Featured Video

Rabu, 30 Mei 2012

”Kemana Aku Harus Mencari?” Nestapa Marnis, Keluarga Korban Human Trafficking di Solok


Marnis memperlihatkan foto anaknya, Yanti Dewi
Diiming-imingi gaji besar di Malaysia, Yanti Dewi, 31, terperangkap sindikat perdagangan manusia (human trafficking). Niat mengubah hidup menjadi petaka. Keluarga korban menunggu dengan putus asa. Bagaimana ceritanya?


Wajah kuyu Marnis, 51, terli­hat te­gang saat menyambut keda­tangan se­jumlah wartawan Solok di ru­mah­nya di Sawahhilie, Jorong Bu­ngo­tan­jung, Nagari Saok­laweh, Keca­ma­tan Kubung, Kabupaten Solok. Ru­mah yang lebih pantas disebut gu­buk ter­sebut tampak reyot seperti peng­hu­n­inya. Dua cucunya berumur 8 dan 5 tahun menggelayut di tubuh­nya yang ku­rus. Wanita pa­ruh baya itu berkali-kali meminta ke­duanya menepi ke tem­pat sua­minya dan anak-anaknya du­duk di ujung ruangan. Namun ke­duanya tak mau beranjak, dan selalu men­­can­dai iyek (panggilan untuk nenek di Solok) mereka itu.

“Ini kedua anaknya. Sejak amak (ibu, red)-nya ke Malaysia, keduanya su­­d­ah seperti anak bagi saya. Selu­ruh bia­yanya harus kami tang­gung sen­diri ka­rena ibunya tidak pernah la­gi me­ngirim uang. Jangankan uang, kabar pun tak pernah lagi kami terima. Entah Yanti masih hidup atau tidak,” ujarnya dengan mata yang mulai berair.

Sejenak, suasana menjadi se­nyap. Se­luruh mata wartawan tertu­ju pada Mar­nis yang sedang menge­lap air ma­tanya. Dengan sedikit me­mak­sakan diri, Marnis menu­turkan ke­dua cucu­nya tersebut bahkan ti­dak per­nah me­nge­nal ibunya. Yang ter­tua diting­gal ibu­nya saat berumur 4,5 ta­hun. Se­men­tara yang bungsu ha­rus ber­pisah dengan ibunya di usia 1 ta­hun dua bu­lan, di saat ia ma­sih erat me­nyusu. Ka­sih sa­yang orang tua ba­gi keduanya se­ma­kin ka­bur saat ke­dua orang tua me­reka me­­milih ber­pisah beberapa wak­tu se­be­lum ke­berangkatan Yanti ke Malaysia.

Yanti meninggalkan rumah kela­hi­rannya itu tahun 2008 lalu untuk be­rangkat menjadi tenaga kerja In­do­nesia (TKI) ke Malaysia. Tanpa modal kete­ram­pilan dan pendidikan yang hanya sam­pai kelas 4 SD, mem­buat Yanti ter­perangkap sindi­kat ca­lo TKI ilegal. Ia ter­buai bujuk rayu Nian, 50, calo TKI ile­gal yang masih se­­kampung dengan me­reka. Masih se­gar dalam ingatan Marnis saat Nian datang ke rumahnya di awal ta­hun 2008. Waktu itu kepa­danya Nian meminta agar mere­lakan anak­nya untuk bekerja di negeri jiran. Saat itu Marnis langsung meno­laknya.

“Saya sangat takut karena men­de­ngar cerita-cerita (TKI) yang be­kerja di Malaysia. Di televisi pun saya me­li­hat sendiri kisah TKI-TKI yang di­aniaya di Malaysia. Ada yang di­se­trika, di­pukuli, diperkosa, dihu­kum mati dan sebagainya. Apalagi anak Yanti ma­sih kecil-kecil, yang bung­su pun masih erat menyusu. Na­mun ra­yuan si Nian itu ke Yanti mem­bua­t­nya be­rani menolak semua saran orang.

Beberapa hari kemudian, Yanti me­ninggalkan rumah dan pergi ke ru­­mah Nian. Di rumah Nian, Yanti ti­­dak diperbolehkan keluar rumah. Bah­­kan be­berapa hari kemudian ke­dua anak­nya jatuh sakit. Namun Yan­ti tidak bo­leh keluar rumah un­tuk menengok anak­nya. Beberapa hari kemudian, Yanti bertolak dari Saok­laweh ke Du­mai menggunakan bus. Se­tiba di Du­mai, ia langsung naik ka­pal motor un­tuk menye­be­rang ke Malaysia menje­lang fajar. Se­­tibanya di Malaysia Yanti me­ne­le­pon orang tuanya melalui pon­sel tetangganya.

“Waktu menerima telpon itu, saya bagai tersambar petir. Yanti me­ngatakan ia sudah di Malaysia ber­sama si Nian itu. Itu adalah kabar ter­akhir darinya dan setelah itu, ti­dak ada kabar lagi hingga seka­rang,” ujarnya.

Selama Yanti di Malaysia, Marnis m­e­­­ngaku pernah menerima uang se­ba­­nyak dua kali. Pertama Rp200 ribu s­e­­telah tiga bulan. Uang kedua di­­te­ri­ma sebulan kemudian sebesar Rp500 ribu. Uang tersebut dian­tar­kan Nian ke rumahnya. Saat dita­nya pada Nian apa kerja anaknya di sana, Nian men­ja­wab anaknya di­pekerja­kan di salon. Saat mengan­tar­kan uang kali kedua, Nian menyatakan Yan­ti sudah pindah be­kerja menjadi pem­bantu rumah tang­ga. Ketika ditanya dimana alamat anak­nya, Nian menyatakan tidak tahu lagi dimana Yanti bekerja. Hingga saat ini, kebe­ra­daan Yanti tidak lagi pernah ter­la­cak. Nian saat ditanya Marnis be­be­rapa kali justru berujar, “Ndak tau”.

“Tak ada lagi kabar yang saya te­rima. Kemana saya harus mencari. Ja­ngankan ke Malaysia, keluar Sum­bar saja saya belum pernah. Saya bodoh, tak pandai tulis baca, tidak pernah se­kolah. Hanya ke sawah saya yang bisa,” ujarnya.

Sebagai warga kampung yang mis­kin, pencarian informasi anaknya di­la­kukan Marnis ke dukun. Dari “pe­ne­­rawangan” dukun, Yanti dikata­kan sa­ngat ingin pulang, namun tidak pu­nya uang. “Penerawangan” dukun juga me­ngatakan Yanti juga sering mena­ngis ingin pulang. Keterangan dukun tersebut membuat Marnis beriba hati, hingga jatuh sakit. Bayangan anaknya yang “marasai” di negeri seberang membuat mukanya semakin kuyu dan badannya semakin kurus.

”Saya langsung bisa merasakan be­tapa marasai anak perempuan saya satu-satunya itu. Tapi tak ada yang bisa sa­ya lakukan. Saya hanya ber­harap anak saya masih hidup dan segera pu­lang. Lebih baik tetap miskin, tapi bisa bersama-sama. Saya bodoh, tak tahu tempat mengadu. Mudah-muda­han dari adik-adik wartawan ini, anak saya bisa pulang. Kasihan anak-anaknya yang tidak kenal wajah ibunya,” ujarnya seraya kembali menangis.

Kemarin, dengan ditemani belasan wartawan Kota dan Kabupaten Solok, Yan­ti melaporkan kasus tersebut ke Ma­polsek Kubung Kabupaten Solok. Di LP No: LP/114/V/2012/Sek Ku­bung, tertanggal 28 Mei 2012, Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Iptu Jon Virwan menyatakan laporan tersebut langsung diterus­kan ke Mapolres Arosuka. Ia menya­ta­­kan kasus ini telah mengarah pada Hu­­man Trafficking (perdagangan ma­nusia) dengan modus TKI ilegal. Le­­bih lanjut ia meyakini perkara ini akan masuk ke Polda Sumbar, ka­re­na sudah termasuk pada tindak pi­dana khusus (Pidsus). (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar