Featured Video

Minggu, 05 Agustus 2012

DANAU MANINJAU DAN SINGKARAK KRITIS

Ditulis oleh Teguh  



Dalam Konferensi Nasional Danau Indonesia, Danau Maninjau dan Singkarak masuk dalam 15 danau yang dipilih berdasarkan parahnya tingkat kerusakan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah?

Provinsi Su­ma­tera Barat memiliki 6 danau dengan panorama yang indah, masing-masing Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diateh, Danau Dibawah, Danau Tan­dikek dan Danau Talang. Namun 2 di antara danau itu yang berskala nasional, yaitu Danau Singkarak dan Danau Minanjau dalam kondisi kritis, terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Persoalan yang kom­plek itu tak hanya masalah pence­maran air danau, tetapi juga penurunan muka air, en­dapan re­sidu pa­kan, banjir, longsor, eceng gondok dan degradasi kawasan perbukitan. Masih ditambah lagi persoalan tarik menarik ke­pentingan seperti pertim­bangan ekonomi jangka pendek dan kelestarian lingkungan, pedoman penataan kawasan yang belum di sepakati, kerusakan hutan pada daerah resapan dan budidaya perikanan yang berkembang mele­bihi daya dukung lingkungan.
“Kedua danau itu kini kondisinya kritis. Persoalannya sangat kom­plek, terjadi penurunan kualitas lingkungan ditambah pula tarik menarik kepentingan seperti per­tim­bangan ekonomi jangka pendek dan kelestarian lingkungan,” kata Kepala Badan Pengendalian Dam­pak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumbar, Asrizal Asnan.
Maninjau Kritis
Di Danau Maninjau yang ter­letak di Kabupaten Agam, peristiwa matinya ikan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) selalu  terjadi setiap tahun. Entah sudah berapa kerugian materi yang ditanggung masyarakat. Kajian lingkungan pun sudah teramat sering dilakukan untuk mencarikan solusinya.
Tetapi sulit untuk menentukan apakah danau itu diprioritaskan sebagai objek wisata atau potensi KJA bagi peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Sehingga pada akhirnya, kehadiran KJA tetap berlanjut dan potensi wisa­tawan berkunjung ke lokasi ini juga diharapkan.
Persoalan Danau Maninjau dari waktu ke waktu selalu itu ke itu juga. Danau yang memanjang dari arah utara ke selatan dengan panjang sekitar 17 km dan lebar 8 km itu, tidak mampu lagi menang­gung beban Keramba Jaring Apung (KJA) yang ditebar petani. Jum­lahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Dan saat ini jumlahnya telah mencapai 15.051 unit pada luas area budidaya sekitar 2.403 hektar.
Asrizal Asnan yang akrab disapa Dedet ini, pada tahun 1996 jumlah KJA di Danau Minanjau hanya 1.886 unit. Setiap tahun jumlah ini terus bertambah. Pada 1997 jumlahnya meningkat men­jadi 3.500 unit. Selang 3 tahun kemudian jumlahnya menjadi 3.856 unit. Lalu 5 tahun berikutnya bertambah hingga 4.484 unit.
Prospek yang menguntungkan dari KJA ini terus memacu minat petani bahkan pengusaha untuk menanam KJA. Sehingga pada tahun 2011 jumlah KJA sudah mencapai 15.051 unit.
Pertumbuhan KJA yang sangat pesat ini sejalan pula dengan pemberian pakan yang juga mening­kat. Pemberian pakan ikan untuk 1 unit KJA sekitar 50 kg/hari, atau sekitar 4.500 ton selama 1 periode pemeliharaan. Dari pakan yang diberikan, sekitar 70 persen dimakan ikan dan 30 persen lepas ke perai­ran sebagai bahan pencemar atau limah. Pakan ikan mengandung 18 persen protein (Nitrogen dan Pospat). Setiap kali panen terjadi peningkatan sedimen sekitar 50 cm.
“Perairan danau telah tercemar akibat sisa pakan dan kotoran ikan yang menumpuk dan mengendap di dasar danau. Dari pakan yang diberikan, sekitar 70 persen dimakan ikan dan 30 persen terlepas ke perairan sebagai bahan pencemar atau limbah,”  katanya.
Padahal ditinjau dari fungsinya baik secara ekologis, sosial dan ekonomi, danau ini merupakan sumber plasma nutfah yang ber­potensi penyumbang bahan ge­netika. Danau Maninjau juga sebagai tempat berlangsungnya silus hidup flora fauna, tempat penyimpanan kelebihan air dari hujan, aliran permukaan dan sumber air bawah tanah.
Danau Maninjau juga digu­nakan masyarakat sebagau sarana transportasi mengangkut hasil pertanian dari daerah seberang. Sedangkan secara ekonomi, danau menjadi sumber air bersih,objek pariwisata, irigasi pertanian, mata pencaharian nelayan dan juga sumber energi bagi PLTA.
Dikatakan, daya dukung dan daya tampung Danau Maninjau sudah melebihi kapasitasnya. Sejak 1992 sampai 2007, LIPI Tim Geologi dan Sumber Daya Alam, Universitas Bung Hatta, Universitas Muhammadyah Jakarta, PLN, Bapedalda dan Kementrian Lingku­ngan Hidup telah menyampaikan beberapa informasi dan rekomen­dasi untuk dijadikan dasar kebijakan pengelolaan Danau Maninjau.
Bapedalda sendiri, berdasarkan pemantauan kualitas air pada beberapa titik, diantaranya pinggir danau, tengah danau dengan keda­laman 5 m dan 10 m serta areal netral (tidak ada keramba), maka hasilnya pertumbuhan keramba tiap tahun meningkat signifikan. Secara teknis perikanan, keramba tidak layak pada kedalaman kurang dari 5 meter.
Berdasarkan hasil laboratorium, kandungan belerang di danau tidak terdeteksi tetapi kandungan amo­niak, nitrit, clorida berada diambang batas yang ditetapkan PP No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Hasil analisis laboratorium menyebutkan, bahwa kematian ikan di Danau Maninjau selain fenomena alam, erat pula kaitannya dengan pakan ikan. Hal ini ditunjukkan dari kandungan amoniak dan nitrit yang berada di atas baku mutu yang terakumulasi di dasar danau akibat jumlah keramba yang melebihi kapasitas daya dukung.
Untuk itu, perlu dilakukan pe­netapan batas atau kuota jumlah keramba agar tidak melebihi daya dukung danau sehingga danau dapat melakukan penjernihan sendiri. Selain itu, perlu ditetapkan secara detail tata ruang dan zonasi yang mengatur daerah konservasi, budi­daya, pari­wisata dan penggunaan lainnya.
“Juga direkomendasikan perbai­kan sistim budidaya ikan keramba dengan pendekatan teknologi baik menyangkut design keramba, jenis makanan ikan, pola musim tanam ikan dan pengaturan keraptan ikan pada musim waspada bulan De­sember sampai Februari,” katanya.
Singkarak Kritis
Danau Singkarak yang berada di 2 kabupaten, masing-masing Kabupaten Solok dan Tanah Datar juga kritis. Pencemaran yang terjadi di danau itu sudah mengkha­watirkan. Air danau berbau akibat sampah yang dibuang ke danau serta banyaknya titik lahan kritis di sekitar danau. Tak menghe­rankan bila belakangan ini, tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan itu menurun.
Sementara problem yang men­dera Danau Singkarak adalah rendahnya kemampuan lahan menyimpang air sehingga aliran permukaan air lebih tinggi. Di samping itu permukaaan air pada saat hujan menjadi sangat tinggi dan sebaliknya ketika kemarau permukaannya rendah, serta pen­cemaran limbah domestik seperti limbah pasar, hotel dan restoran serta rumah makan di sepanjang danau.
Tidak ada lagi wisatawan yang berminat berlama-lama di pinggir danau ini. Sampah pasar Solok maupun sampah pasar Padang Panjang masuk ke sungai. Pintu air yang berada di bagian bawah danau, tidak bisa menyerap sampah ini. Sampah hanya berputar-putar saja. Keramba pun makin menja­mur. Namun diharapkan pertum­buhannya dapat dikendalikan, tidak seperti di Maninjau.
Ketua Badan Pengelola Kawasan Danau Singkarak (BPKDS), Jasman usai rapat koordinasi dengan Pemprov Sumbar beberapa waktu lalu mengatakan, kerusakan Danau Singkarak sudah pernah dibahas di Kementrian Lingkungan Hidup bersama Pemkab Tanah Datar dan Pemkab Solok dan hadir pula beberapa kementrian terkait lainnya.
Namun belum ada hasilnya. Sebab pemerintah pusat justru mempertanyakan komitmen pe­merintah daerah. Hal ini tak terlepas dari saling tuding menuding dari delegasi Sumbar selama pertemuan berlangsung. Dan sampai kini, penanganan Danau Singkarak belum menunjukkan kemajuan.
Danau ini juga dimanfaatkan sebagai PLTA dengan cakupan distribusi listrik untuk wilayah Sumbagsel (Sumatera Barat, Riau,  Jambi dan Sumatera Selatan). Danau Singkarak memiliki 17 jenis ikan, satu diantaranya merupakan fauna air endemik dan satu-satunya di dunia yaitu Ikan Bilih (Mysta­coleucus padangensis).
Ikan ini merupakan sebagai sumber protein bagi masyarakat sekitar danau, bahkan se-Sumatera Barat. Dengan frekuensi penangka­pan ikan yang cukup tinggi serta cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, keberadaan ikan ini semakin menurun, bahkan terancam punah.
Menurut Jasman, Batang Lem­bang tepatnya di Muaro Sumani yang berhubungan dengan danau harus dipasang saringan, agar sampah yang hanyut di sungai tidak masuk ke danau. Selain itu peng­hijauan di sekeliling danau perlu dilakukan karena daerah tangkapan air makin berkurang.
Kondisi ini menyebabkan air danau menjadi ekstrim, di musim hujan air berlimpah dan di musim kemarau terjadi kekeringan. Dan sawah masyarakat yang berada di Guguk Malalo dan sekitarnya sering mengalami kekeringan. Dan penye­bab lain terjadinya kekeringan adalah pemanfaatan air sungai oleh PLN.
“Untuk mengatasi kekeringan untuk areal persawahan, kita berha­rap pada pompanisasi dari PSDA. Mungkin dapat disurvei sawah mana saja yang berpotensi mengalami kekeringan,” terang Jasman.
Aktivitas penanaman KJA di Danau Singkarak yang mulai marak belakangan ini, juga mengundang kekhawatiran berbagai pihak. Sampai saat ini, KJA yang tumbuh masih cukup terkendali dan harus memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu harus ditanam jauh ke tengah danau dan pembatasan jumlahnya.
“Jangan sampai nasibnya sama dengan Danau Maninjau. Untuk itu kita tengah membuat rencana detail tata ruang kawasan strategis kawasan Danau Singkarak dan Maninjau yang mengakomodasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan pengaturan zonasi. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai harus ditertibkan,” kata Asrizal Asnan.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar