AFP PHOTO/SAMIR JUNG THAPA/www.thegreathimalayatrail.orgTashi Sangmo Lama (kedua dari kiri) dan satu dari dua suaminya, Pasang Lama (kanan) bersama seorang anak mereka, Pema, sedang menikmati teh di rumah mereka di kawasan Upper Dolpa, salah satu wilayah terpencil di Himalaya, yang berjarak 500 kilometer dari Kathmandu, ibukota Nepal. Di kawasan ini, terdapat praktik poliandri yang sudah berusia satu abad.Tashi Sangmo Lama (kedua dari kiri) dan satu dari dua suaminya, Pasang Lama (kanan) bersama seorang anak mereka, Pema, sedang menikmati teh di rumah mereka di kawasan Upper Dolpa, salah satu wilayah terpencil di Himalaya, yang berjarak 500 kilometer dari Kathmandu, ibukota Nepal. Di kawasan ini, terdapat praktik poliandri yang sudah berusia satu abad.
Ketika Tashi Sangmo berusia 17 tahun, dia dinikahkan dengan seorang tetangganya yang baru berumur 14 tahun, di sebuah desa terpencil di Himalaya, Nepal. Sebagai bagian dari pernikahan itu, Sangmo juga setuju untuk menikah dengan adik lelaki suaminya.
Pada masa lalu, anak-anak lelaki dari setiap keluarga di wilayah Upper Dolpa menikahi satu perempuan. Namun, kini praktik poliandri itu mulai terkikis sebab masyarakat di sana mulai terbuka pada kehidupan yang modern. Kini praktik yang sudah berlangsung seabad itu bertahan hanya di desa-desa terpencil di Himalaya.
"Segala sesuatu lebih mudah dengan cara seperti ini karena semuanya berada dalam satu keluarga. (Harta) tidak dibagi di antara banyak istri dan di sini saya yang bertanggung jawab," kata Sangmo. "Dua lelaki kakak beradik pulang membawa uang dan sayalah yang memutuskan bagaimana menggunakannya."
Ketika Sangmo menikah dengan Mingmar Lama 14 tahun lalu, sudah disepakati bahwa adik Mingmar, yang waktu itu berumur 14 tahun, bakal masuk dalam kehidupan rumah tangga mereka. Di dalam rumah tangga mereka, lahir tiga anak lelaki, masing-masing berusia delapan, enam, dan empat tahun.
"Saya ingin berbagi ikatan ini dengan adik karena kehidupan menjadi lebih mudah bagi kami berdua," kata Pasang (25), di rumah keluarga mereka di Desa Simen, yang terletak di ketinggian 4.000 di atas permukaan laut dan diperlukan waktu lima hari berjalan kaki ke kota terdekat.
Secara tradisional, warga Upper Dolpa merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang membuka jalan antara Nepal dan Tibet. Saat ini mereka masih mengikuti tradisi menggiring yak yang membawa garam dari Tibet dan beras dari dataran Terai.
Dengan minimnya sumber daya alam, masyarakat Upper Dolpa tidak memiliki banyak harta. Namun, praktik poliandri itu bisa mencegah pembagian harta di antara keluarga. Persediaan makanan pun cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagian besar pernikahan di kawasan itu sudah diatur keluarga. Sebuah keluarganya yang memilih istri untuk anak lelaki tertua mereka dan memberi kesempatan adik-adiknya untuk menikahi perempuan yang sama di kemudian hari.
Dalam beberapa kasus para istri bahkan membantu merawat adik-adik suaminya, yang notabene calon suaminya juga, saat mereka masih kecil. Hubungan seksual antara mereka terjadi ketika para lelaki itu dianggap sudah cukup umur.
sumbe
r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar