Polo (1926). Padahal, luas Sumatera mencapai 434.000 kilometer persegi, hampir dua kali lipat Jawa.

Penjelajah Maroko, Ibnu Battuta, juga keliru menyebut Sumatera sebagai Jawa. Dalam catatannya saat mengunjungi Pasai (Aceh) tahun 1345, dia menyebut nama Jawa itu diambil dari kemenyan yang disebut jawi.

Menurut sejarawan Australian National University, Anthony Reid, pesisir Sumatera telah lama dikenal. Misalnya, Kota Barus di Sumatera Utara yang telah disebut dalam Geographica karya Ptolomeus yang ditulis pada abad ke-2 Masehi. Kota yang disebut Ptolomeus sebagai Barusai ini disebutkan sebagai sumber emas dan kapur barus.

Namun, pedalaman pulau ini tetap misterius hingga abad ke-20. ”Rangkaian pegunungan terjal di pesisir barat dan rawa penyebar malaria di bagian timur menciutkan nyali pendatang untuk menjelajah lebih jauh,” tulis Reid dalam buku Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology (1995).

Ketidaktahuan itulah yang memunculkan kisah menyeramkan tentang Sumatera (pedalaman), seperti dikisahkan Marco Polo tentang kanibalisme di pedalaman Pidie. Kanibalisme juga disampaikan misionaris Inggris, Richard Burton dan Natahaniel Ward, yang mengunjungi Sumatera Utara pada 1824.

Menurut Masashi Hirosue dari Rikkyo University, Tokyo, dalam tulisannya tentang Image of ”Cannibalism” in North Sumatra (2005), cerita tentang kanibalisme kebanyakan dikisahkan berlebihan untuk menggambarkan kehebatan penulisnya karena berhasil menjelajah dunia liar. Selain itu, cerita seram itu juga dimunculkan agar sumber emas dan kekayaan pedalaman Sumatera tetap tak tersentuh oleh saingan dagang.

Cerita kanibalisme ini, menurut Masashi, menghilang ketika Belanda mulai masuk pedalaman Sumatera. Keterbukaan akses menjadi kunci mematahkan kisah seram tentang Sumatera, sebagaimana disebutkan Rofiq, ”Jika jalan sudah mulus, ekonomi membaik, tak ada lagi penghadangan.”(Agung Setyahadi/Ingki Rinaldi)
Sumber :
Kompas Cetak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar