Featured Video

Sabtu, 18 Agustus 2012

Minangkabau, Sebuah Catatan Perjalanan


Apa yang terlintas dalam benak anda mendengar kata ”Padang”? Bisa jadi hanya sebatas “rumah makan” karena pemandangan seperti itulah yang banyak terdapat di Yogyakarta. Namun anggapan tersebut bisa berbalik seratus delapan puluh derajat bila berkesempatan mengunjungi kota Padang dan Sumatera Barat pada umumnya. Sumatera Barat merupakan kombinasi yang menarik antara dataran tinggi yang subur dengan daerah pesisir yang indah dengan luas daerah sekitar 42.297,30 kilometer persegi yang terbagi atas 12 kabupaten dan 7 kota. Secara geografis Sumatera Barat terdiri dari dua bagian yaitu wilayah pegunungan dan dataran rendah/pantai. Ketinggian wilayah mulai dari 0 – 3000 meter dari permukaan laut, dataran rendah mencapai 45%, dataran menengah (ketinggian 500-1000m) mencapai 32% dan dataran tingginya 23% merupakan lembah-lembah pegunungan yang merupakan bagian dari gugusan Bukit Barisan.

Sarana transportasi ke Sumatera Barat dilayani oleh beberapa maskapai seperti Garuda, Merpati, Batavia, Lion, Adam Air, serta Air Asia dan ditempuh selama 1 jam 30 menit dari Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang. Turun di Minangkabau International Airport anda akan disambut dengan pemandangan Bukit Barisan yang memanjang dari kiri hingga kanan tiada terputus, bahkan di siang hari masih terlihat gumpalan awan yang menyelimuti permukaannya. Untuk menuju kota Padang anda dapat menggunakan taksi atau bis Damri selama 30 menit menempuh jarak 25 km. Sepanjang perjalanan ke kota Padang anda akan disuguhi pemandangan alam yang elok termasuk rel kereta api wisata Padang-Bukittinggi yang dijalankan seminggu sekali.
Minangkabau merupakan saksi penyebaran agama Islam yang menurut para ahli telah ada sejak abad ke-7 Masehi yaitu dengan adanya perkampungan pedagang muslim di pesisir barat  dan timur Minangkabau. Pedagang muslim yang berasal dari Gujarat, India, Persia dan Arab juga menyebarkan ajaran Islam sambil berdagang. Sejalan dengan itu banyak ditemukan peninggalan bangunan peribadatan seperti masjid dan surau disana yang telah berumur ratusan tahun yang dibangun dengan konstruksi dan bahan kayu dengan arsitektur khas sebagai manifestasi dan perwujudan tradisi lokal. Pada awalnya surau di Minangkabau adalah milik kaum/suku. Difungsikan sebagai tempat belajar adat istiadat, belajar silat, dan tempat bermusyawarah untuk membicarakan persoalan yang ada di masyarakat sekaligus tempat tidur bujangan dan duda. Setelah Islam masuk fungsi surau diperluas lagi menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan agama Islam. Perbedaan yang nyata antara masjid dan surau adalah bahwa bangunan surau lebih kecil dari masjid. Disamping itu surau tidak dipergunakan untuk sholat Jumat. Bila surau adalah milik kaum maka masjid adalah  milik nagari, karena salah satu syarat pendirian nagari haruslah memiliki masjid. Masjid dan surau dalam adat Minangkabau adalah lambing berdirinya syara dan sebagai penegas semboyan “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” menuntun masyarakatnya untuk melaksanakan ibadahnya dengan baik.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Padang satu kali sepekan mengadakan pertunjukan kesenian tradisional Sumatera Barat. Penulis berkesempatan melihat salah satu pertunjukan yang menampilkan alat musik khas Minangkabau yaitu Saluang. Saluang terbuat dari bambu dan identik dengan suling pada daerah lain di Indonesia.
Berikut beberapa profil tujuan wisata di Padang
1.      Museum Adityawarman Sumatera Barat
Museum ini didirikan pada tahun 1974 dan diresmikan pada tanggal 16 Maret 1977 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Dr. Syarif Thayeb. Museum berlokasi di Kompleks Lapangan Tugu Jl. Diponegoro Padang menempati lahan seluas 1,5 hektar. Bangunan berbentuk arsitektur tradisional Minangkabau “rumah gadang” yang disesuaikan dengan standardisasi museum.
Museum ini diberi nama “Adityawarman” untuk mengenang jasa seorang Raja Minangkabau pada abad IV Masehi. Kebesarannya dapat diketahui melalui peninggalannya berupa prasasti yang terdapat di Saruaso, Pagaruyung, Lima Kaum dan lain-lain serta arca Bhairawa yang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta dan Candi Padang Roco di daerah Dharmasraya.
Museum secara bertahap telah melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pelestarian, lembaga pendidikan non formal serta tempat rekreasi. Hingga tahun 2006 telah terhimpun koleksi sebanyak 6026 buah yang terdiri atas 10 jenis yaitu Geologika, Biologika, Etnografika, Arkeologia, Historika, Numismatika/Heraldika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa dan Teknologika.
2.      Pantai Padang
Pantai Padang terletak di tepi jalan Samodra, membentang sepanjang 2 kilometer sebelum jalan Samodra terputus di jalan Purus Dalam. Pantai ini memiliki ombak yang besar dan gelombang yang kuat. Namun begitu masih banyak nelayan yang berani mengarunginya untuk menangkap ikan. Pantai Padang terletak dekat dengan muara sungai Arau sehingga para nelayan menambatkan kapalnya di ujung muara sungai ini. Pantai Padang memiliki pemecah ombak dan sedikit tepian berpasir yang dapat digunakan untuk bermain bola volley. Malam hari di Pantai Padang adalah saat yang romantis bagi yang sedang berpacaran atau untuk menghabiskan malam panjang. Cukup ramai pengunjung pada setiap malamnya. Tersedia banyak makanan seperti jagung bakar, roti bakar, es kelapa muda bahkan sate padang dan rujak. Rujak? Benar. Bukan salah tulis. Rujak yang di Yogyakarta hanya dikenal di siang hari di Padang dijual hingga malam hari. Pedas? Tentu. Karena memang masyarakat Padang menyukai makanan pedas.
3.      Pelabuhan Teluk Bayur
Lagu yang terkenal di tahun 1970an menggambarkan keindahan pelabuhan ini. sekarang Teluk Bayur juga menjadi pelabuhan kapal pengangkut batubara dari Sawahlunto, sehingga tidak mengherankan jika di sepanjang jalan menuju Teluk bayur banyak terdapat tumpukan batubara. Namun dipandang dari atas bukit yang menuju ke pantai Air Manis masih tersisa keindahan pantai Teluk Bayur tersebut. Pantai Teluk Bayur terletak sekitar 20 km dari kota Padang ditempuh menggunakan angkot biru dengan membayar Rp. 3.500,- selama 20 menit.
4.      Pantai Air Manis/Legenda Malin Kundang
Pantai Air Manis terletak di balik bukit pantai Teluk Bayur yang bernama Bukit Monyet dengan berjalan kaki selama 15 menit. Selama perjalanan menyusur bukit dengan berjalan kaki anda akan disuguhi dengan pemandangan khas hutan tropis dengan monyet-monyet jinak yang bergelantungan. Pantai ini lebih terkenal dengan cerita Malin Kundang. Sekedar pengingat, Malin Kundang adalah anak seorang janda miskin yang tinggal di desa Air Manis. Setelah besar seperti kebiasaan orang Minang Malin Kundang merantau ke negeri seberang dan sukses menjadi panglima perang serta mempunyai istri yang cantik. Pada suatu ketika istri Malin Kundang mengajak suaminya pulang  ke kampung halamannya. Sesampainya di muara Padang berita kembalinya Malin Kundang beredar dari mulut ke mulut yang akhirnya terdengar oleh ibunya yang telah uzur. Dengan susah payah ibunya berjalan ke pantai hendak menemui si Malin. Namun Malin yang telah melihat ibunya dari jauh memerintahkan awak kapal untuk mengusirnya karena malu mempunyai ibu yang tua renta lagi miskin. Mendapat perlakuan seperti itu ibunya pulang dengan hati sedih dan berdoa agar anaknya diberi azab yang setimpal. Dalam perjalanan pulang ke negeri istrinya kapal Malin diterpa badai dahsyat. Semua awak kapal termasuk istrinya meninggal. Akhirnya kapal terhempas ombak ke tepi pantai dan seluruh tubuh Malin Kundang berubah menjadi batu berikut kapal dan seluruh harta kekayaannya. Itulah balasan untuk anak durhaka.
5.      Kerajinan Tenun Songket
Tenun atau menenun adalah proses pembuatan pakaian dengan cara menganyam benang pakan diantara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, lidi, bambu dan logam. Dari proses menenun ini nantinya akan menghasilkan kain dan songket. Songket berasal dari kata ungkit/sungkit yaitu cara penambahan benang pakan dengan benang emas, perak atau warna lainnya yang disungkitkan pada waktu menenun. Dari kata sungkit inilah kemudian berkembang menjadi songket. Daerah yang terkenal dengan pengrajin songket di  Minangkabau adalah Bukittinggi, Payakumbuh, Pandai Sikek, Pitalah, Sungayang, Batusangkar, Silungkang, Muaralabuah dan Solok. Tiap daerah memiliki corak ragam songket tersendiri yang merupakan ciri khas daerahnya. Dari beberapa daerah tersebut Payakumbuh dan Pitalah terkenal lebih bagus kualitasnya baik dilihat dari segi bahan, teknik pengerjaan yang lebih halus maupun motifnya yang beragam serta unik dimana terdapat kombinasi antara benang makau dan benang sutra yang menjadikannya lebih indah dan unik.

Bepergian jauh tentu tidak lepas dari masalah buah tangan. Di Padang terdapat beberapa ragam makanan yang dapat dibawa sebagai oleh-oleh pulang ke tempat asal. Yang terkenal adalah kripik balado. Seperti juga makanan Padang kripik ini juga berasa pedas namun lezat. Selain kripik balado juga ada kripik sanjai dan kacang tojin. Tersedia pula randang padang, dipackingdalam bentuk botol kecil atau kardus seukuran dodol garut dengan harga bervariasi antara Rp. 20.000,- hingga Rp. 60.000,-. Soal rasa jelas mak nyuss. Alternatif lain yaitu ikan bilih kering dan ikan teri kering yang juga sudah dipacking berbentuk plastik seberat 500 gram.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar